(QS asy-Syarh [94]: 1-8)
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ، وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ، الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ، وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ، فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ، وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Bukankah Kami telah melapangkan untuk kamu dadamu, telah menghilangkan dari dirimu bebanmu yang memberatkan punggungmu dan telah meninggikan bagi kamu sebutan (nama)-mu? Sebab, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka dari itu, jika kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS asy-Syarh [94]: 1-8).
Surat ini dinamakan surat asy-Syarh. Menurut Ibnu ‘Abbas dalam sebuah riwayat, surat yang terdiri dari delapan ayat ini turun setelah ad-Dhuha. 1 Karena itu, sebagaimana dijelaskan para mufassir, surat ini termasuk Makkiyyah.2 Bahkan ditegaskan asy-Syaukani dan Ibnu ‘Athiyyah, tidak ada perbedaan pendapat tentang itu.3
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Alam naysrah laka shadraka (Bukankah Kami telah melapangkan untuk kamu dadamu)? Pada asalnya, kata asy-syarh bermakna al-fash wa at-tawsi’ah (lapang dan luas). Kemudian kata tersebut digunakan untuk menyebut al-îdhâh (penjelasan), juga digunakan untuk menunjuk surûr an-nafs (rasa senang pada jiwa). 4
Adapun pengertian syarh ash-shadr menurut asy-Syaukani adalah fat-huhu bi idzhâb mâ yashuddu ‘an al-idrâk (membuka dada dengan menghilangkan segala sesuatu yang bisa memalingkan dari pemahaman).5 Imam al-Qurthubi juga memaknai syarh ash-shadr sebagai fat-huhu (membukanya). Dengan demikian ayat ini berarti: Alam naftah shadraka li al-Islâm (Bukankan Kami telah melapangkan dadamu kepada Islam).6
Dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi, syarh ash-shadr (membuka dada) yang disebutkan adalah dengan menyinari dada itu dengan hikmah dan melapangkannya untuk menerima apa yang diwahyukan kepada beliau.7 Bahkan Ibnu ‘Athiyah menegaskan, ini merupakan pendapat jumhur.8
Susunan kalimat ayat ini berupa al-istifhâm al-inkâri yang diiringi dengan an-nafiy, yang memberikan makna al-itsbât (penetapan).9 Dengan demikian ayat ini berarti: Sungguh Kami telah melapangkan untuk kamu dadamu.10 Menurut asy-Syaukani, maksud dari ayat ini adalah anugerah Allah SWT kepada Nabi saw. dengan melapangkan dan meluaskan dadanya hingga bisa mengerjakan dakwah yang disampaikan dan mampu memikul beban kenabian dan menjaga wahyu.11
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, penyebutan berbagai kenikmatan dan kebaikan Allah SWT kepada Nabi saw. itu sebagai dorongan kepada beliau untuk mensyukuri semua itu agar Allah SWT memberikan tambahan kenikmatan.12
Kemudian disebutkan nikmat lainnya: wawadha’nâ ‘anka wizraka ([bukankah Kami] telah menghilangkan dari dirimu bebanmu). Secara bahasa, kata al-wizr berarti al-himl ats-tsaqîl (beban yang berat); bisa juga berarti adz-dzanb (dosa). Disebut demikian karena menjadi beban.13 Oleh karena itu, beberapa mufassir seperti al-Qurthubi, Ibnu Katsir, as-Samarqandi, dan lan-lain memaknai al-wizr dalam ayat ini sebagai dosa. Maknanya, Allah SWT telah mengampuni Rasulullah saw. atas dosa-dosa beliau, yang terdahulu maupun yang akan datang.14 Pengertian tersebut dinilai sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS al-Fath [48]: 2.
Menurut Mahmud Shafi, ungkapan wadh’ al-wizr (penghilangan beban) merupakan kinâyah (kiasan) atas kemaksuman Nabi saw. dari dosa dan kebersihan beliau dari adnâs (dosa). Penjelasan senada juga dikemukakan as-Samarqandi.15
Namun, as-Sudi dan mufassir lainnya memaknai al-wizr sebagai ats-tsiql (beban) sehingga pengertian ayat ini adalah wahathathnâ ‘anka tsiqlaka ([bukankah Kami] telah menurunkan bebanmu dari dirimu).16 Al-Biqa’i juga menafsirkan wawadha’nâ sebagai hathathnâ wa asqatnâ wa abthalnâ (Kami telah menurunkan, menggugurkan dan membatalkan) hingga benar-benar tidak kembali dan tidak ada. Adapun frasa ‘anka wizraka berarti bebanmu yang berat, yang tidak sanggup kamu pikul, sebagaimana dijelaskan dalam ayat sesudahnya.17
Allah SWT berfirman: al-ladzî anqadha zhahraka (yang memberatkan punggungmu). Dijelaskan Muhammad Abdul Lathif, ayat ini berarti atsaqalahu (memberatkan dirimu).18
Kemudian Allah SWT berfriman: warafa’nâ laka dzikraka ([bukankah Kami] telah meninggikan bagi dirimu sebutan [nama]-mu). Ini merupakan kenikmatan lain yang diberikan kepada Rasulullah saw.: namanya diletakkan dalam posisi amat tinggi, yang tidak dapat ditandingi dan disamai oleh seorang pun.
Menurut al-Hasan, ayat ini memberikan pengertian bahwa Allah SWT tidak disebut dalam suatu tempat kecuali disebutkan pula bersama asma-Nya itu nama Rasulullah saw.19 Selain itu masih ada penjelasan beberapa mufassir mengenai fakta pengagungan sebutan/nama Rasul saw., seperti penyebutan perintah menaati Rasul saw. setelah perintah menaati Allah, perintah untuk bershalawat kepada Rasul, dan lain-lain.
Berikutnya Allah SWT berfirman: fainna ma’a al-‘usyri yusr[an] (karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan). Artinya, sesungguhnya bersama adh-dhayyiqah wa asy-syiddah (kesempitan dan kesulitan) ada yusr[an] (kemudahan), yakni sa’ah wa ghina (kelapangan dan kecukupan).20 Dijelaskan Sihabuddin al-Alusi, tanwin pada kata yusr[an] berfungsi li at-tafkhîm (untuk mengagungkan); seolah dikatakan bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan yang besar. Ini merupakan perkara yang dijanjikan Allah SWT kepada Nabi-Nya. Bahkan sebagaimana dijelaskan oleh sebagian mufassir, janji ini juga berlaku bagi umatnya.
Penegasan itu diulangi lagi dalam ayat berikutnya: inna ma’a al-‘usyri yusr[an] (sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan). Tikrâr (pengulangan) tersebut memberikan makna ta’kîd (penguatan).21
Menarik untuk dicermati adalah bentuk kata yang digunakan dalam kedua ayat tersebut. Pada kedua ayat tersebut, kata al-‘usr berbentuk al-ma’rifah, sedangkan kata yusr berbentuk an-nakirah. Dijelaskan asy-Syaukani dan al-Zujjaj, pengulangan bentuk ma’rifah pada ayat kedua menunjuk pada fakta yang sama dengan fakta yang disebutkan dalam ayat pertama. Sama saja apakah yang dimaksud dengan itu adalah al-jins (menunjukkan makna jenis) maupun al-‘ahd (menunjukan pada kata sebelumnya). Adapun bentuk an-nakirah, apabila diulangi, menunjukkan fakta yang berbeda dengan fakta yang disebutkan sebelumnya. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan sabda Nabi saw.:
لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak).
Setelah menjelaskan berbagai anugerah yang diberikan kepada Rasulullah saw., Allah SWT berfirman: Faidzâ faraghta fa[i]nshab (Jika kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh [urusan yang lain]). Kata faragha bermakna khalâ (kosong). Dengan demikian pengertian farghta adalah khalawta min asy-syughul (selesai dari aktivitas).22 Adapun an-nashab berarti at-ta’ab ba’da al-ijtihâd (letih setelah pencurahan tenaga dan pikiran). Ini seperti yang disebutkan dalam QS al-Ghasyiyah [88]: 2-3. Ungkapan an-nashab bisa digunakan untuk urusan dunia maupun akhirat.23
Di dalam ayat ini tidak dijelaskan secara spesifik urusan yang telah selesai dilakukan dan urusan lain yang harus segera dipersiapkan. Oleh karena itu, para mufassir berbeda pendapat dalam tentang hal ini. Ibnu ‘Abbas dan Qatadah menyatakan bahwa pengertian ayat ini: “Jika sudah selesai shalat maka segeralah bersungguh-sungguh dalam berdoa.” Menurut Ibnu Mas’ud, “Jika telah selesai dari kewajiban maka bersungguh-sungguhlah dalam shalat malam.” Adapun al-Kalbi mengatakan, “Jika telah selesai menyampaikan risalah maka segera meminta ampun untuk dosamu, dosa kaum Mukminin dan Mukminat.”24
Meskipun tampak berbeda, semua penjelasan tersebut saling berdekatan; bahwa ketika seorang Muslim telah menyelesaikan suatu urusan, dunia maupun akhirat, maka dia harus segera bersiap untuk mengerjakan urusan lainnya.
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: wa ilâ Rabbika fa[i]rghab (dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap). Menurut az-Zamakhsyari, ayat ini berarti: “Jadikanlah raghbah-mu (permohonanmu yang sungguh-sungguh) hanya khusus kepada Allah. Kamu tidak meminta kecuali keutamaan-Nya dengan benar-benar bertawakal kepada-Nya.” Pengertian fa[i]rghab adalah tadharru’ wa stawakkul wa[i]j’al raghbataka bil-Lâh fî jamî’ syu’ûnika (merendahkan diri dan bertawakallah serta jadikanlah permohonanmu yang sungguh-sungguh kepada Allah dalam semua urusanmu).25
Meraih Kelapangan Hidup
Ada beberapa perkara yang perlu ditandaskan terkait surat ini. Pertama: ihwal dada Rasulullah saw. Dilapangkan. Sebagaimana dijelaskan para mufassir, dada beliau dilapangkan kepada Islam dan segala perkara yang diwahyukan kepada beliau. Meskipun tidak sama persis, ini juga bisa dianugerahkan kepada siapa saja yang ditunjuki pada Islam. Hal ini berkebalikan dengan orang yang Allah sesatkan; dadanya dibuat sesak dan sempit. Allah SWT berfirman:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
Siapa saja yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Siapa saja yang Allah kehendaki Allah untuk disesatkan niscaya Dia menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit (QS al-An’am [6]: 125).
Kedua: janji kemudahan setelah kesulitan kepada Rasulullah saw. Hampir setiap manusia pernah mengalami masa sulit, sempit dan susah. Namun, ayat ini memberikan kepastian kepada Nabi-Nya bahwa masa tersebut akan berlalu dan berganti dengan kemudahan, kelapangan dan kegembiraan. Bahkan sebagaimana diterangkan para mufassir, kemudahan dan kelapangan itu lebih besar dan lebih banyak daripada kesulitan dan kesempitan. Tak hanya kepada Nabi saw. Hal itu juga dijanjikan kepada orang-orang yang mau menaati syariah-Nya. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan bagi dirinya kemudahan dalam urusannya (QS ath-Thalaq [65]: 4).
Dengan demikian, setiap Muslim harus senantiasa optimis dan bersemangat dalam hidupnya; bahkan ketika sedang didera kesulitan dan kesempitan sekalipun. Sebab, di dalam diri mereka senantiasa tersimpan harapan untuk mendapatkan kemudahan dan kelapangan. Di pelupuk matanya juga senantiasa dihiasai bayangan indah akan dekatnya pertolongan Allah SWT.
Ketiga: tidak membiarkan waktu senggang terlalu lama. Ketika telah usai mengerjakan sebuah urusan, harus segera bersiap mengerjakan urusan berikutnya. Tentu semua urusan tersebut dikerjakan sesuai dengan ketentuan syariah, termasuk aspek awlâwiyah (prioritasnya).
Ini adalah prinsip yang harus dipegang teguh dan diamalkan kaum Mukmin. Waktu, kesempatan dan usia yang diberikan Allah SWT harus benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak boleh kesempatan dibiarkan terbuang sia-sia tanpa guna. Tidak boleh ada waktu berlalu kecuali diisi dengan amal salih yang Allah SWT ridha. Tidak boleh usia berkurang kecuali mendatangkan pahala. Seorang Muslim yang baik akan meninggalkan semua yang tidak berguna. Rasulullah saw. bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya (HR at-Tirmidzi).
Keempat: hanya kepada Allah SWT manusia wajib berharap dan bertawakal. Untuk menyelesaikan setiap urusan, manusia memang diperintahkan untuk berusaha. Akan tetapi, segala urusan dan peristiwa hanya terjadi atas izin dan kehendak-Nya. Dia pula yang berkuasa atas segala sesuatu. Jika Dia menghendaki, niscaya tidak ada satu pun yang bisa mencegah dan menghalangi. Inilah keyakinan yang harus dimiliki setiap manusia. Oleh karena itu, manusia wajib menjadikan Allah SWT sebagai tempat bersandar bagi dirinya dalam semua urusan. Hanya kepada Allah SWT pula manusia wajib bertawakal, menyerahkan semua urusannya; juga memohon dengan sungguh-sungguh seluruh doa dan permohonannya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 385. Pendapat ini juga diambil oleh az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), 770.
2 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, 2000), 205; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 415; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 274.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 562; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 496. Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 104.
4 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 385.
5 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 562.
6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 104.
7 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 499.
8 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 496.
9 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 117.
10 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 562.
11 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 562.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassah al-Risalah, 2000), 493.
13 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5 (Beirut: Dar Shadir, tt), 282.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 416.
15 Mahmud Shafi, Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân al-Karîm, vol. 30 (Damaskus: Dar Rasyid, 1998), 358; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 489.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 106.
17 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 120
18 Muhammad Abdul Lathir, Awdhah at-Tafâsîr (Kairo: Mathba’ah Mishriyyah, 1964), 754.
19 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 563.
20 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 107.
21 Al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz (Damaskus: Dar al-Qalam, 1995), 1212; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 490.
22 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008),
23 Asy-Syinqiti, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 578.
24 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 109.
25 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 293.