إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِى فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Sesungguhnya di antara yang dipahami masyarakat dari perkataan kenabian yang dulu: jika kamu tidak punya rasa malu maka berbuatlah sesukamu (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi dan lainnya).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abi Mas’ud Uqbah bin Amru al-Anshari al-Badri. Imam an-Nawawi mencantumkan hadis ini dalam Al-Arba’un sebagai hadis ke-20.
Sabda Nabi saw., min kalâm an-nubuwwah al-ûlâ (dari perkataan kenabian yang dahulu), menunjukkan bahwa sifat malu itu merupakan sesuatu yang terpuji dan diperintahkan sejak di dalam syariah para nabi terdahulu. Di dalam syariah Islam, hal itu tidak di-nasakh sehingga sifat malu itu merupakan sesuatu yang disyariatkan.
Menurut ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam, secara bahasa malu adalah perubahan yang terjadi pada manusia karena takut atas sesuatu yang dicela atau menjadi aib. Adapun secara syar’i, malu adalah sifat yang mendorong untuk meninggalkan yang tercela dan menghalangi dari melalaikan hak pihak yang memiliki hak. Sabda Rasul saw., idzâ lam tastahiy fa [i]shna’ mâ syi’ta (jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu), bisa dipahami dari tiga aspek. Pertama: disampaikan dengan redaksi perintah, tetapi maknanya adalah celaan dan ancaman. Hal itu seperti firman Allah SWT:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Perbuatlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan (QS Fushshilat [41]: 40).
Jadi maknanya bukan benar-benar perintah: jika tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu. Maknanya justru ancaman dan celaan, yakni: jika engkau tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu dan sesungguhnya Allah akan memberi balasan atas apa saja yang kamu lakukan itu.
Kedua: sabda Rasul saw. Itu, meski disampaikan dalam redaksi perintah, maknanya adalah berita (khabar), yaitu maknanya: jika kamu tidak punya rasa malu maka kamu akan melakukan apa saja sesukamu. Hal itu untuk mengisyaratkan bahwa di antara yang menghalangi seseorang melakukan keburukan adalah sifat malu. Jika ia telah meninggalkan atau melepaskan sifat malu itu, tidak ada lagi yang menghalangi dirinya dari keburukan. Sebaliknya, dengan hilangnya rasa malu, justru ada faktor-faktor yang mendorong dia melakukan keburukan sehingga seolah-olah ia diperintah untuk melakukan keburukan itu, apa saja sesukanya.
Dalam konteks sifat malu akan mencegah dari keburukan maka Rasul saw menyatakan hal itu sebagai bagian dari iman, sebab sifat malu itu berperan seperti iman yang mencegah seseorang dari keburukan. Rasul saw. bersabda:
الْحَيَاءُ مِنْ الإِيْمَانِ
Sifat malu itu bagian dari iman (HR Muttafaq ‘alayh).
Dalam hal ini Ibn Qutaibah mengatakan, “Maknanya, sifat malu mencegah pemiliknya dari melakukan kemaksiatan sebagaimana iman sehingga malu disebut bagian dari iman. Itu seperti sesuatu yang disebut dengan sebutan perkara yang digantikan posisinya. Sifat malu itu terbentuk dari al-jubnu (rasa takut) dan ‘iffah (menjaga kesucian diri).”
Ketiga: makna sabda Rasul saw. itu sesuai dengan arti tekstualnya, yaitu: jika sesuatu yang ingin engkau lakukan termasuk sesuatu yang tidak perlu malu melakukannya baik kepada Allah ataupun kepada manusia, karena merupakan ketaatan, termasuk akhlak yang baik atau sopan santun yang dipuji, maka lakukan sesukamu. Sebaliknya, jika termasuk sesuatu yang membuat malu baik kepada Allah atau kepada manusia, maka jangan engkau lakukan.
Dengan demikian, kalau dengan alasan malu seseorang melalaikan kewajiban, tidak melakukan kebaikan, tidak mengingkari kemungkaran, tidak memberikan nasihat, dsb, maka menurut para ulama itu bukanlah sifat malu, melainkan merupakan kelemahan dan kerendahan.
Maka dari itu, yang harus diwujudkan adalah sifat malu yang sebenarnya. Itulah yang diperintahkan oleh Rasul saw. Ibn Mas’ud ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ. قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَنَسْتَحْيِى وَالْحَمْدُ لِلَّهِ. قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَتَتَذَكَّرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya!” Ibn Mas’ud berkata, “Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami sungguh merasa malu dan alhamdu lillah.” Beliau bersabda, “Bukan yang itu. Akan tetapi, malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah engkau jaga kepala dan apa yang diwadahinya, engkau jaga perut dan apa yang dimuat/dikumpulkannya dan engkau mengingat kematian dan kerentaan; dan siapa yang menginginkan akhirat ia tinggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang melakukan hal itu, ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Artinya, malu kepada Allah itu diwujudkan dengan menjaga kepala beserta isinya termasuk pikiran, ide dan penilaian, telinga (pendengaran), mata (penglihatan), hidung (penciuman) dan lisan (ucapan) dari apa saja yang tercela, yang menjadi aib bagi kita di hadapan Allah SWT; juga dengan menjaga perut beserta muatannya (makanan) dan apa saja yang dihubungkan oleh perut baik dada (perasaan), tangan (perbuatan), kemaluan dan kaki (langkah-langkah kita) dari apa saja yang tidak diridhai oleh Allah SWT.
Dengan demikian, sifat malu yang disyariatkan itu adalah sifat malu yang menjaga dan mencegah kita dan seluruh organ tubuh kita dari segala bentuk kemaksiatan. Sifat malu semacam ini akan mendorong dan membuat kita bergairah menunaikan kewajiban, melaksanakan ke-mandub-an dan melaksanakan berbagai ketaatan. Sifat malu ini terus menyemangati kita untuk merealisasi kewara’an. Itulah sifat malu yang membuat seorang hamba senantiasa terikat dengan syariah Rabb-nya, menjadikan dia sebagai ‘abdullah, bukan budak dunia, hawa nafsu dan setan. Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh [Yahya Abdurrahman].