HTI

Muhasabah (Al Waie)

Benteng Umat

Ramadhan telah berlalu. Di tengah kekhusyukan Ramadhan tahun ini umat Islam disuguhi pemandangan yang menyakitkan. Ramadhan yang mestinya menjadi momentum penyatuan umat Islam tidak terjadi. Sebut saja Somalia. Di negeri Muslim Somalia tengah terjadi kelaparan. PBB melaporkan 3,7 juta orang (separuh penduduk) di negara  yang berpenduduk 9,3 juta dengan mayoritas Muslim ini dilanda kelaparan.

Tanggapan dari pemerintahan Muslim yang kaya hampir tak berarti. Penguasa Muslim yang menjadi boneka Barat tidak begitu peduli. Mereka lebih memilih membelanjakan harta hasil korupsinya untuk perkara yang tidak penting. Qatar, misalnya, membelanjakan  $430 juta untuk membeli suatu hasil karya seni AS. Padahal uang sejumlah itu dapat digunakan untuk memberi makan 4,3 juta orang, tiga kali makan sehari, selama satu bulan penuh (sekali makan perorang Rp 10.000). Sungguh memilukan.

Saat anak-anak binasa karena kekurangan gizi, para penguasa Muslim sibuk membeli bank-bank AS yang bangkrut, membeli vila indah atau klub sepakbola Eropa. Sekadar contoh: Syeikh Mansour membeli Manchester City dengan harga Rp 2,8 triliun, Sulaiman Al-Fahim mengakuisi Portsmout Rp 986,7 milliar, Pangeran Faisal bin Fahd bin Abdullah dari Saudi berniat membeli Liverpool dengan kisaran harga Rp 5,15 triliun! Padahal saat bulan Ramadhan, al-Quran dibaca sampai khatam. Apa yang ada di dada kita saat membaca ayat (yang artinya): Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin (TQS al-Ma’un [107]: 1-3).

Apakah kelaparan yang dirasakan saudara kita di Somalia tidak kita rasakan di sini? Terbayangkah oleh kita rintihan mereka di sana ketika kita sedang makan ketupat dengan lauk-pauknya yang serba mewah? Bukankah Muslim itu saudara Muslim lainnya? Bayangkan, bila umat Islam ini punya khalifah sebagai pemimpin; mereka pasti akan ada yang memperhatikan.

Di tengah kesungguhan kita menjaring Lailatul Qadar, di Amerika Serikat (AS) telah diterbitkan sebuah buku berjudul: We Shall not Forget 9/11, The Kids’ Book of Freedom (Kami Tidak Akan Pernah Lupa 9/11-Buku Bebas untuk Anak-anak), yang ditulis oleh Wayne Bell. Di antara tulisannya berbunyi, “Hai, anak-anakku, yang benar adalah, bahwa inilah tindakan teroris yang dilakukan oleh para ekstremis Islam yang benci akan kebebasan…Mereka adalah orang-orang gila yang membenci cara hidup Amerika, sebab kami orang-orang yang merdeka dan masyarakat kami hidup bebas.”

Padahal hingga sekarang pengadilan tentang hal tersebut belum pernah digelar. Justru banyak peneliti independen dari AS sendiri menyatakan bahwa pelaku peledakan WTC itu adalah AS sendiri. Buku ini sungguh telah melukai perasaan kaum Muslim. Penulisnya dengan sengaja mengobarkan kebencian terhadap Islam. Umat Islam pun tidak bereaksi apa-apa. Diam. Padahal al-Quran menegaskan (yang artinya): Mereka mengharapkan kehancuran kalian. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat (QS Ali ‘Imran [3]: 118).

Di Libya, Qaddafi dengan dukungan Barat, membunuhi rakyatnya sendiri. Namun, rakyat terus berjuang. Di antaranya Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang bahkan melakukan perlawanan terhadap kezaliman Qaddafi sejak hari pertama rezim itu berkuasa. Bahkan Hizbut Tahrir telah mempersembahkan sejumlah syuhada dalam menentang kezaliman Gaddafi dan rezimnya itu. Setelah rezim tiran Qaddafi jatuh, negara-negara imperialis mulai bersaing untuk mengeksploitasi minyak Libya. Lagi-lagi, negeri Muslim menjadi rebutan negara penjajah. Mengapa? Sebab, umat Islam tidak memiliki khalifah sebagai benteng yang menjaganya.

Begitu juga di Suriah. Sejumlah ulama senior dan intelektual mengutuk serangan berulang oleh rezim Suriah terhadap rumah-rumah Allah, para ulama dan setiap tempat suci, pada bulan Ramadhan. Penyerangan terbaru dilakukan terhadap ulama senior Suriah, Syaikh Usamah ar-Rifa’i. Sejumlah unjuk rasa antipemerintah dilaporkan terjadi di berbagai tempat di Suriah setelah salat Idul Fitri hari Selasa (30/8). Ribuan orang turun ke jalan-jalan termasuk di Ibukota Damaskus. Namun, pasukan keamanan justru melakukan penembakan yang menewaskan paling tidak tujuh orang. Penguasa Muslim lain membisu terhadap realita ini. Padahal bukankah mereka membaca hadis Rasulullah saw.: “Seorang Mukmin bagi Mukmin lainnya laksana satu bangunan yang saling menopang satu sama lain (Beliau mengeratkan jari-jemari beliau satu sama lain).” (HR al-Bukhari).

Lagi-lagi nyawa umat Islam tertumpah murah. Kita sungguh butuh khalifah yang menjaga kehormatan darah umat Muhammad ini.

Di Indonesia, perbedaan hari Idul Fitri juga mengherankan. Hanya karena suara terbanyak menghendaki lebaran pada hari Rabu (31/8/2011), kesaksian terlihatnya hilal di beberapa tempat oleh sejumlah orang terpercaya dan telah disumpah, justru ditolak. Padahal dengan merujuk pada qawl dan fi’l Rasulullah saw. jumhur ulama menyatakan bahwa kesaksian rukyat hilal awal dan akhir Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil. Suara mayoritas dan perkataan ahli astronomi mengalahkan hukum syariah. Akhirnya, banyak orang berbuka pada hari selasa, sekalipun shalat Id ikut hari Rabu. Padahal laporan dari beberapa negara lain pun, termasuk Makkah dan Madinah, hilal telah terlihat malam selasa. Belum lagi muncul rumor bahwa Saudi meralat keputusan Idul Fitri pada Selasa (30/8/2011). Hal ini langsung dibantah oleh pihak Saudi. Memang, ada pihak yang tidak menghendaki persatuan kaum Muslim sedunia. Tidak berlebihan bila Dr. Ali Jum’ah, Mufti Agung Mesir, menjelaskan bahwa entitas Zionis berada di belakang rumor ketidakabsahan hilal Syawal, yang dibesar-besarkan oleh media baru-baru ini. Jum’ah mengatakan, “Dunia Islam sangat menginginkan persatuan, bahkan ingin merayakan Idul Fitri yang berkah ini secara serempak di hari yang sama.”

Wajar saja hal ini terjadi, sebab umat Islam tidak memiliki khalifah sebagai pemersatu dan benteng umat.

Berkaitan dengan hal ini kita patut merenungkan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya imam/khalifah itu adalah benteng.” (HR Muslim dalam kitab Shahih Muslim, VI/17).

Imam as-Suyuthi memaknai hadis ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya imam/khalifah itu adalah benteng, maksudnya laksana perisai. Sebab, ia mencegah musuh menyakiti kaum Muslim dan mencegah manusia menyakiti satu sama lain; juga menjaga Islam serta melindungi masyarakat dari kaum kafir dan pembangkang Islam.” []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*