Turki di bawah pemerintahan Partai AKP dan PM Erdogan saat ini sering dikampanyekan sebagai model terbaik Negara Islam modern. Turki dianggap berhasil memadukan Islam dan sekularisme. Pertumbuhan ekonomi Turki yang tinggi sering dijadikan argumentasi atas hal itu. Erdogan atau pemerintah Turki pun bangga dengan itu dan menyeru negeri-negeri Muslim lainnya agar menjadi negara sekular seperti Turki, sebagaimana saat Erdogan berkunjung ke Mesir September lalu.
Untuk mendiskusikan masalah itu, Redaksi mewawancarai Ust. Farid Wajdi dari DPP HTI. Berikut petikannya.
Republik Turki di bawah rezim Partai AKP sekarang dinilai sebagai model negara yang berhasil memadukan Islam dan demokrasi. Bagaimana pandangan Ustadz?
Secara konseptual Islam dan demokrasi tidak bisa disatukan. Lantas bagaimana bisa dikatakan Republik Turki sukses memadukan keduanya? Islam dan demokrasi adalah dua sistem hidup yang berbeda dan bertentangan sama sekali. Kita bisa lihat dari konsep kedaulatannya (sovereignity). Demokrasi menganut konsep kedaulatan di tangan rakyat (as-siyâdah li asy-sya’bi) yang menyerahkan hak membuat hukum kepada manusia atas nama suara terbanyak. Sebaliknya, dalam Islam hak membuat hukum adalah milik Allah SWT semata-mata (as-siyâdah li asy-syar’i). Perlu kita catat, konsep kedaulatan ini adalah perkara yang paling asasi (ushuli) karena berkaitan dengan siapa yang berhak menjadi sumber hukum. Kedaulatan ini sifatnya mutlak, tidak bisa dibagi, sehingga sangat menentukan sistem kenegarannya.
Bagaimana dengan ungkapan Erdogan ketika berkunjung ke Mesir bahwa sekularisme bukan berarti meninggalkan agama, bahkan negara sekular akan menghormati semua agama?
Memang, negara sekular mengakui agama seperti halnya di Amerika Serikat dan Inggris. Namun, sekularisme membatasi peran agama sebatas ritual, moral dan masalah individual. Adapun dalam politik, ekonomi, sanksi dan pidana, hukum-hukum agama tidak boleh dijadikan dasar. Di beberapa negara sekular memang umat Islam diberikan ruang untuk shalat atau shaum. Namun, tentu saja syariah Islam tidak bisa dijadikan dasar pengaturan praktis dalam masalah ekonomi atau politik. Bahkan di beberapa negara sekular seperti Prancis, dengan alasan menjaga sekularisme, pemakaian busana Muslimah burqa dilarang.
Barat tidak begitu khawatir kalau umat Islam memiliki ritual yang baik, moral yang bagus. Hal itu tidak akan mengancam kekuasaan mereka. Yang paling mereka khawatirkan adalah kalau Islam diterapkan secara menyeluruh; diterapkan juga dalam kenegaraaan dan politik. Inilah yang mereka khawatirkan. Seperti yang ditulis Snouck Hurgronje, orientalis yang pura-pura masuk Islam, dalam sebuah surat kepada Goldziher tahun 1886, satu tahun setelah perjalanannya ke Makkah, yang mengatakan, “Saya tidak pernah keberatan dengan unsur-unsur keagamaan (ritual) dari lembaga ini [Islam]. Hanya pengaruh politik menurut pendapat saya patut disayangkan. Sebagai orang Belanda saya merasa sangat penting untuk melawan ini.”
Apakah ini merupakan masalah bagi Islam?
Untuk beberapa agama, bisa jadi tidak masalah, karena agama-agama itu memang hanya mengatur masalah ritual, moral dan individual. Sebaliknya, dalam pandangan Islam ini merupakan masalah besar dan prinsip. Sebab, Islam adalah agama yang komprehensif mengatur seluruh aspek kehidupan; ekonomi, politik, sanksi hukum, pendidikan, sosial, dll.
Artinya, demokrasi dan sekularisme tidak akan pernah compatible dengan Islam?
Ya, benar. Bagaikan air dan minyak, keduanya tidak mungkin bersatu. Demokrasi menyerahkan hak membuat hukum kepada manusia, sementara dalam Islam hak membuat hukum adalah milik Allah SWT. Sebagaimana dalam firman-Nya: Inilhukmu illa liLlah. Mengadopsi sekularisme berarti mencampakkan banyak hukum Islam terutama dalam masalah politik, kenegaraan, sanksi dan pidana atau ekonomi. Inilah yang kita lihat di Turki. Lihat saja apakah di Turki syariah Islam di jalankan? Tentu saja tidak. Justru tuntutan syariah Islam inilah yang ditentang oleh kelompok sekularis. Kalau Islam sejalan dengan sekular, lantas mengapa kelompok sekular menolak penerapan seluruh syariah Islam? Kalau sejalan dengan Islam, mengapa menolak konsep khilafah dan negara Islam? Mengapa para syabab Hizbut Tahrir di Turki yang menyerukan syariah Islam dan Khilafah ditangkap oleh rezim Erdogan? Jangankan persoalan Khilafah, penggunaan jilbab saja di Turki masih dipersoalkan.
Bukankah Partai AKP dikenal memiliki akar Islam yang kuat dan dipimpin oleh orang-orang Islam?
Yang pasti, elit-elit Partai AKP dengan tegas menyatakan bahwa partai mereka bukan partai Islam seperti pernyataan Erdogan di Johns Hopkins University. Saat berbicara dengan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (17/4/2007), Erdogan juga menegaskan komitmennya mendukung negara sekular Turki. Saat berkunjung ke Mesir September lalu, Erdogan malah menyerukan Mesir akan agar menjadi negara sekular.
Bagaimana dengan anggapan bahwa partai AKP sukses meskipun tidak mengklaim partai Islam?
Persoalannya, apa yang menjadi ukuran sukses atau kemenangan sebuah partai dalam pandangan Islam. Menurut saya, ukurannya bukan apakah anggota partai itu menang dalam Pemilu, duduk sebagai anggota parlemen atau menguasai mayoritas parlemen seperti partai AKP. Bukan pula ukurannya kader partai menjadi perdana menteri, gubernur atau walikota. Namun, apakah dengan kekuasaannya itu mereka menyerukan Islam dan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh atau tidak. Apa artinya kekuasaan kalau bukan untuk menerapkan syariah Islam secara menyeluruh?
Namun, Turki di bawah rezim Partai AKP saat ini dipandang perlu ditiru karena sukses meningkatkan pertumbuhan ekonomi Turki?
Lagi-lagi persoalannya bukan sekadar apakah terjadi kemajuan ekonomi atau tidak. Bagi seorang Muslim yang terpenting adalah, meraih keridhaan Allah SWT dengan menjalankan Syariat Islam. Dengan syariat Islam, selain bisa mensejahterakan masyarakat, menjamin kebutuhan pokok rakyat, pendidikan gratis dan kesehatan gratis, juga mendapat ridha Allah SWT.
Memang, Turki di bawah rezim Partai AKP mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Laju pertumbuhan ekonomi negara itu mencapai 8,9 persen pada tahun 2010. Ketika partai AKP mengambil-alih kekuasaan, produk domestik bruto (PDB) Turki baru senilai 230 miliar dolar pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 742 miliar dolar. Namun, PDB Turki tentu masih jauh dibandingkan dengan negara-negara Eropa. Peningkatan PDB atau pertumbuhan tinggi itu tidak lantas menjamin dan menunjukkan bahwa secara individu-perindividu masyarakat negara itu sejahtera. Sebab, kekayaan bisa menumpuk pada segelintir orang saja. Perlu juga dicatat, pertumbuhan ekonomi Turki tidak bisa dilepaskan dari program liberalisasi ekonomi yang dicanangkan Erdogan. Karena itu, ekonomi Turki sangat bergantung pada ekonomi Kapitalisme global dunia yang rapuh. Kalau Amerika dan Eropa sebagai pionirnya saja bisa guncang, tentu bukan mustahil hal yang sama terjadi di Turki. Itu tinggal menunggu waktu. Seperti Indonesia, oleh Barat pernah dipuji sebagai kekuatan ekonomi baru sebelum terjadi krisis ekonomi di era Suharto, bahkan disebut macan ekonomi asia. Namun, hanya dalam waktu singkat ekonomi Indonesia bangkrut.
Turki juga menghadapi masalah yang sama; kesenjangan kaya-miskin. Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, angka kemiskinan di Turki pada 2009 justru meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurut laporan terbaru oleh Institut Statistik Turki atau TurkStat, prosentase orang Turki yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dari 17,79 persen pada tahun 2008 menjadi 18,08 persen atau 12.750.000 orang. Pada Rabu (2/3/2011), Harian Hurriyet Daily News & Economic Review mengutip pendapat sosilog Aykut Toros menyatakan, bahwa berdasarkan penelitian TurkStat tidak terlihat adanya perbaikan dalam distribusi pendapatan dan hal itu akan menyeret ke budaya konflik dan ketidaksetaraan.
Lalu mengapa Amerika sangat gencar mempromosikan Republik Turki sebagai model ideal untuk negeri-negeri Islam terutama pasca ‘revolusi’ Timur Tengah sekarang?
Manuver politik Partai AKP sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan Amerika Serikat di kawasan itu, terutama kepentingan menggeser pengaruh Inggris dalam angkatan bersenjatan Turki. Partai AKP di bawah kepemimpinan Erdogan menerapkan kebijakan untuk menyambung hubungan dengan Amerika dalam rangka menghilangkan pengaruh Inggris dan hubungannya dengan Angkatan Darat. Strategi utama yang dilakukan Partai AKP adalah mendapat dukungan dari umat Islam Turki lewat isu-isu Islam seperti kerudung dan isu Palestina. Harapannya, rakyat semakin kehilangan kepercayaan terhadap Angkatan Bersenjata Turki yang dikenal sebagai penjaga negara sekular Turki yang anti Islam.
Bahkan dalam Shared Vision Document yang ditandatangani Pemerintah Turki dan Amerika oleh Abdullah Gul dan Condoleezza Rice pada tanggal 5 Juli, 2006 tampak bahwa pemerintahan Erdogan berada dalam hegomoni AS. Dokumen ini membuktikan bahwa manuver global Turki bukanlah Islam atau independen, tetapi untuk melayani kepentingan Amerika Serikat.
Bukankah Erdogan tampak seperti anti Israel?
Ya, benar. Itu tidak bisa dilepaskan dari upaya meningkatkan bergaining Turki sebagai alat politik Amerika di Timur Tengah. Amerika berharap dengan menampilkan Turki seperti ini, akan mudah diterima oleh rakyat Timur Tengah. Namun, perlu kita catat, yang dilakukan oleh Turki adalah sebatas penundaan kerjasama militer dan ekonomi dengan Israel, bukan memutusnya sama sekali. Turki hingga saat ini belum memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Malahan Abdullah Gul pernah menyerukan agar HAMAS menerima eksistensi Israel dan menerima konsep dua negara. Solusi dua negara itu pada prinsipnya hanya menjalankan kepentingan Amerika Serikat. Itu berarti mengakui keberadaan negara penjajah, Israel. Demikian juga kembali pada perbatasan Palestina 1967, berarti mengakui keberadaan negara Israel yang berdiri tahun 1947.
Apa latar belakang Turki atau Erdogan menyerukan agar Mesir mengadopsi sekularisme?
Laporan Rand Corperation (2008) bisa memperjelas hal ini. Dalam laporan yang berjudul The Rise of Political Islam in Turkey, Rand Corporation menjelaskan tentang pentingnya peran Turki untuk menunjukkan bahwa sekularisme dan Islam bisa menyatu, untuk mencegah radikalisasi. Rand Corporation menyimpulkan: Hal ini penting, karena masuk ke jantung masalah kompatibilitas Islam dan demokrasi. Kemampuan partai dengan akar Islam untuk beroperasi dalam kerangka sistem demokrasi sekular dengan menghormati batas-batas antara agama dan negara akan memban-tah argumen bahwa Islam tidak dapat didamai-kan dengan demokrasi sekular modern. Di sisi lain, jika percobaan gagal, bisa menyebabkan polarisasi sekular-Islam menjadi lebih mendalam. Pada gilirannya akan mengurangi jalan tengah yang dibutuhkan untuk membangun benteng Muslim moderat yang dibutuhkan untuk mencegah penyebaran Islam radikal. Karena itu, entitas mainstream di Turki harus didorong untuk bermitra dengan kelompok dan lembaga tempat lain di dunia Muslim untuk menyebarkan interpretasi moderat dan pluralistik Islam.
Walhasil, lagi-lagi ini adalah kepentingan Amerika. Amerika sangat mengkhawatirkan dukungan yang besar dari rakyat Mesir yang menginginkan syariah Islam dan menghendaki berdirinya negara Islam di Mesir. Erdogan dipakai untuk menghambat pendirian Negara Islam itu. Sebab, Negara Islam akan mengancam tiga kepentingan Amerika di Timur Tengah: kontrol suplay minyak murah, menjaga eksistensi Israel dan mencegah bangkitnya ideologi Islam yang menerapkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah. []