Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan bahwa persepsi diri tentang negara gagal sesungguhnya telah sirna pasca krisis multidimensi 1998-1999. Ia pun dengan bangga menyatakan bahwa Indonesia tidak lagi menjadi negara ekonomi Dunia Ketiga, tetapi telah bergeser ke negara emerging economy. Bahkan dalam dua atau tiga dasawarsa ke depan Indonesia ia prediksikan menjadi sepuluh negara ekonomi berskala besar.
Benarkah pernyataannya itu? Ataukah sekadar wacana untuk memoles citra? Lantas apa yang membuat Pemerintah gagal dalam mengelola negara ini? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Majalah al-Wa’ie Joko Prasetyo dengan Pengamat Kebijakan Publik Dr. Ichsanuddin Noorsy. Berikut petikannya.
Bagaimana tanggapan Anda dengan pernyataan SBY yang menyebutkan bahwa persepsi diri tentang negara gagal sesungguhnya telah sirna, setelah kita berhasil sepenuhnya keluar dari krisis multi dimensional yang berlangsung selama 1998-1999?
Sebenarnya ketika kita berhadapan dengan krisis tahun 2008, dengan banyaknya stimulus fiskal yang kita keluarkan, itu menunjukkan perekonomian Indonesia rentan. Itu yang pertama.
Yang kedua, pada tahun 2005, saat belum setahun dia memimpin, dia sudah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 125 persen, dan pada tahun 2008, dia menaikan harga BBM 27 persen.
Itu menunjukkan apa?
Itu menunjukkan bahwa dalam hal energi saja SBY sesungguhnya dalam situasi yang didikte pasar. Dengan begitu, ketika dia bilang krisis kita sudah lewat, secara menyeluruh mungkin iya, tetapi ketika memasuki indikator-indikator strategis, krisis itu tetap menghantui Indonesia.
Hingga hari ini Indonesia pun tetap kelabakan ketika berbicara tentang pemenuhan kebutuhan dalam negeri untuk energi. Begitu juga untuk bahan pangan, sektor keuangan, juga infrastruktur; yang akhirnya juga berujung pada soal stabilitas harga umum (price general stability).
Kalau sudah sampai seperti itu, ditambah lagi dengan kita tetap mengekspor barang-barang mentah, tetap mengekspor tenaga kerja murah, tetap mengimpor, kita tetap dijadikan pasar; itu semua membuktikan bahwa struktur perekonomian Indonesia itu sama dengan ketika masih dijajah oleh Belanda.
Jadi SBY hanya berwacana saja?
SBY bermain pada wacana, sementara kita melihat kenyataan. Jadi kalau SBY bilang krisis telah dilalui, secara moril betul, tetapi ketika memasuki akar masalahnya, krisis itu tetap menghantui. Kalau saya boleh menilai, struktur perekonomian Indonesia tetap saja masih struktur perekonomian terjajah.
SBY pun mengatakan Indonesia memiliki peluang untuk menjadi negara dengan skala ekonomi sepuluh terbesar di dunia dalam dua hingga tiga dasawarsa mendatang. Mungkinkah?
Soal skala, itu sama seperti Anda punya uang di dompet, katakan, Rp 20 juta. Dari uang sebanyak itu, sekitar 48-52 persennya bukan uang Anda, tetapi uang orang asing. Lalu apalah artinya Rp 20 juta di dompet Anda?
Maksudnya?
Sama seperti kita menyatakan, pendapatan domestik bruto (PDB) kita di ranking 17. Nanti, pada dua tahun mendatang, PDB kita akan memasuki ranking 10. Lantas buat apa kita bicara PDB, sementara yang menjadi indikator konkretnya itu bukan punya kita semua, tetapi punya orang asing yang berusaha di rumah kita.
Jadi persoalannya bukan pada tercapainya skala ekonomi besar atau kecilnya, tetapi lebih pada siapa pemilik sesungguhnya (the real owner) PDB itu? Itu yang pertama.
Yang kedua, kalau memang Indonesia akan menjadi sepuluh besar dunia, mengapa pada 2011 ini, Indonesia yang tadinya akan diajak kerjasama oleh Bric (Brazil, Rusia, Indocina) malah tidak jadi. Bric jadinya malah bekerjasama dengan Afrika Selatan?
Mengapa?
Itu karena Indonesia lebih berpihak pada Uni Eropa, Amerika dan Jepang. Artinya, Indonesia masuk ke dalam perseteruan dingin perekonomian antara Bric lawan Uni Eropa, Amerika dan Jepang.
Sekarang ini, suka tidak suka, perekonomian Cina sudah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia dan akan menjadi luar biasa pada hitungan dekade-dekade ke depan. Itu indikator kedua.
Indikator ketiga, buat apa Anda bicara dalam skala besar, kalau ternyata dalam dunia nyata warga negara Anda dalam pergaulan internasional tidak dihargai? Lihat saja warga negara Anda di Malaysia, Filipina, Jazirah Arab, dan lainnya; dikatakan sebagai bangsa babu! Itu artinya Anda tidak mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang layak.
Jadi, buat apa Anda bicara PDB bila harkat dan martabat bangsa Anda tidak meningkat! Tegasnya, masalahnya bukan pada skala ekonomi yang besar atau PDB yang tinggi, tetapi soal tiga komponen yang saya sebut tadi. Percuma Anda mengatakan akan masuk skala sepuluh besar, tetapi di dalamnya tidak ada perubahan untuk harkat dan martabat yang lebih baik.
SBY pun menyatakan, “Kini, banyak pihak menyebut Indonesia sebagai emerging economy, bukan ekonomi dunia ketiga yang selama lebih dari 60 tahun selalu diasosiasikan dengan negara kita.” Tanggapan Anda?
Dari sisi volume, hal yang biasa-biasa saja. Apa sih artinya pergeseran sebutan dari ekonomi Dunia Ketiga menjadi Emerging Economy, sementara ukuran Emerging Economy Anda didikte oleh pasar?
Jadi, itu semua tidak ada artinya bila di balik emerging economy itu—dalam lima faktor yang saya sebut tadi seperti energi, pangan, keuangan, infrastruktur dan stabilitas harga—didikte pasar!
Itu kan artinya, Anda disebut emerging economy karena Anda telah memenuhi kehendak investor; karena Anda telah menggelar karpet merah kepada para investor. Namun, dalam waktu yang sama Anda tidak pernah membuka karpet merah kepada rakyat Anda sendiri.
Rakyat Anda adalah rakyat yang terkena hukuman pancung; rakyat yang mempunyai stempel sebagai pembantu rumah tangga yang posisinya tidak dihargai.
Itulah yang semestinya kita ubah, kita harus menjaga harkat dan martabat bangsa ini bukan sekadar emerging economy, bukan sekadar berpatok pada indikator-indikator Bank Dunia.
Tidak bolehkah berpatokan pada indikator Bank Dunia?
Bank Dunia dalam menggunakan indikator-indikator itu selalu bermuatan politik. Jadi, ketika kita menggunakan istilah negara ekonomi Dunia Ketiga kemudian meningkat menjadi Emerging Economy itu menunjukkan bahwa sesungguhnya kita tidak bebas merdeka. Itu menunjukkan kita terperangkap dalam indikator-indikator yang mereka bangun. Akibatnya, kita tidak bebas merdeka bahkan, dalam pemikiran sekalipun, karena kita ikut dalam ukuran-ukuran yang mereka bangun sehingga kita terperangkap dalam cara-cara berpikir mereka. Celakanya, dalam cara-cara berpikir mereka, kita ditempatkan di bawah ketiak mereka.
Namun, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga dunia?
Dalam cerita bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia, sebenarnya itu indikator semu. Ada lima indikator untuk menyatakan bahwa demokrasi liberalnya Indonesia, seperti wawancara saya dengan Media Umat pada Februari 2009, yang menyatakan “Pemilu 2009 melemahkan Indonesia” sekarang menjadi bukti.
Indikator pertama?
Kita lihat, apakah pada saat yang sama, ketika dinyatakan demokrasi politik kita demikian hebatnya terus kita menyatakan demokrasi ekonomi kita juga demikian rupa hebatnya? Ternyata berbanding terbalik. Faktanya, demokrasi politik demikian hebatnya, tetapi pada saat yang sama demokrasi ekonomi kita demikian parahnya. Itu yang pertama.
Yang kedua?
Apakah kalau kita bicara demokrasi politik demikian hebatnya, kita kemudian menjadi sebuah negara yang memiliki konflik sosial yang rendah? Ternyata karena kegagalan ekonomi, konflik sosial kita tinggi.
Itulah dampak dari memberlakukan ekonomi neo-liberalisme. Itulah dampak dari memberlakukan demokrasi liberal. Jadilah konflik sosial yang tinggi. Orang merasa hidupnya selalu dalam kondisi yang tidak aman dan tidak tenteram. Orang selalu diburu-buru oleh kebutuhan ekonomi. Pada saat yang sama orang merasa tidak pernah merasa hidup tenteram dan aman oleh konflik-konflik horisontal maupun konflik-konflik vertikal yang terjadi.
Di Jakarta dan sekitarnya saja, konflik horisontal sering terjadi, seperti di Manggarai, Johar Baru, Tanggerang dan Bekasi. Itu menunjukkan posisi hidup mereka tidak lagi harmonis. Itu indikator yang ketiga.
Indikator keempat?
Kita melihat sekarang, kita menjadi penganut demokrasi liberal karena kita menganut paham Barat, tetapi pada saat yang sama kita diganggu oleh Barat.
Contohnya?
Konflik di Poso dan konflik di Papua. Konflik di Papua adalah kepentingan Amerika dan Uni Eropa. Sebelumnya Timor Leste (Timor Timur) digangu oleh Amerika dan Australia hingga lepas dari Indonesia.
Menunjukkan apa itu?
Sesungguhnya itu menunjukkan bahwa Indonesia negara gagal. Itu indikator keempat.
Indikator kelima?
Dimensi hukum kita menjadi dimensi yang diperjualbelikan. Ketika kita berbicara Indonesia sebagai negara demokrasi terhebat ketiga di dunia, pada saat yang sama orang tidak merasakan hukum sebagai sebuah sarana menegakkan keadilan. Pada saat hukum hanyalah dijadikan sebagai sarana transaksi keuangan dan dapat diperjualbelikan maka sesungguhnya demokrasi liberal itu gagal.
Namun, SBY menyatakan bahwa Indonesia telah tampil sebagai salah satu negara demokrasi yang paling stabil dan mapan di Asia.
Kalau mau menggunakan istilah itu, karena pemeringkat kredit selalu memperbaiki peringkatnya dalam rangka kepentingan investor asing. Anda bisa melihat nilai aktiva bersih, keuntungan dari nilai surat utang negara (SUN), keuntungan yang didapat dari pasar modal. Semua ini dimiliki oleh orang asing bukan orang Indonesia. Kalau pun orang Indonesia ada yang menikmati, jumlahnya sedikit sekali.
Berapa?
Sekitar 500 ribu orang sampai satu juta orang. Sebaliknya, sekitar 237 juta manusia Indonesia dalam posisi tidak menikmati arti dari pemberian kredit. Kalau begitu yang sukses di Indonesia sekitar 500 ribu sampai satu juta orang saja. Jadi SBY hanya mewakili 500 ribu sampai satu juta orang. Dia tidak merepresentasikan 237 juta manusia Indonesia.
Kongkretnya dari 500 ribu hingga satu juta orang itu siapa?
Mereka adalah orang-orang yang bermain di pasar modal, di obligasi, di sektor keuangan. Paling banyak, yang bergerak di bidang itu satu juta orang. Kalau SBY menganggap itulah seba-gai bukti kestabilan negara sehingga mereka-mereka itulah yang menikmati, ya itulah SBY. Dia hanyalah memberikan kesejahteraan kepada 500 ribu orang atau paling tinggi pada satu juta orang. Pada waktu yang sama, SBY tidak memberikan kesejahteraan apa-apa kepada 237 juta manusia Indonesia. Pada Lebaran 2011 ini saja terjadi urbanisasi yang gila-gilaan dan tingkat kecelakaannya juga tingggi.
Arti dari semua itu?
Itu artinya, negara gagal dalam menegakkan hukum, dalam penyediaan infrastruktur, serta dalam menegakkan pemerataan dan keadilan.
Jadi kesimpulannya, Indonesia ini adalah negara gagal?
Negara gagal dan bangga dengan wacana. []