HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

Iman dan Istiqamah

(Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-21)

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ اَلثَّقَفِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، قُلْ لِيْ فِيْ اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ، قَالَ: « قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، ثُمَّ اِسْتَقِمْ

Abu Amru Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi ra. berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, katakan kepada diriku perkataan tentang Islam yang tidak perlu lagi aku tanyakan kepada seseorang selain dirimu.” Nabi saw. bersabda, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah.’ Kemudian beristiqamahlah.” (HR Muslim dan Ahmad).


Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal sedikit berbeda dan disertai tambahan di akhirnya dari Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibn Majah, ad-Darimi dll).

Hadis ini memuat pesan induk yang menghimpun semua kalimat. Pesan Rasul saw. ini merupakan jawaban dari permintaan Sufyan bin Abdullah ra. agar diberi pesan yang bisa dijadikan pegangan sehingga ia tidak perlu lagi bertanya atau meminta pesan lainnya kepada orang lain.

Rasul saw. berpesan, “Katakan (ikrarkan), ‘Aku beriman kepada Allah.’ Kemudian beristiqamahlah.” Pesan ini diambil dari firman Allah dalam surat Fushshilat [41]: 30 dan al-Ahqaf [46]:13-14.

Pesan ini menunjukkan bahwa keimanan itu merupakan dasar dan yang pertama. Maksud iman kepada Allah itu adalah mentauhidkan Allah SWT. Hal itu mencakup semua bentuk pentauhidan, baik tauhid uluhiyah, rububiyah maupun asma’ wa shifat; juga mencakup tauhid al-hâkimiyah—bagian dari tauhid rububiyah—yaitu mentauhidkan Allah SWT sebagai satu-satunya yang berhak membuat hukum.

Setelah keimanan, beliau lalu memerintahkan agar kita membangun keistiqamahan atas dasar keimanan itu. Kata tsumma (kemudian) itu menunjukkan urutan. Artinya, keistiqamahan itu bukan sebelum keimanan. Ini menunjukkan, keistiqamahan yang diperintahkan adalah keistiqamahan atas dasar keimananan, bukan yang lain. Perintah agar istiqamah juga dinyatakan dalam firman Allah SWT:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ

Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, diwahyukan kepada diriku bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa. Karena itu, beristiqamahlah kalian menuju kepada-Nya dan mohonlah ampunannya.” (QS Fushshilat [41]: 6).


Allah SWT pun memberitahukan bahwa orang yang beriman lalu beristiqamah tidak akan merasa takut, tidak akan bersedih hati dan akan mendapat pahala surga (lihat QS Fushshilat: 30; Al-Ahqaf: 13; al-Jin: 16).

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali asy-Syaikh di dalam bukunya Syarh al-Arba’în an-Nawâwiyah menjelaskan, bahwa kata istiqâmah itu menggunakan wazan istaf’ala, maknanya bisa thalab (permintaan), misal istaghfara artinya thalab al-gufrân (meminta ampunan); bisa juga bermakna luzûm al-washfi wa katsratu al-ittishâfi bihi wa ‘azhmu al-ittishâfi bihi (menetapi suatu sifat dan banyak serta besarnya menyifati diri dengan sifat itu), misal istaghnâLlâh (QS at-Taghâbun: 6). Kata istiqâmah adalah menurut makna yang kedua ini. Jadi dalam konteks ini istiqâmah maknanya memiliki sifat iqâmah (menegakkan, meluruskan atau mengerjakan), banyak memiliki sifat itu dan menetapi sifat itu, tidak berubah dan tidak berganti dari sifat itu. Karena itu, istiqamah maknanya adalah tegak dan lurus di atas keimanan dan di atas agama Islam, banyak menyifati diri dengan itu dan menetapinya. Ringkasnya, istiqamah adalah ats-tsabât ‘alâ ad-dîn (teguh secara kontinu di atas agama).

Karena itu, istiqamah itu seperti dijelaskan oleh Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, yakni bertindak sesuai jalan (agama) yang lurus yaitu Islam tanpa menyimpang ke kiri atau ke kanan; dan hal itu mencakup melaksanakan semua aktivitas ketaatan zahir maupun batin, dan meninggal-kan semua yang dilarang.

Imam an-Nawawi di dalam Syarh al-Arba’în juga menjelaskan, bahwa dalam pesan itu Nabi saw. menyuruh Sufyan (tentu juga kepada kita) untuk memperbarui keimanannya dengan lisannya dan selalu ingat dengan hatinya. Nabi saw. pun menyuruh kita untuk istiqamah di atas amal-amal ketaatan dan menjauhi seluruh penyimpangan. Sebab, istiqamah itu tidak akan datang seiring dengan suatu kebengkokan, sebab itu adalah lawannya. Imam an-Nawawi juga menambahkan, yakni berimanlah kepada Allah SWT semata, kemudian beristiqamahlah di atas hal itu dan di atas ketaatan sampai dimatikan oleh Allah. Umar bin al-Khaththab berkata, “Beristiqamahlah di atas ketaatan kepada Alah dan jangan kalian menyimpang.” Maknanya, luruslah dalam memperbanyak ketaatan kepada Allah baik dalam bentuk aqad (muamalah), perkataan atau perbuatan, dan kontinu/langgenglah di atas hal itu.

Dengan demikian istiqamah yang sempurna dalam segala hal adalah tegak dan lurus di atas keimanan yang benar dan sempurna, melaksanakan dan menetapi semua bentuk ketaatan serta menjauhi semua bentuk kemaksiatan lahir maupun batin dalam semua keadaan dan kesempatan.

Istiqamah secara sempurna dalam segala hal artinya tidak pernah bermaksiat dan itu tentu mustahil. Karena itu, yang diperintahkan adalah agar kita berupaya semaksimal mungkin untuk mendekati keistiqamahan yang sempurna itu dan hendaknya diiringi dengan senantiasa meminta ampunan. Seperti itulah yang diperintahkan Allah SWT dalam QS Fushshilat ayat 6 di atas.

Allahumma Anta Rabbunâ fa[u]rzuqnâ al-istiqâmah. [Yahya Abdurrahman].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*