HTI

Afkar (Al Waie)

Kebatilan Piagam al-Azhar

Seperti diketahui, Syaikh Ahmad Thayyib (Syaikh Al-Azhar Mesir) bersama beberapa ulama dan intelektual Mesir telah menggagas sejumlah prinsip dasar untuk sistem politik Mesir mendatang. Prinsip-prinsip itu dimaksudkan sebagai pengganti sistem politik Mesir pasca revolusi 25 Januari 2011 yang menjatuhkan Presiden Hosni Mubarak. Sejumlah prinsip dasar tersebut diberi nama Piagam Al-Azhar (Watsiqah al-Azhar), yang mencoba menggambarkan bagaimana hubungan Islam dengan negara Mesir saat ini.

Dalam bagian pendahuluannya, yang dibaca Syaikh Ahmad Thayyib di hadapan media massa, dikatakan, “Kami mendeklarasikan bahwa kami semua telah menyepakati sejumlah prinsip-prinsip berikut ini untuk menentukan posisi Islam sebagai rujukan yang cemerlang, yang terwujud secara mendasar dalam sejumlah kaidah global, yang disimpulkan dari nash-nash syariah yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya), sebagai ungkapan yang sahih dari ajaran agama Islam.” (Al-Wa’ie (Arab), Edisi Spesial No 295-297, Sya’ban-Syawal 1432/Juli-September 2011, hlm. 258).

Piagam Al-Azhar itu tersusun dari sebelas prinsip, yang ringkasnya sebagai berikut: Pertama, mendukung pembentukan negara sipil (civil state) yang konstitusional, demokratis dan modern berdasarkan UUD yang diridhai oleh umat.

Kedua, menegaskan bahwa sistem demokrasi yang ada bersandar pada Pemilu yang bebas dan langsung, yang dianggap sebagai bentuk moderen dari syura yang islami.

Ketiga, memegang teguh prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat.

Keempat, menghormati sepenuhnya etika berbeda pendapat dan etika dialog, seperti menjauhi takfir (pengkafiran) dan intimidasi.

Kelima, menegaskan untuk tetap berpegang teguh dengan berbagai perjanjian dan kesepakatan internasional.

Keenam, menegaskan untuk melindungi sepenuhnya bangsa Mesir yang menganut bermacam-macam agama (Islam, Nashrani, Yahudi), termasuk melindungi berbagai peribadatan dan syiar-syiar ketiga agama tersebut.

Ketujuh, mendukung upaya bidang pendidikan dan penelitian ilmiah untuk memasuki era pengetahuan dan peradaban.

Kedelapan, mengaplikasikan Fiqh Awlawiyat (Fikih Prioritas) untuk mewujudkan pembangunan dan keadilan sosial serta menentang penindasan.

Kesembilan, membangun hubungan internasional baik dengan negara-negara Arab, Afrika, maupun dunia internasional, juga mendukung hak Palestina.

Kesepuluh, mendukung rencana untuk mewujudkan independensi Yayasan Al-Azhar dan memperbaharui kurikulum pendidikan Al-Azhar.

Kesebelas, memposisikan Al-Azhar sebagai rujukan dalam ilmu-ilmu keislaman, tanpa menafikan hak pihak lain untuk menyampaikan pendapat (“Nash Watsiqah Al-Azhar Hawla Mustaqbal Mishr”, www.25yanayer.net).


Catatan Kritis

Jika kita cermati prinsip-prinsip Piagam Al-Azhar tersebut, sesungguhnya terdapat prinsip-prinsip yang menyesatkan dan menyalahi Islam. Beberapa catatan kritis patut diberikan pada Piagam Al-Azhar tersebut. Pertama: Piagam Al-Azhar menegaskan prinsip negara sipil (al-daulah al-madaniyah, civil state). Prinsip ini tak dapat diterima dan wajib ditolak, karena negara sipil artinya adalah bukan negara agama. Jadi menerima prinsip negara sipil sama saja dengan menolak Negara Islam atau negara Khilafah. Seorang penulis Mesir terkenal, ‘Ala` Al-Asnawi, yang juga seorang pendukung negara sipil, menjelaskan, “Negara sipil bukanlah negara agama (dawlah diniyah)…dan sesungguhnya, negara Khilafah bertentangan dengan konsep kewarganegaraan (al-muwathanah) dan konsep negara sipil.”

Jadi, negara sipil boleh dikatakan istilah lain dari negara sekular, yaitu negara yang tidak berdasarkan agama, atau juga istilah lain dari negara-bangsa (nation-state, ad-dawlah al-qawmiyah), yaitu negara yang didirikan untuk bangsa tertentu. (Al-Waie (Arab), Edisi Spesial No 295-297, hlm. 260).

Jelas, negara sipil amat bertentangan dengan negara Khilafah. Sebab, negara sipil tidak berhukum dengan Islam, sedangkan negara Khilafah berhukum hanya dengan Islam (al-Quran dan as-Sunnah). Negara inilah yang dirintis Rasulullah saw. hingga hancurnya Khilafah di Turki tahun 1924 di tangan antek kafir penjajah, Mustafa Kamal Ataturk. Kaum Muslim sepanjang sejarahnya tidak pernah mengenal sistem pemerintahan lain, kecuali sistem Khilafah ini. Seorang intelektual Mesir, Dr. Wajdi Ghanim, menegaskan, “Islam tidak mengenal negara yang namanya negara sipil. Yang ada hanyalah istilah Negara Islam (dawlah islamiyah). Kami adalah umat Islam yang menghendaki sebuah negara Islam yang berhukum dengan al-Quran dan as-Sunnah.” (Al-Waie (Arab), Edisi Spesial No 295-297, hlm. 260).

Selain itu, negara Khilafah jelas bukan negara-bangsa, melainkan negara-umat (dawlah-ummah), yaitu negara yang didirikan untuk umat Islam, apa pun kebangsaannya, apakah itu Mesir, Afrika, Arab, dan sebagainya. Khilafah adalah negara yang tidak mengakui tapal batas negara-bangsa yang dibuat oleh kafir penjajah.

Untuk konteks Al-Azhar, menawarkan negara sipil yang artinya menolak negara Khilafah sebenarnya sangat aneh bin ajaib. Sebab, di sekolah-sekolah menengah atas (ma’ahid tsanawiyah) milik Al-Azhar, tetap diajarkan kewajiban menegakkan Khilafah dan kewajiban membaiat seorang imam (khalifah) yang adil.

Kedua: Piagam Al-Azhar menegaskan kepercayaan terhadap demokrasi. Prinsip Al-Azhar ini jelas harus ditolak karena demokrasi bertentangan dengan Islam. Demokrasi ditolak bukan karena memberikan hak kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya, melainkan karena memberikan kedaulatan (hak membuat hukum) kepada manusia secara mutlak. Padahal kedaulatan membuat hukum hanya milik Allah SWT yang terwujud dalam bentuk syariah Islam yang ditetapkan oleh Allah SWT (Lihat QS Al-An’am [6]: 57).

Demokrasi juga tak bisa dicampuradukkan dengan syura, karena syura adalah suatu ketetapan hukum syariah yang dijalankan penguasa untuk membicarakan perkara-perkara di luar tasyri’ (penetapan hukum), misalnya perkara yang menyangkut berbagai kepentingan masyarakat seperti transportasi, pertanian, dan sebagainya. Dalam demokrasi, standar baik-buruk diukur dengan suara mayoritas; sedangkan dalam Islam ukuran baik-buruk bukanlah suara mayoritas, melainkan hukum syariah. Pertentangan Islam dan demokrasi sangat nyata.

Ketiga: Piagam Al-Azhar menggagas UUD yang bersifat sekular, yakni memisahkan agama dari kehidupan politik. Segala hukum negara dianggap tidak perlu merujuk pada agama, melainkan pada kehendak umat itu sendiri. Ini tampak jelas pada prinsip pertama, bahwa dasar negara sipil adalah “UUD yang diridhai oleh umat”. Prinsip ini bertentangan dengan Islam, karena dalam Islam UUD adalah hukum yang diridhai Allah SWT bagi umat. Umat tidak mempunyai hak sedikitpun untuk membuat hukum (lihat QS Al-An’am [6]: 57), atau berhukum pada selain Islam (lihat QS An-Nisa’ [4]: 65).

Karakter sekular pada UUD atau UU di Mesir tampak sekali dan sungguh mengherankan kalau Al-Azhar turut menyetujui atau menggagasnya. Misalnya, dalam UU Partai Politik No. 12/2011 yang dimaksudkan untuk merevisi UU Partai Politik No 40/1977. Dalam pasal 3 UU Partai Politik No 12/2011 yang baru disebutkan, “Partai politik dalam prinsip-prinsipnya, programnya, kegiatannya, pemilihan pemimpinnya, keanggotaannya, tidak boleh dilaksanakan atas dasar agama.” Larangan menjadikan agama sebagai asas bagi prinsip dan program partai politik ini jelas menunjukkan karakter sekular dalam perundang-undangan Mesir.

Karakter sekular juga tampak dalam UU Pidana No 11/2011 sebagai pengganti UU Pidana No 58/1937. Dalam pasal 267 UU Pidana No 11/2011 yang baru disebutkan, “Barangsiapa menggauli seorang perempuan tanpa kerelaannya, maka dia dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup.” Ini berarti kalau seorang laki-laki menggauli perempuan secara rela alias suka sama suka, dia akan bebas dari segala hukuman. Wahai ulama Al-Azhar, apakah Anda yang konon adalah rujukan ilmu-ilmu keislaman, mengajak manusia kepada hukum sekular yang bejat seperti ini?

Keempat: Piagam Al-Azhar memegang prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang sebenarnya bertentangan dengan Islam (prinsip ketiga). Sebab, kebebasan berpikir dan berpendapat ini telah menghancurkan standar haq dan batil dalam Islam. Akibatnya, haq dan batil tidak tampil secara tegas, melainkan muncul sebagai wilayah abu-abu, yakni menjadi sesuatu yang relatif dan sangat subyektif. Dengan dalih kebebasan berpikir dan berpendapat, seorang Muslim tidak boleh dilarang untuk murtad. Padahal tindakan murtad dalam Islam adalah tindak kejahatan yang berhak mendapatkan sanksi yang amat tegas, yaitu hukuman mati.

Kelima: Piagam Al-Azhar melegitimasi segala macam perjanjian dan kesepakatan internasional (prinsip kelima). Jelas ini tak dapat diterima, karena ini artinya adalah Al-Azhar memberikan pengakuan terhadap keberadaan negara Israel, menyetujui hubungan diplomatik dengan Israel, dan menyetujui bantuan Mesir selama ini untuk menyediakan pasokan gas alam bagi Israel. Padahal Israel tengah menduduki Masjidil Aqsha dan negeri sekelilingnya yang diberkahi Allah yang semestinya wajib dibebaskan dari cengkeraman Israel. Prinsip kelima itu juga berarti pengakuan Al-Azhar atas segala resolusi PBB dan segala lembaganya, khususnya Dewan Keamanan yang dikendalikan oleh Amerika dan negara-negara kafir lainnya. Padahal banyak resolusi PBB yang menimbulkan penderitaan kaum Muslim di berbagai penjuru dunia.

Keenam: Piagam Al-Azhar mengesahkan adanya hukum di luar Syariah Islam. Ini tampak jelas dari prinsip kelima dimana Piagam Al-Azhar mengakui keabsahan UU internasional sebagai rujukan masalah internasional. Prinsip ini jelas keliru. Sebab, dalam Islam satu-satunya hukum yang dapat menjadi rujukan, tempat kembali, atau penyelesai masalah, hanyalah hukum syariah Islam saja, tidak ada yang lain (Lihat QS Al-Maidah [5]: 50).

Ketujuh: Piagam Al-Azhar telah mengkhianati generasi muda Mesir yang sudah berkorban darah, harta dan nyawa. Sebab, mereka sebenarnya berjuang untuk kembali pada kemuliaan dan kesejahteraan sebagaimana dalam negara Khilafah dulu, bukan untuk sekadar mengganti satu penguasa dengan penguasa yang lain namun sistemnya masih sama, yaitu sistem demokrasi-sekular yang kapitalistik, yang menjadi agen Amerika yang kejam dan terus menerus menyengsarakan kaum Muslim, khususnya karena dukungan Amerika terhadap Israel.

Maka dari itu, sesungguhnya jelas sekali umat Islam harus menolak Piagam Al-Azhar itu. Sebab, piagam itu dapat menyesatkan umat Islam, mengingat umat Islam masih percaya Al-Azhar beserta para ulamanya adalah referensi bagi ilmu-ilmu keislaman di Dunia Islam. Selain itu, piagam itu juga mengandung ide-ide yang bertolak belakang dengan syariah Islam seperti yang dijelaskan di atas.

Yang lebih menyedihkan dan mengkha-watirkan, umat Islam di Mesir dapat terkecoh dan tertipu dengan piagam itu. Sebab, yang menggagas dan mempropagandakan adalah tokoh-tokoh ulama yang dianggap panutan dan rujukan ilmu bagi Dunia Islam. Apalagi sudah dijamin oleh Syaikh Al-Azhar, Piagam Al-Azhar itu adalah hasil ijtihad para ulama Al-Azhar dari nash yang qath’i tsubut dan qath’i dalalah.

Padahal Piagam Al-Azhar itu sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan nash-nash syariah yang dikatakan sebagai nash yang qath’i tsubut dan qath’i dalalah. Yang ada justru hanyalah kontradiksi yang nyata antara Piagam Al-Azhar dengan nash yang qath’i tsubut dan qath’i dalalah. WalLahu a’lam bi ash-shawab. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*