HTI

Cover (Al Waie)

Pengantar Edisi 134 [Demokrasi Bukan Jalan Perubahan]

Assalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.


Pembaca yang budiman, sejak kemenangan AKP dan naiknya Erdogan ke tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri, Republik Turki saat ini digadang-gadang sebagai model negara yang dianggap sukses ‘mengawinkan’ Islam dengan demokrasi. AKP yang dianggap sebagai representasi partai Islam, juga sosok PM Turki Erdogan yang dinilai islami, diklaim berhasil membangun Turki sebagai negara demokrasi Islam garda depan. Sejumlah kalangan memuji, bahwa Turki di bawah AKP dan Erdogan saat ini bukan hanya menjadi satu-satunya model negara yang sukses menggabungkan demokrasi dan Islam, tetapi juga berhasil secara ekonomi dengan angka pertumbuhan yang mengesankan.

Di dalam negeri, tak kurang dari cendekiawan Muslim Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhamadiyah, juga melontarkan puja-puji serupa terhadap Republik Turki pimpinan Erdogan ini, sebagaimana dalam tulisannya di HU Republika beberapa waktu lalu. Maarif bahkan menegaskan, bahwa tanpa slogan syariah sebagaimana yang sering diusung oleh mereka yang—meminjam istilah dia—buta realitas, Erdogan dan AKP-nya sukses membangun negaranya dengan tetap setia pada nilai-nilai demokrasi.

Pertanyaannya: Benarkah anggapan dan klaim atas Turki di atas? Pantaskah puja-puji dilontarkan kepada AKP dan Erdogan yang dianggap sukses membangun Republik Turki tanpa slogan syariah? Layakkah pula Republik Turki di bawah AKP dan Erdogan saat ini dijadikan model bagi negeri-negeri Muslim, sebagaimana sering dilontarkan sejumlah kalangan, termasuk Sayfii Maarif? Bagaimana fakta sesungguhnya dari keadaan Turki saat ini, baik secara politik maupun ekonomi, dilihat dari perspektif Islam? Bagaimana pula Turki saat ini dibandingkan dengan Turki zaman Kehilafahan Utsmani?

Beberapa pertanyaan di atas menjadi bahan kajian utama al-Wa’ie edisi kali ini. Yang menarik, jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut—sebagaimana terpapar dalam tulisan Prof. Dr. Fahmi Amhar—justru seperti membalikkan anggapan dan klaim di atas. Selain itu, secara teoretik maupun faktual—tentu jika standarnya adalah Islam—demokrasi sesungguhnya bukan jalan ideal bagi perubahan hakiki di negeri-negeri Muslim. Perubahan yang terjadi di Turki lewat mekanisme demokrasi pun sesungguhnya adalah perubahan semu.

Itulah di antara bahan renungan penting bagi pembaca kali ini, selain sejumlah tema menarik lainnya yang tentu sayang untuk dilewatkan. Selamat membaca!


Wassalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh
.

7 comments

  1. hayati mustanir

    semoga ummat tersadarkan dgn islam ketika membaca al-wa i amin allahu akbar

  2. hayati mustanir

    yg saya fahami turki yg tinggi itu pada saat turki dlm naungan khilafah bukan turki sekarang. sebagus apapun gaya mengemu

    di nahkoda dan seberapa baik para awk kapalm

  3. HASIL DARI DEMOKRASI HANYALAH SEMU BELAKA !

  4. Cah jonegoro

    demokrasi = ONDO (OMONG DOANG)

  5. Muhammad Aziz,S.PdI

    demokrasi:democrazy

  6. MENGHERANKAN SEKALI ADA CENDIKIAWAN MUSLIM BUKAN PRO ISLAM, MALAH PRO DEMOKRASI SEKULER, PERLU DIPERTANYAKAN KEISLAMANNYA JANGAN-JANGAN CUMA NGAKU ISLAM, APA SUDAH PADA KUAT MENANGGUNG SIKSA DARI ALLOH SWT KELAK?

  7. Setya Boediono

    DeMocrezy nama lain dari demokrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*