Kata syirkah berasal dari kata syarika-yasyraku–syarik[an] wa syirkat[an] wa syarikat[an]; artinya mukhâla-thah asy-syarîkayn (percampuran dua hal yang bersekutu). Syirkah secara bahasa artinya percampuran dua bagian atau lebih sehingga tidak bisa lagi dibedakan satu sama lain.
Secara istilah syirkah adalah ijtimâ’fî istihqâq aw tasharruf (pertemuan dalam hal hak atau pengelolaan) (Ibn Qudamah, Al-Mughni, V/109, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983). Ijtimâ’ fî istihqâq adalah syirkah al-milk. Ijtimâ’ fî tasharruf adaah syirkah al-‘aqd. Ini sekaligus menjelaskan bahwa syirkah itu ada dua macam: syirkah al-milk dan syirkah al-‘aqd.
Semua fukaha berpandangan bahwa syirkah—baik syirkah al-milk maupun syirkah al-‘aqd—termasuk al-‘uqûd al-jâ’izah, bukan al-‘uqûd al-lâzimah. Artinya, masing-masing pihak berhak memisahkan diri atau keluar dari syirkah kapan saja ia kehendaki.
1. Syirkah al-Milk.
Syirkah al-Milk adalah syirkah al-‘ayn, yaitu persekutuan dua orang atau lebih dalam kepemilikan suatu harta. Syirkah ini bisa muncul tanpa ikhtiar keduanya atau bersifat jabr[an] (paksaan) seperti persekutuan atas harta waris, hibah atau wasiat; bisa juga muncul karena ikhtiyar keduanya seperti melalui pembelian satu harta secara patungan.
Dalam syirkah al-milk, bagian masing-masing tidak bisa dipisahkan dari bagian yang lain karena kepemilikan mereka telah bercampur. Dalam syirkah al-milk, pertumbuhan/pertambahan harta dan kerugian/konsekuensinya menjadi milik dan tanggungan bersama menurut porsi kepemilikan masing-masing. Misal, dua orang membeli mobil/gedung secara patungan dengan porsi 60:40. Hasil sewa mobil/gedung itu atau biaya perawatan atau kerusakannya dibagi menurut porsi 60:40 itu.
2. Syirkah al-‘Aqd.
Syirkah al-‘Aqd adalah syirkah yang terbentuk di antara dua pihak atau lebih menurut akad syar’i berdasarkan keinginan, kehendak dan dengan inisiatif dari keduanya. Syirkah al-‘aqd ini kemudian lebih menonjol dan akhirnya jika disebut syirkah saja maka yang dimaksud adalah syirkah al-‘aqd ini. Menurut istilah syar’i, syirkah adalah akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat melakukan suatu aktivitas finansial (bisnis) dengan tujuan memperoleh laba (An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 148).
Syirkah hukumnya mubah berdasarkan taqrîr (pengakuan) Nabi saw. atas syirkah dilakukan para Sahabat kala itu. Selain itu Abu Hurairah ra. Menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Allah telah berfirman: Aku adalah Pihak Ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
Dari elaborasi atas syirkah al-‘aqd dan hukum syariah serta dalil-dalil terkait, syirkah al-‘aqd itu meliputi lima jenis: al-inân, al-abdan; al-mudhârabah, al-wujûh dan al-mufâwadhah (An-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, 2004, hal 150). Kelima jenis syirkah itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam sepanjang memenuhi syarat-syarat dan hukum-hukumnya.
Syirkah al-‘aqd absah jika memenuhi ketentuan syariah berkaitan dengan rukun dan syarat keabsahan akadnya. Rukun syirkah ada 3 (tiga): adanya ijâb-qabûl; adanya dua pihak yang berakad (‘âqidâni); obyek akad (ma’qûd ‘alayhi) (Al-Jazairi, al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, hlm. 69; Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm, hlm. 13, Dar as-Salam, 1989).
Dalam ijâb-qabûl harus ada ungkapan baik lisan atau tertulis, bahwa salah satu pihak mengajak pihak lain untuk berserikat melakukan aktivitas bisnis, dan harus ada penerimaan/persetujuan pihak lain terhadap ajakan itu. Karena itu, sekadar kesepakatan untuk berserikat tidak bisa disebut akad syirkah. Begitu pula kesepakatan menyetor sejumlah harta untuk berserikat seperti dalam kasus PT dan koperasi juga belum bisa dinilai sebagai akad syirkah. Akad syirkah harus mengandung pengertian berserikat untuk melakukan suatu aktivitas finansial/bisnis.
Al–‘Aqidâni itu: Pertama, pihak yang menyatakan ijâb, yaitu pihak yang menyampaikan ajakan berserikat untuk melakukan suatu aktivitas bisnis. Kedua, pihak yang menyatakan qabûl atau menerima ajakan itu. Kedua pihak itu harus memiliki kelayakan (ahliyah) melakukan tasharruf.
Akad syirkah dipandang sah jika: Pertama, obyek akadnya harus berupa tasharruf. Kedua, tasharruf yang diakadkan itu harus bisa di-wakalah-kan sehingga apa yang diperoleh dari tasharruf itu menjadi hak kedua pihak secara berserikat (Lihat: an-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 148, Dar al-Ummah, cet vi [muktamadah]. 2004).
Di dalam syirkah juga harus ada unsur al-badn (unsur badan), yaitu pribadi yang memiliki hak melakukan tasharruf atau menjalankan aktivitas syirkah. Disebut unsur badan karena andilnya berupa badan (tenaga dan pikiran) untuk mengelola syirkah, bukan modal.
Adanya unsur badan ini merupakan syarat mendasar yang menentukan terakadkan-tidaknya atau ada-tidaknya syirkah itu. Alasannya: Pertama, karena di dalam syirkah itu harus ada kesepakatan antara al-‘âqidâni untuk melakukan aktivitas finansial/bisnis (‘amal[un] mâliy[un]). Itu artinya, aktivitas finansial itu harus berasal dari kedua pihak atau salah satunya. Jadi harus ada unsur badan yang melakukannya. Kedua, syirkah adalah akad atas tasharruf. Tasharruf itu harus keluar dari syarîk (pihak yang ber-syirkah). Jadi di dalam akad syirkah itu harus ada mutasharrif (yang melakukan tasharruf) syirkah. Jika tidak ada mutasharrif itu maka akad syirkah tersebut tidak terjadi. Jadi di dalam akad syirkah harus ada unsur badan yang menjadi mutasharrif syirkah tersebut. Ketiga, hukum syariah berkaitan dengan perbuatan hamba, artinya berkaitan dengan perbuatan pribadi tertentu dan satu pribadi tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan pribadi yang lain. Syirkah adalah hukum syariah. Jadi hukum syirkah itu berkaitan dengan pribadi orang yang ber-syirkah. Jika di dalam syirkah itu tidak ada badan yang menjadi sandaran hukum syirkah maka artinya syirkah itu tidak ada, dan berikutnya hukum syirkah itu juga tidak terjadi karena obyek hukumnya tidak ada.
Atas dasar semua itu, di dalam akad syirkah tersebut harus ada pihak yang di dalam akad syirkah dinyatakan sebagai mutasharrif syirkah, yaitu pribadi yang diakadkan untuk menjalankan aktivitas syirkah. Mudahnya, di dalam akad syirkah harus ada pihak yang menjadi pengelola syirkah yang bukan sekadar sebutan, tetapi pengelola sebagaimana yang dimaksudkan dalam hukum syirkah dengan segala konsekuensinya.
Pembagian Keuntungan dan Kerugian
Yang dijadikan patokan adalah prinsip profit and lost sharing (bagi-hasil keuntungan dan kerugian), bukan revenue sharing (bagi-hasil pendapatan). Keuntungan dan kerugian itu mengikuti kontribusi syarîk (mitra). Kontribusi para mitra itu bisa berupa harta/modal, bisa berupa aktivitas (tasharruf) (tenaga, pikiran dan waktu) menjalankan aktivitas bisnis syirkah itu. Prinsip dalam sharing keuntungan dan kerugian itu adalah seperti ungkapan oleh Ali bin Abi Thalib ra. yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq di Mushannaf-nya:
اَلْوَضِيْعَةُ عَلَى الْمَالِ، وَالرِّبْحُ عَلَى مَا اِصْطَلَحُوْا عَلَيْهِ
Kerugian itu berdasarkan harta (modal), sedangkan keuntungan berdasarkan kesepakatan mereka (para mitra).
Prinsip (hukum) ini juga dipegang oleh asy-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Qatadah, al-Hakam, Hamad, Thawus, Ibrahim, Abu Qilabah dan lainnya (Lihat: Abdurrazaq, Mushannaf ‘Abd ar-Razâq, viii/248 dst, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1403; Ibn Abiy Syaibah, Mushannaf Ibn Abiy Syaybah, iv/477-478, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, 1409).
Dalam hal ini bukan berarti pengelola tidak merugi. Pengelola menanggung kerugian aktivitas tasharruf-nya, yaitu rugi tenaga, pikiran dan waktunya. Sebab ketika syirkah itu impas—apalagi rugi—maka pengelola itu tidak akan mendapat bagian laba sama sekali. Sebab, tidak ada laba yang bisa dibagi. Artinya. semua jerih payah, tenaga, pikiran, waktu, dsb yang ia curahkan dalam mengelola atau menjalankan syirkah itu tidak mendapat hasil apa-apa. Itulah bentuk kerugian yang dialami oleh pengelola.
Pembagian laba itu dilakukan di akhir tiap periode syirkah setelah dilakukan perhitungan rugi-laba. Sebab, saat itulah diketahui besaran labanya. Untuk itu, mengingat kemaslahatan pengelola, periode syirkah itu hendaknya dibuat pendek.
Perlu dingat bahwa syirkah termasuk ’aqd[un] mustamirr[un] (akad kontinu). Artinya, setiap kali suatu periode berakhir, secara otomatis akadnya diperbarui. Jika ada mitra yang keluar, sementara para mitra lain tidak, maka akad syirkah itu dibatalkan untuk mitra yang keluar itu dan secara otomatis diperbarui untuk para mitra yang tidak keluar. Dengan begitu periode syirkah bisa dibuat pendek, seperti bulanan, mingguan bahkan untuk bisnis tertentu bisa harian.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]