Pengantar
Kewajiban kaum Muslim agar mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hukkâm) menuntut adanya sebuah kekuatan politik yang mampu melakukan kewajiban tersebut secara aktif dan efektif, yaitu partai politik Islam. Salah satu fungsi parpol Islam adalah mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hukkâm). Dengan demikian, mendirikan parpol Islam adalah wajib bagi kaum Muslim, sebagaimana kaidah fikih menyatakan: “Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wajib (Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka mengadakan sesuatu itu hukumnya wajib).”
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 21, yang berbunyi: “Kaum Muslim berhak mendirikan partai politik untuk muhâsabah al-hukkâm (mengontrol dan mengoreksi para penguasa), atau sebagai jenjang untuk menduduki kekuasaan pemerintahan melalui umat, dengan syarat: asasnya adalah akidah Islam dan hukum-hukum yang diadopsi adalah hukum-hukum syariah. Pendirian partai tidak memerlukan izin negara. Negara melarang setiap perkumpulan yang tidak berasaskan Islam.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 103).
Pengertian Partai Politik
Partai (al-hizb), dalam kamus al-Muhîth, secara bahasa artinya tempat air (al-wird), kelompok (ath-thâ’ifah), senjata (as-silâh) dan kumpulan orang (jamâ’ah an-nâs). Menurut istilah, partai (al-hizb) adalah “sebuah kelompok (jamâ’ah) yang telah meyakini suatu ide (pemikiran atau gagasan), yang hendak diwujudkan di tengah-tengah masyarakat.” (Al-Ja’bah, Al-Ahzâb fi al-Islâm, hlm. 130).
Adapun terkait arti politik (as-siyâsah), secara bahasa disebutkan dalam kamus Al-Muhîth, bahwa as-siyâsah berasal dari kata: sâsa-yasûsu-siyâsat[an], yang artinya ar-ri’âyat[an] (pengurusan). Arti as-siyâsah (politik) dengan ar-ri’âyah (pengurusan) ini dikemukakan secara manis oleh Dr. Ibrahin Anis dalam Al-Mu’jam al-Wasith:
كَيْفَ تَكُونُ الرَّعِيَّةُ مَسُوْسَةً إِذَا كَانَ رَاعِيُهَا سُوْسَةً
Bagaimana rakyat akan terurusi (masûsah) jika pemimpinnya kanibal (sûsah).
Dengan kata lain, bagaimana domba-domba akan terpelihara jika pengembalanya adalah serigala.
Adapun menurut istilah, politik (as-siyâsah) bermakna pengaturan urusan umat (rakyat) di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat; negara secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam pengaturan tersebut (An-Nabhani, Mafâhîm Siyâsiyyah li Hizbit Tahrîr, hlm. 5).
Berdasarkan makna partai (al-hizb) dan politik (as-siyâsah) di atas, maka dapat disebutkan bahwa partai politik (al-hizb as-siyâsi) merupakan suatu kelompok di tengah-tengah rakyat yang menyakini berbagai tujuan politik dan ideologi yang sama, yang anggota-anggotanya terorganisasi, dengan tujuan meraih kekuasaan dan mewujudkan program-programnya (Al-Ja’bah, al-Ahzâb fi al-Islâm, hlm. 129). Dengan kata lain, partai politik (al-hizb as-siyâsiy) adalah kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh anggota-anggotanya, yang ingin mereka wujudkan di tengah masyarakat.
Wajib Mendirikan Partai Politik Islam
Kewajiban kaum Muslim mendirikan partai politik Islam tidak lepas dari kewajiban kaum Muslim agar mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hukkâm). Berdasarkan dalil-dalil syariah, kewajiban ini bisa dilakukan oleh individu dan bisa juga dilakukan oleh jamaah. Namun, yang dilakukan oleh jamaah melalui partai politik Islam akan lebih efektif dan berpengaruh sebab akan lebih diperhitungkan oleh penguasa. Apalagi pandangan jamaah memiliki dampak besar di tengah-tengah umat dalam menjaga eksistensinya sebagai umat terbaik (khayru ummah). Dalil terkait kewajiban ini adalah firman Allah SWT:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan serta meakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Firman Allah Waltakun minkum ummat[un] merupakan perintah untuk mendirikan partai. Sebab, kata “ummat[un]” dalam ayat itu artinya adalah jamaah, partai, perkumpulan atau kata lain yang semakna dengannya (al-Baghdadi, Al-Jamâ’ah fi al-Islâm, hlm. 6). Adapun kata “mîn” dalam firman Allah “waltakun minkum ummat[un]” adalah untuk makna sebagian (li at-tab’îdh) bukan untuk makna menjelaskan jenis (li bayân al-jins). Dengan demikian, tuntutan (perintah) mendirikan jamaah bagi kaum Muslim adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Sebab, Allah menuntut kaum Muslim agar sebagian dari mereka mendirikan jamaah yang menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Dalam ayat itu, Allah tidak menuntut masing-masing dari kaum Muslim melakukannya. Yang dituntut dari mereka adalah mendirikan jamaah yang akan melakukan kewajiban tersebut. Pasalnya, fokus atau titik berat dari perintah dalam ayat itu adalah perintah mendirikan jamaah, bukan perintah melakukan kedua aktivitasnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 104; Al-Ja’bah, al-Ahzâb fi al-Islâm, hlm. 185).
Jamaah yang dikehendaki oleh syariah dan yang mampu secara langsung melakukan kedua aktivitas itu adalah: Pertama, jamaah yang memiliki ikatan (râbithah) yang mengikat semua anggotanya sehingga menjadi satu bangunan jamaah yang solid. Sebab, tanpa adanya ikatan ini, jamaah yang dituntut untuk didirikan itu tidak ada. Islam telah menentukan ikatan ini melalui firman Allah SWT: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara (TQS al-Hujurat [49]: 10). Artinya, akidah Islam adalah satu-satunya ikatan di antara para anggotanya. Kedua, jamaah yang mempunyai amir (pemimpin) yang wajib ditaatinya, yang menjadikan jamaah tetap eksis, dan dapat melakukan kewajibannya. Apalagi syariah telah memerintahkan bahwa setiap jamaah yang jumlahnya minimal tiga orang wajib mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin atas mereka. Rasulullah saw. bersabda:
وَلاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Tidaklah halal bagi tiga orang yang sedang berada di atas bumi yang luas (dalam perjalanan atau musafir), kecuali mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai amir (pemimpin) atas mereka (HR Ahmad).
Mafhum hadis ini adalah, jika jamaah yang terdiri dari tiga orang dan dengan aktivitas yang tidak permanen saja, yaitu perjalanan (musafir), wajib memiliki amir (pemimpin), maka tentu hal ini lebih diwajibkan lagi atas jamaah yang anggotanya di atas tiga orang (Ghazal, Masyrû’ Qânûn al-Ahzâb fi Dawlah al-Khilâfah, hlm. 35).
Adapun mengapa jamaah yang wajib didirikan harus berupa partai politik, bahkan partai politik Islam, adalah karena Allah SWT dengan ayat itu tidak menuntut kaum Muslim agar menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar, namun yang dituntut dalam ayat itu adalah mendirikan jamaah yang akan melakukan kedua aktivitas itu. Artinya, kedua aktivitas itu—menyerukan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar—hanya menjelaskan aktivitas atau sifat khusus jamaah yang wajib didirikan. Tentu melakukan kedua aktivitas itu, apalagi mencegah kemungkaran penguasa yang tentu bahayanya lebih besar, tidak mungkin berjalan sempurna kecuali oleh partai politik Islam, yaitu partai politik yang berasaskan Islam dan mengadopsi hukum-hukum Islam dalam melakukan semua aktivitasnya. Dengan demikian, ayat itu menunjukkan atas kewajiban mendirikan partai politik Islam, bukan yang lainnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 105; Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 206; Al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islâm, hlm. 68).
Boleh Lebih dari Satu
Kaum Muslim boleh mendirikan parpol Islam lebih dari satu (multipartai). Sebab, kata ummat[un] dalam firman Allah Waltakun minkum ummat[un] tidak bisa dimaknai satu jamaah saja sehingga dilarang mendirikan banyak partai. Pasanya: Pertama, dalam ayat itu tidak dikatakan ummat[un] wâhida[tun], melainkan ummat[un] dengan bentuk nakirah (kata benda tak tentu) tanpa sifat apapun. Ini artinya bahwa mendirikan jamaah hukumnya fardhu (wajib). Apabila telah berdiri satu jamaah yang telah sesuai dengan tuntutan syariah, maka kewajiban itu telah terlaksana, namun hal ini tidak mencegah (melarang) upaya mendirikan banyak jamaah. Sebab, adanya seseorang yang telah melakukan kewajiban kifayah ini tidak mencegah (melarang) yang lainnya untuk melakukan juga kewajiban ini.
Kedua, kata ummat[un] artinya adalah jamâ’a[tun] (jamaah). Jamaah di sini adalah isim (kata benda) untuk jenis, yakni jamaah apapun sehingga berlaku umum dan ditujukan pada suatu jenis, bukan untuk satu orang. Rasulullah saw.:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya (HR Muslim).
Maksud kemungkaran dalam hadis ini bukan satu kemungkaran melainkan semua jenis kemungkaran. Dengan demikian, perintah dan larangan dalam hadis ini ditujukan pada suatu jenis, dan tidak untuk orang tertentu. Dengan demikian tuntutannya berlaku untuk satu orang atau beberapa orang yang masuk ke dalam jenis itu.
Berdasarkan semua itu, boleh di tengah-tengah umat ada satu atau beberapa partai. Jika telah ada satu partai yang melakukan tuntutan dalam ayat tersebut maka gugurlah dosa dari kaum Muslim, karena fardhu kifayah telah terpenuhi. Namun, hal itu tidak melarang berdirinya partai yang lain, dengan tujuan melakukan apa yang dituntut dalam ayat tersebut. Sebab, melarang orang melakukan kewajiban hukumnya haram (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 108; Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 209).
Akan tetapi jika partai itu berdiri untuk melakukan sesuatu yang haram, seperti menyerukan nasionalisme, menyebarkan pemikiran kufur, atau menyerukan perkara haram lainnya, maka berdirinya partai seperti itu haram dan akan dilarang oleh negara. Adapun partai yang berdiri untuk melakukan perkara yang mubah maka hukumnya juga mubah. Namun, partai itu tidak berdiri untuk melakukan apa yang diwajibkan Allah, sebab tidak memenuhi ketentuan partai politik yang ada dalam surat Ali Imran ayat 104 tersebut (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 109).
Tidak Perlu Izin
Mendirikan partai politik Islam dalam rangka menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar tidak membutuhkan izin penguasa, sebab itu kewajiban dari Allah SWT. Bahkan menjadikan pelaksanaan suatu kewajiban bergantung dengan izin penguasa adalah haram. Oleh karena itu, melakukan aktivitas politik Islam dan mendirikan parpol Islam tidak membutuhkan izin apapun dari negara.
Sungguh, undang-undang ini akan memberikan garansi bagi kebebasan setiap Muslim untuk mendirikan jamaah atau partai politik Islam, yang akan berlomba memberikan yang terbaik terhadap kemaslahatan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia di bawah sistem Khilafah Islamiyah. WalLâhu a’lam bish-shawâb. []
Daftar Bacaan
Anis, Dr Ibrahim, dkk, Al-Mu’jam al-Wasîth, (tanpa penerbit), tanpa tahun.
Al-Baghdadi, Muhammad, Al-Jamâ’ah fi al-Islâm, (tanpa penerbit), 2003.
Al-Fairuzabadi, Muhammad bin Ya’qub bin Fadhlullah, Al-Qâmûs al-Muhîth, (Muassasah ar-Risalah), 1993.
Ghazal, Ziyad, Masyrû’ Qânûn al-Ahzâb fi Dawlah al-Khilâfah: Pengantar Asy-Syaikh Fathi Salim, (Darul Wadhah li an-Nasyr wa at-Tauzi’), tanpa tahun.
Al-Ja’bah, asy-Syaikh Abdul Hamid, Al-Ahzâb fi al-Islâm, (tanpa penerbit), tanpa tahun.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
Mahmud, Ahmad, Ad-Dakwah ila al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 1995.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Mafâhîm Siyâsiyah li Hizb at-Tahrîr, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan IV, 2005.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.