HTI

Tafsir (Al Waie)

Amal dan Balasannya

Surat al-Lail [92]: 1-11

وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى* وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى* وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالأنْثَى* إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى* فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى* وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى*

Demi malam saat menutupi (cahaya siang). Demi siang saat terang-benderang.Demi penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kalian memang berbeda-beda. Karena itu, orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), kelak Kami akan menyiapkan bagi dirinya jalan yang mudah. Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, kelak Kami akan menyiapkan bagi dirinya (jalan) yang sukar, dan hartanya tidak bermanfaat bagi dirinya saat ia telah binasa (QS al-Lail [92]: 1-11).


Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Wa al-Layl idzâ yaghsyâ (Demi malam saat menutupi [cahaya siang]). Dalam ayat ini Allah SWT bersumpah yang diungkapkan dengan wâwu al-qasam. Al-Muqsam bih (perkara yang dijadikan sebagai obyek sumpah) adalah al-layli idzâ yaghsyâ. Kata al-layl menunjuk pada waktu terbenamnya matahari hingga terbitnya.1 Kata yaghsyâ berarti yughaththî (menutupi). Maf’ûl-nya tidak disebutkan karena telah diketahui.2 Menurut ar-Razi, yang ditutupi oleh malam tersebut adalah matahari (lihat QS asy-Syams [91]: 4), siang (lihat QS ar-Ra’d [13]: 3) atau segala sesuatu yang tertutupi oleh kegelapannya (lihat QS al-Falaq [113]: 3).3

Kemudian disebutkan: Wa an-Nahâr idzâ tajallâ (Demi siang saat terang-benderang). Huruf wâwu di sini merupakan al-‘athf. Ayat ini masih melanjutkan qasam (sumpah) yang disebutkan ayat sebelumnya. Yang dijadikan sebagai obyek sumpah kebalikan dari ayat sebelumnya, yakni an-nahâr idzâ tajallâ (siang saat terang-benderang). Kata an-nahâr menunjuk pada waktu sejak terbitnya matahari hingga terbenamnya. Kata tajallâ berasal dari al-jalwu yang berarti al-kasyf azh-zhâhir (tampak terang dan jelas).4 Dengan demikian, sebagaimana dikatakan asy-Syaukani, ayat tersebut bermakna: zhahara wa [i]nkasyafa wa wadhuha lizawâl al-zhulmat kânat fî al-layl (terang, nyata, dan terlihat jelas karena lenyapnya gelap pada malamnya). Hal itu terjadi dengan terbitnya matahari.5

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya: Wa mâ khalaqa al-dzakara \wa al-untsâ (dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan). Huruf al-wâwu di sini juga masih al-‘athf. Al-Muqsam bih-nya mâ khalaqa al-dzakara wa al-untsâ. Dijelaskan Ibnu Jarir ath-Thabari, huruf di sini mengandung kemungkinan dua pengertian. Pertama: bermakna man, yakni bersumpah dengan Pencipta laki-laki dan perempuan. Kedua: bermakna al-mashdariyyah, yakni bersumpah dengan penciptaan-Nya, laki-laki dan perempuan.6 Dikaitkan dengan keserasian makna ayat sebelum dan sesudahnya, makna kedua tampaknya lebih tepat.

Sebagaimana perkara yang dijadikan obyek sumpah yang saling berlawanan, demikian pula al-muqsam ‘alayhi (perkara yang dikukuhkan oleh). Allah SWT berfirman: Inna Sa’yukum lasyattâ (Sesungguhnya usaha kalian memang berbeda-beda). Ini merupakan jawâb al-qasam, perkara yang ditegaskan dengan sumpah yang disebutkan sebelumnya. Kata as-sa’yu berarti al-‘amal. Demikian pendapat Ikrimah dan semua mufassir.7

Adapun syattâ merupakan bentuk jamak dari kata syatît. Kata tersebut berarti mukhtalif (berbeda-beda). Inilah pengertian ayat ini sebagaimana dikemukakan Qatadah, al-Baghawi, al-Baidhawi, asy-Syaukani, al-Jazairi dan lain-lain.8 Bahkan menurut al-Biqa’i, kata itu berarti mukhtalif ikhtilâf[an] syadîd[an] (berbeda dengan perbedaan yang sangat mencolok).9 Fakhruddin ar-Razi juga menjelaskan, disebutkan kata syattâ karena jauhnya jarak antara sebagian amal dengan sebagian amal lainnya. Sebab, syatât berarti at-tabâ’ud wa al-iftirâq (saling berjauhan dan terpisah) sehingga seolah-olah dikatakan: Sesungguhnya amal kalian itu saling berjauhan satu sama lain. Sebab, sebagian sesat, sebagian lainnya benar. Sebagian mengharuskan surga, sebagian lainnya meniscayakan neraka. Karena itu, keduanya terpisah jauh satu sama lain. Serupa dengan ayat ini adalah QS al-Hasyr [59]: 20, al-Sajdah [32]: 18, al-Jatsiyah [45]: 21, dan Fathir [35]: 21.10

Dengan demikian ayat ini memberikan penegasan bahwa amal perbuatan manusia itu bemacam-macam. Ada amal yang mengantar-kan ke surga. Ada juga amal yang mengantar-kan ke neraka. Amal yang berbeda-beda itu lalu dirinci dalam ayat selanjutnya: Fa ammâ man a’thâ wa [i]ttaqâ (Karena itu, orang yang memberi dan bertakwa). Yang dimaksud dengan a’thâ (memberi) di sini adalah memberikan hartanya di jalan Allah. Demikian penafsiran al-Baghawi;11 atau seperti kata Ibnu Katsir, memberikan apa yang diperintahkan untuk dikeluarkan.12 Dengan demikian, ini meliputi semua infak, baik yang wajib maupun nafilah.

Kata [i]ttaqâ berarti bertakwa kepada Tuhannya. Dijelaskan asy-Syaukani, kata tersebut berarti ittaqâ mahârimal-Lâh (menjauhi yang diharamkan Allah);13 atau sebagaimana dijelaskan az-Zuhaili, [i]ttaqâ berarti menjalankan perintah dan perbuatan baik serta menjauhi larangan.14

Selain itu adalah: wa shaddaqa bi al-husnâ (dan membenarkan adanya pahala yang terbaik [surga]). Kata husnâ merupakan bentuk muannats dari ism at-tafdhîl dari kata al-ahsan (yang paling baik). Dalam konteks ayat ini, ada beberapa penafsiran. Dijelaskan az-Zamakhsyari, al-husnâ di sini bisa berarti al-khashlah al-husnâ (sifat terbaik), yakni iman; bisa juga al-millah al-husnâ (agama terbaik), yakni agama Islam; atau al-matsûbah al-husnâ (ganjaran terbaik), yakni surga.15 Semua pendapat tersebut saling melengkapi.

Amal itu mengantarkan pada suatu akibat yang ditegaskan dalam firman-Nya: Fasanusayassiruhu li al-yusrâ (Kami kelak akan menyiapkan bagi dirinya jalan yang mudah). Kata at-taysîr berasal dari al-yusr yang berarti as-suhûlah (kemudahan). Akan tetapi, yang dimaksudkan di sini, at-tahyi’ah wa al-i’dâd li al-amr (melapangkan dan menyiapkan pada suatu perkara), yakni mengantarkan pada kelapangan ataupun kesempitan.16 Ditegaskan bahwa Allah SWT memudahkan mereka terhadap al-yusrâ. Kata al-yusrâ merupakan bentuk muannats ism al-tafdhîl dari kata al-aysar (yang paling mudah). Adapun al-yusr berarti al-sahl, dhid al-‘usr (mudah, lawan dari sulit). Dalam konteks ayat ini, pengertian al-yusrâ menurut Ibnu ‘Abbas adalah al-khayr;17 atau seperti dikatakan al-Nasafi dan al-Baghawi, amal yang diridhai Allah SWT; 18 bisa juga seperti disimpulkan ash-Shabuni, yakni al-jannah (surga).19

Kemudian dijelaskan orang-orang yang besikap sebaliknya: Wa ammâ man bakhila wa [i]staghnâ (Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup). Ini merupakan kebalikan dari sifat a’thâ. Artinya, sebagaimana dijelaskan ath-Thabari, yakni siapa saja yang bakhil berinfak di jalan Allah dan tidak membelanjakan kelebihan yang diberikan Allah kepada dirinya sesuai dengan perintah-Nya.20

Adapun [i]staghnâ berarti tidak tertarik dengan pahala dari Allah seolah-olah dirinya cukup dan tidak membutuhkan Allah SWT sehingga dia tidak bertakwa kepada-Nya; dia merasa cukup dengan kesenangan dunia, tidak dengan kenikmatan akhirat. Sebab, [i]staghnâ tersebut kebalikan dari sifat [i]ttaqâ.21

Selain itu juga: wa kadzdzaba bi al-husnâ (serta mendustakan pahala terbaik). Kata kadzdzaba berarti ankara wa jahada (mengingkari dan mendustakan).22 Ini merupakan kebalikan dari shaddaqa. Adapun pengertian al-husnâ di sini tidak berbeda dengan makna dalam ayat sebelumnya.

Akibat perbuatan itu pun disebutkan dalam ayat berikutnya: Fasanusayassiruhu li al-usrâ (kelak Kami akan menyiapkan bagi dirinya [jalan] yang sukar). Sebagaimana al-yusrâ, kata al-‘usrâ juga merupakan bentuk muannats ism at-tafdhîl, dari kata al-‘usr. Dalam konteks ayat ini, ada beberapa penafsiran. Ada yang menafsirkannya sebagai asy-syarr (keburukan, kejahatan). Kejahatan mengantarkan pada azab.23 Ada juga juga memaknainya sebagai Neraka Jahanam.24

Selain itu mereka juga diancam dengan firman-Nya: Wa mâ yughnî ‘anhu mâluhu idzâ taraddâ (hartanya tidak bermanfaat bagi dirinya saat ia telah binasa). Maknanya, harta yang mereka bakhilkan itu sama sekali tak berguna tatkala taraddâ. Secara bahasa, kata ar-radi berarti al-halâk (binasa, mati).25


Akibat dan Balasan

Di antara perkara penting yang ditegaskan oleh ayat-ayat ini adalah tentang jenis sifat dan amal beserta akibat dan balasannya. Masing-masing bersifat baku dan pasti, tidak mungkin tertukar satu sama lain.

Orang yang ringan menginfakkan hartanya di jalan Allah, konsisten menjalankan perintah dan larangan-Nya, dan membenarkan akidah Islam secara sempurna, pasti akan diberi pertolongan untuk mendapatkan kehidupan paling mudah, yakni surga-Nya. Sebaliknya, orang bakhil dan kikir menginfakkan hartanya dijalan Allah, merasa dirinya cukup sehingga tidak membutuhkan pahala-Nya serta melahirkan sikap pembangkangan terhadap syariah-Nya dan mendustakan akidah Islam, niscaya dia dimudahkan mendapatkan kehidupan paling sulit, yakni neraka. Harta yang dicintai, diusahakan siang-malam dan dijadikan sebagai lambang kebanggaan tidak memberikan manfaat sedikit pun ketika seseorang ditinggal mati. Tatkala terjerumus dalam neraka yang penuh siksa, harta itu sama sekali tidak berguna. Inilah ketentuan yang baku dan pasti berlaku.

Bertolak dari ketentuan baku tersebut, seharusnya manusia tidak salah dalam memilih sifat dan amal yang dikerjakan selama di dunia. Jika dia memilih menjadi orang yang bakhil, membangkang dari syariah-Nya dan mengingkari akidah Islam, kemudian di akhirat mendapatkan siksa yang pedih di neraka, maka kesalahan harus ditimpakan kepada dirinya. Dialah yang telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab, dia telah memilih sifat dan amal yang melempangkan jalan bagi dirinya masuk ke dalam neraka.

Bertolak dari ketentuan ini pula, seharusnya manusia mudah dan ringan dalam memilih sifat dan amal yang melempangkan jalan bagi dirinya mendapatkan kenikmatan surga. Beberapa sifat dan amal tersebut secara sekilas memang tampak berat dikerjakan. Menginfakkan harta yang dicintai, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta membenarkan perkara akidah, terutama yang bersifat gaib, bukan merupakan perkara yang ringan. Namun, mengingat besarnya imbalan dan balasan yang akan diterima, niscaya hal itu akan membuat dirinya menjadi ringan dan semangat dalam mengerjakannya. Tekad itu semakin bulat tatkala mengingat besarnya azab Allah yang akan menimpa dirinya apabila dia mengabaikannya.

Perkara penting lainnya dari ayat-ayat ini adalah kemudahan yang diberikan Allah kepada manusia dalam melakukan amalnya. Ditegaskan dalam ayat ini: Fasanuyassiruhu li al-yusrâ dan fasanuyassiruhu li al-usrâ. Allah SWT akan melempangkan jalan bagi manusia untuk mendapatkan kemudahan dan kesuksesan. Patut dicatat, kemudahan dan jalan lempang yang diberikan hamba-Nya tersebut sesuai dengan amal yang dijalankan. Ada sebab-akibat.

Ini sesuai dengan hadis dari penuturan Ali bin Abi Thalib ra. yang berkata: Kami pernah bersama Rasulullah saw. di Baqi al-Gharqad ketika ada jenazah. Beliau bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ: اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ. ثُمَّ قَرَأَ [فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى] الآيَةَ

Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah saw., kalau begitu, tidakkah kita cukup bertawakal atas tulisan tentang kita dan meninggalkan amal?” Beliau menjawab, “Beramallah, karena masing-masing orang akan dimudahkan atas apa yang dia telah diciptakan. Orang yang bahagia akan dimudahkan terhadap amal orang yang bahagia. Adapun orang yang celaka dimudahkan terhadap amal orang yang celaka (Beliau kemudian membaca ayat ini) (HR al-Bukhari).


Walhasil, sifat dan amal beserta akibat dan balasannya sudah jelas. Semoga kita tidak salah dalam memilih jalan dan mendapatkan taufik-Nya untuk menempuh jalan menuju surga dan ridha-Nya.

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []


Catatan kaki:

1 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3 (Beirut: ‘Alam al-Kitab, 2008), 2055.

2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 80.

3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 181.

4 Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412 H), 200.

5 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 550.

6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 2000), 465.

7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 83. Menurut asy-Syaukani dalam Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 550, ini juga merupakan pendapat jumhur

8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 467-468; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 550; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1997), 442; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1998), 317; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 580.

9 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 88.

10 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 182.

11 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 442.

12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 403.

13 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 551

14 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 269.

15 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 762.

16 Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 367.

17 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 407.

18 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-kalim al-Thayyib, 1998), 650; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 443.

19 Ash-Shabuni, Shafwat at- Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shadiq, 1997), 541.

20 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 471.

21 Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 367; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 551

22 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3, 1915

23 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 551

24 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 447; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Tanzîl, vol. 3, 651; ash-Shabuni, Shafwat at- Tafâsîr, vol. 3, 541.

25 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 14 (Beirut: Dar Shadir, tt), 316.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*