Soal:
Bolehkah menyembunyikan perjuangan untuk menegakkan Khilafah dengan alasan strategi perjuangan?
Jawab:
Harus dibedakan antara gagasan (fikrah), metode (thariqah/manhaj) dan strategi (siyasah). Berbicara tentang gagasan (fikrah) dan metode (thariqah/manhaj) merupakan pembahasan tentang dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan di dalam Islam. Sebab, Islam tidak mungkin akan eksis tanpa gagasan, konsep dan fikrah. Gagasan, konsep dan fikrah ini tidak akan eksis tanpa metode (thariqah/manhaj) yang bisa mewujudkannya di tengah-tengah kehidupan.
Berbicara tentang Khilafah adalah berbicara tentang fikrah, gagasan dan konsep sistem pemerintahan Islam yang wajib ditegakkan. Berbicara tentang Khilafah berarti berbicara tentang sebuah sistem pemerintahan dalam Islam mulai dari bentuk negaranya yang berbentuk kesatuan (nidham al-wihdah), bukan federasi maupun commonwealt; juga sistem pemerintahannya yang bukan sistem republik-presidentil, republik-parlementer, monarki-absolut, monarki-parlementer, juga bukan demokrasi, teokrasi maupun diktator, tetapi sistem Khilafah. Negara dan pemerintahan Khilafah dipimpin seorang khalifah, bukan presiden, raja maupun perdana menteri. Sistem kekuasaan Khilafah tidak mengenal trias politika (legislatif, eksekutif dan judikatif), tetapi utuh di tangan Khalifah. Kekuasaan Khalifah diperoleh dari umat, dibangun dan dijalankan berdasarkan akidah Islam; tidak ada satu hukum pun yang diterapkan oleh negara ini, kecuali syariah Islam. Syariah Islam diterapkan dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri serta sanksi hukum.
Semua ini merupakan fikrah, gagasan dan konsep yang harus disampaikan kepada umat secara terbuka dan detail. Dengan itu partai atau kelompok yang mengusung gagasan ini mampu menjawab setiap permasalahan yang dihadapi oleh umat sekaligus memupus keraguan mereka akan kemampuan Islam untuk menyelesaikan seluruh problem yang mereka hadapi. Ini merupakan master plan (rencana induk) dari sebuah peradaban yang hendak diwujudkan. Dengan master plan ini umat pun tahu apa yang harus mereka perjuangkan.
Karena itu, Hizbut Tahrir telah menyiapkan master plan tersebut secara detail, dan menyampaikan secara terbuka kepada umat Islam di manapun, baik di Dunia Islam maupun Barat, bahkan juga kepada umat non-Muslim. Tujuannya adalah agar mereka bisa memahami apa yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir, dan bahwa perjuangan ini bukan untuk Hizbut Tahrir, tetapi untuk mereka. Dengan begitu, semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, akan berdiri bersama Hizbut Tahrir mendukung perjuangannya. Sebab, mereka paham, bahwa perjuangan ini bukan merupakan kepentingan Hizbut Tahrir tetapi merupakan kepentingan umat, dan seluruh manusia.
Dengan cara seperti itu, umat yang tidak paham, salah paham dan pahamnya salah tentang Khilafah yang diperjuangkan, baik oleh Hizbut Tahrir maupun yang lain, pada akhirnya bisa dipahamkan, diluruskan atau direvisi pemahamannya. Ini seperti ungkapan orang Arab: An-Nasu a’da’ ma jahilu (Manusia akan tetap menjadi musuh, selama mereka tidak paham). Karena pemahaman ini menjadi kunci dukungan dan penolakan umat, maka dibutuhkan kesungguhan, kesabaran dan kemampuan untuk membangun pemahaman tersebut di tengah-tengah umat. Ini jelas tidak mungkin jika kita tidak pernah menyatakan secara terbuka tentang fikrah, gagasan dan konsep Khilafah kepada mereka.
Hal yang sama juga berlaku dalam konteks metode. Sebab, boleh jadi, ketika fikrah, gagasan dan konsep Khilafah tersebut disampaikan dengan terbuka dan detail, sementara metode yang digunakan untuk mewujudkannya tidak pernah dijelaskan kepada umat, maka umat hanya akan mendukung fikrah, gagasan dan konsep Khilafah-nya, tetapi pada saat yang sama mereka tidak akan mau berjuang untuk menegakannya, atau mau berjuang untuk menegakkannya, tetapi dengan cara yang salah. Bahkan yang lebih berbahaya adalah jika ada pihak-pihak yang berusaha membajak perjuangan Khilafah untuk kepentingan mereka. Maka dari itu, baik yang pertama, kedua maupun ketiga, jelas sama-sama salah. Karena itu, selain fikrah, gagasan dan konsep Khilafah tersebut, kita juga harus menyampaikan kepada umat secara terbuka, bagaimana metode untuk menegakkannya. Mengapa?
Pertama: agar umat mengetahui jalan yang benar dalam memperjuangkannya. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk tidak memperjuangkannya. Mereka juga tidak akan bisa dibajak oleh siapapun, dan untuk kepentingan apapun. Kedua: perjuangan ini merupakan perjuangan jangka panjang. Karena itu, ketika generasi satu meninggalkan generasi berikutnya, perjuangan ini tetap bisa diteruskan, bukan mengulang hal yang sama, tetapi melanjutkan apa yang telah dilalui oleh generasi sebelumnya. Dengan begitu, perjuangan ini tidak akan berjalan di tempat, apalagi mundur ke belakang, tetapi terus maju dan maju. Ketiga: di luar semuanya itu, karena kita mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Katakanlah, “Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (QS Yusuf [12]: 108).
Imam al-Qurthubi menjelaskan: “Katakanlah, wahai Muhammad, “Inilah jalanku, sunahku dan manhajku.” Ibn Zaid menyatakan, ar-Rabi’ berkata, “Dakwahku.” Muqatil berkata, “Agamaku.” Semua ini, menurut al-Qurthubi, maknanya satu, yaitu apa yang menjadi jalan hidupku dan aku serukan untuk menggapai surga. Adapun makna ‘ala bashirah adalah dengan keyakinan dan dalam kebenaran.1 Imam as-Syaukani menyatakan bahwa makna, ‘ala bashirah adalah dengan hujjah yang jelas (hujjah wadhihah). Kata bashirah mempunyai konotasi pengetahuan yang bisa membedakan antara yang haq dan batil.2
Dengan kata lain, Islam yang dideklarasikan oleh Nabi saw., baik dalam konteks fikrah, gagasan, konsep maupun metode (thariqah/manhaj) adalah sesuatu yang jelas dan argumentatif (hujjah wadhihah). Ini artinya, apa yang disampaikan oleh Nabi saw. sejak awal sudah diketahui arah, tujuan dan metodenya. Karena itu, sejak Nabi saw. menyatakan La ilaha illa-Llah Muhammad Rasulu-Llah (Tiada Tuhan yang berhak disembah, selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah), orang kafir Quraisy langsung memahami, bahwa Islam yang dibawa Nabi saw. ini akan mengubah landcape kekuasaan mereka. Mereka juga tahu, bahwa Islam membutuhkan kekuasaan (negara). Karena itu, mereka pun menawarkan kekuasaan itu kepada Nabi saw., dengan harapan bisa diajak kompromi, dan Islam pun bisa dikompromikan dengan kekufuran mereka. Namun, semuanya itu jelas ditolak oleh Baginda Nabi saw.
Akibatnya, Nabi saw. mengalami penganiayaan hingga sampai pada tingkat ancaman kematian. Para Sahabat Nabi saw. pun mengalami hal yang sama. Ini membuktikan bahwa gagasan, konsep dan metode yang Baginda usung bersama-sama Sahabat tersebut merupakan harga mati, yang tidak bisa ditawar-tawar dan dikompromikan. Di situlah makna firman Allah yang dinyatakan melalui lisan Nabi-Nya, Ana wa man ittaba’an (Aku dan siapa saja yang mengikuti). Artinya, para Sahabat, dan tentu siapapun yang mengikuti jalan Nabi saw. dan Sahabatnya, pasti tidak akan melakukan kompromi dan tawar-menawar dalam menyampaikan kebenaran Islam. Semua ini menuntut adanya keterusterangan, apa adanya, bukan sembunyi-sembunyi apalagi bersikap nifaq, dengan alasan strategi. Sebab, ini bukan masalah strategi, tetapi masalah konsep dan metode yang harus jelas dan dipahami oleh semua orang.
Adapun strategi (siyasah), atau bisa disebut khitthah, merupakan bagian dari uslub, dan hukumnya mubah; bisa terbuka dan bisa tertutup, bergantung pada situasi dan kondisi serta tuntutan yang ada. Nabi saw. menyembunyikan tempat pertemuannya dengan kaum Muslim, demikian juga para Sahabat. Ini adalah bagian dari khitthah ini. Demikian juga siapa saja yang ikut dengan beliau, tidak diketahui oleh kaum kafir. Ini juga bagian dari dari khitthah ini. Namun, pada waktu yang berbeda, Nabi saw. mendemonstrasikan jamaahnya, dengan melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Ketika Nabi saw. melakukan thalab an-nushrah, beliau melakukannya secara diam-diam, bahkan tidak ada yang tahu. Begitu juga ketika Nabi saw. hendak hijrah, meninggalkan Makkah ke Madinah, menjelang proklamasi berdirinya Negara Islam di sana, juga dilakukan diam-diam. Ini bagian dari strategi atau khitthah ini.
Dengan memahami perbedaan ketiganya—fikrah, thariqah dan khitthah (strategi)—maka kita bisa memilah, mana yang harus dinyatakan secara terbuka, dan mana yang tidak. Jadi, tidak boleh karena alasan strategi, semuanya harus disembunyikan, bahkan lebih tragis lagi bersikap nifaq. WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Al-allamah al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t., IX/272.
2 Al-allamah Muhammad bin ‘Ali as-Syaukani, Tafsir Al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1997, III/57.