HTI

Fokus (Al Waie)

Haji Terdegradasi

Jutaan kaum Muslim saat ini berkumpul di kota suci Makkah al-Mukarramah. Mereka datang dari berbagai belahan dunia. Ada yang berkulit putih, merah, coklat, hingga hitam dengan bahasa yang berbeda-beda. Lebih dari 200 ribu orang di antaranya berasal dari Indonesia. Mereka mengenakan pakaian yang sama, ihram. Tak ada lagi jabatan dan status sosial. Semua ditanggalkan. Semua sama, sebagai hamba. Ucapan mereka pun sama: Labbaika AlLahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaika, innal hamda wanni’mata laka wal mulka, la syarika laka.

Selama beberapa hari kaum Muslim melaksanakan rukun iman kelima ini dengan penuh kesadaran. Mereka rela lelah dan menahan kantuk demi menggapai haji mabrur. Mereka meninggalkan segala yang dilarang di Tanah Haram. Mereka tunduk dan patuh terhadap aturan haji tanpa sedikit pun berani melanggar.

Meski berbeda warna kulit dan bahasa, mereka bisa saling membantu dan berkomunikasi. Ada perasaan dan tujuan yang sama. Keimanan telah menyatukan mereka dalam sebuah kesempatan yang sama.

Sayang, hal itu hanya bersifat sementara. Persaudaraan antar kaum Muslim (ukhuwah) hanya terjadi di tempat itu. Lepas dari sana, mereka kembali ke negerinya masing-masing dan tak lagi peduli dengan nasib saudara mereka di tempat lainnya.

Pelaksanaan haji kian hari kian menurun kualitasnya. Banyak jamaah yang melaksanakan ibadah ini hanya sekadar menggugurkan kewajiban saja. Padahal bila disertai dengan pendalaman dengan kacamata Islam yang komprehensif, sungguh haji adalah ibadah yang mampu memompa semangat baru bagi kebangkitan kaum Muslim dan mengubah keadaan dari jahiliah menuju islami.

Degradasi ibadah haji ini muncul dari sebuah proses. Sejak berangkat, mereka dibina dengan tsaqafah yang ala kadarnya. Materi-materi yang disampaikan oleh Pemerintah hanyalah khusus soal ibadah itu sendiri, tanpa dikaitkan dengan Islam secara komprehensif. Banyak pula di antara jamaah yang tidak/kurang memiliki bekal keimanan. Tidak aneh, pelatihan manasik hingga delapan kali pertemuan tidak berdampak secara signifikan, khususnya dalam perubahan perilaku.

Saat mereka di Makkah dan Madinah, layanan yang mereka dapatkan dari pihak-pihak yang ditunjuk oleh Pemerintah Saudi—muasasah—pun hanya seputar sarana dan prasarana. Mereka tidak mendapatkan ’charge’ yang memadai. Apalagi jamaah haji sudah diwanti-wanti untuk tidak membicarakan politik saat sedang berada di Tanah Suci. Ini berarti, mereka hanya boleh memikirkan ibadah ritualnya saja.

Jadilah hasilnya seperti tahun-tahun sebelumnya. Ratusan ribu orang berangkat haji, tetapi tak ada dampak bagi perubahan masyarakat. Perubahan yang signifikan hanyalah pada gelar ’haji’ atau ’hajjah’ yang disematkan kepada mereka yang telah pulang ke Tanah Air. Saat yang sama, ada haji yang berbuat maksiat dan tak peduli dengan kondisi/nasib umat. Malah ada haji yang menentang syariah. Mereka kembali berhukum pada hukum thaghut. Ikrar mereka bahwa tidak ada sekutu bagi Allah, lenyap. Pengagungan kepada Allah hilang.

Ini menjadi bukti bahwa ibadah haji tersebut sekadar simbolisme belaka, tanpa makna. Ziarah mereka ke tempat-tempat bersejarah dalam perkembangan Islam hanya menyisakan kekaguman, sama seperti orang yang habis jalan-jalan. Sebagai contoh, saat mereka melihat makam syuhada Uhud, mereka seperti mengunjungi monumen lainnya. Tidak ada pengaruh yang menghunjam sehingga membuat mereka menangkap semangat perjuangan para syuhada tersebut untuk ditiru. Apalagi banyak situs-situs bersejarah telah hilang ditelan oleh bangunan-bangunan baru.


Kapitalisasi

Keinginan umat Islam untuk berangkat ke Tanah Suci terus meningkat. Perkembangan ini di satu sisi sangat positif. Namun, di sisi lain ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan potensi dana yang besar dari biaya naik haji ini. Tak hanya pihak swasta yang sejak lama mendapat bagian untuk membisniskan haji ini—melalui haji plus. Kini Pemerintah pun tak mau ketinggalan untuk memanfaatkan potensi dana besar yang terkumpul. Bayangkan, setiap tahun terkumpul dana sekitar Rp 6,6 triliun dari jamaah haji reguler. Itu belum termasuk dana dari jamaah haji plus yang diperkirakan mencapai Rp 1,1 triliun. Tingginya minat masyarakat pergi haji dan adanya dana talangan haji dari perbankan mengakibatkan dana yang masuk membengkak. Sebab, jamaah sudah membayar terlebih dulu untuk mendapatkan jatah porsi haji untuk tahun berikutnya. Tahun ini setoran dana haji mencapai Rp 22 triliun lebih.

Dana nganggur itulah yang ingin diambil manfaatnya oleh penyelenggara haji reguler yang notebene adalah Pemerintah cq Kementerian Agama. Itu belum termasuk dana abadi umat (DAU)—dana yang dipungut dari jamaah haji sejak zaman Soeharto—yang besarnya mencapai Rp 1,7 triliun.

Di pihak lain, Kementerian Keuangan melihat dana sebesar itu harus dimanfaatkan. Lalu Pemerintah menerbitkan sukuk—istilah saham yang diislamkan—untuk menarik dana tersebut. Namanya Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Penempatan Dana Haji ke SDHI ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri Agama pada tanggal 22 April 2009 tentang Tata Cara Penempatan Dana Haji dan Dana Abadi Umat dalam surat berharga syariah negara (SBSN) dengan metode ‘private placement’.

Hingga April 2011, berdasarkan data Kementerian Keuangan, Pemerintah RI setidaknya sudah empat kali mengeluarkan sukuk dana haji. Tiga seri dikeluarkan pada 2010. Satu seri lainnya diterbitkan pada 2009. Pada tahun lalu, Pemerintah mengeluarkan sukuk dana haji SDHI 2013 A; pada Mei 2010 lalu SDHI 2014 A dan SDHI 2014 B pada Agustus 2010. SDHI 2013 A memiliki nilai Rp 4,25 triliun, SDHI 2014 A bernilai Rp 2,85 triliun dan SDHI 2014 B bernilai Rp 336 miliar.

Pemerintah setahun sebelumnya (2009) juga mengeluarkan sukuk dana haji SDHI 2010 B bernilai Rp 1,186 triliun. Sukuk ini dikeluarkan untuk menutupi pembiayaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Total dana haji yang ditempatkan di sukuk mencapai lebih dari 10 triliun. Dari sukuk tersebut, Pemerintah mendapatkan bunga 9,75 persen, jauh dibandingkan jika ditempatkan di perbankan yang hanya mendapat imbalan bunga sebesar 8 persen. Pemerintah beralasan penempatan, dana haji di sukuk ini lebih aman dan tentu bunga yang diperoleh jauh lebih besar. Hasilnya, menurut Pemerintah, bisa digunakan untuk membantu pelayanan jamaah haji.

Tidak hanya Pemerintah Indonesia, Pemerintah Saudi pun melihat potensi haji di bidang ekonomi sangat besar. Tak mengherankan bila kerajaan tersebut memanfaatkan potensi besar itu. Pembangunan dua kota suci Makkah dan Madinah terus digenjot. Investor asing pun digandeng. Kaum Muslim pun bisa melihat gedung-gedung pencakar langit milik orang-orang kafir berdiri megah. Ada Hilton, Le Meridien, Movenpick dan lainnya.


Korbankan Situs Islam

Pembangunan yang sangat pesat oleh Pemerintah Saudi ternyata tidak disertai perlindungan terhadap warisan budaya Islam. Banyak situs-situs peninggalan sejarah Islam yang sengaja dihilangkan. Baru-baru ini pengamat Arab Saudi, Fuad Ibrahim, membongkar konspirasi busuk dan terorganisasi keluarga Saud yang menghancurkan peninggalan Islam di kota Makkah dan Madinah. Dalam wawancaranya dengan al-Alam ia memperingatkan rencana keji Riyadh menghancurkan peninggalan Islam di kota suci negara ini. “Dengan berkedok memperluas tempat-tempat suci, pemerintah Arab Saudi berencana menghancurkan seluruh peninggalan Islam di kota Makkah dan Madinah,” ungkapnya.

Tidak adanya undang-undang yang mencegah aksi Riyadh dan bungkamnya rakyat Arab serta Muslim dunia bahkan masyarakat internasional, menurut dia, membuat keluarga Saud kian berani menghancurkan peninggalan Islam. Fuad menekankan pentingnya peninjauan ulang peran keluarga Saud sebagai pengawas dan pengelola tempat-tempat suci Islam di Arab Saudi. Bahkan ia juga memperingatkan adanya rencana pemindahan makam Rasulullah saw. dari Masjid Nabawi dan penghancuran Kubah Hijau yang diusulkan Bin Atsimain, seorang ulama Wahabi.

Hal senada disampaikan Syaikh Abdul Naser al-Jabari, dekan Universitas Dakwah Lebanon, kepada media yang sama. Ia mengungkapkan, rencana perluasan Haramain akan memusnahkan warisan Islam di kota Madinah dan Mekkah.

Pakar peninggalan Islam Sami al-Ajawi mengungkapkan, “Jika dibiarkan, warisan bersejarah Islam di Makkah tidak akan tersisa. Selama 50 tahun terakhir, kaum Wahabi merusak lebih dari 300 bangunan dan warisan budaya Islam di Makkah dan Madinah. Mereka beralasan, jika warisan Islam bersejarah itu tidak dihancurkan, tempat tersebut akan disucikan oleh umat Islam dari sejumlah negara dan dijadikan sembahan yang termasuk perbuatan syirik.”

Para pejabat Saudi mengklaim, penghancuran peninggalan bersejarah itu dilakukan dengan alasan menghindari tindakan menyekutukan Tuhan atau syirik. Padahal hanya mazhab Wahabi saja yang menilai kewajiban umat Islam memuliakan warisan bersejarah Rasulullah saw. sebagai perbuatan syirik. Anehnya, Istana Masmak di Riyadh—saat dulu para pejabat Inggris merencanaan kejahatan mereka untuk meruntuhkan Daulah Khilafah Islam dan berhasil memisahkan Arab Saudi dari Daulah Khilafah—justru dipertahankan. Istana tersebut dilindungi dan dijaga untuk memelihara monumen-monumen sebagai peringatan perjuangan ’ashabiyah dan sebagai simbol kebanggaan. Rumah Saud ini dilindungi termasuk juga lubang-lubang bekas tembakan tentara Khilafah Utsmani. Lubang-lubang yang terdapat di dinding rumah tersebut dikatakan sebagai kesan perjuangan membebaskan dari cengkeraman Daulah Islam.

Para pakar arkeologi yang menaruh perhatian besar pada warisan budaya dunia mengkritik Pemerintah Arab Saudi karena merusak bangunan-bangunan sejarah Islam. Press TV dalam sebuah siarannya melaporkan, para pakar warisan budaya dunia dalam seminar yang digelar di Institut Kajian Timur dan Afrika di London mengkritik keras para pengambil kebijakan Arab Saudi dan mendesak mereka supaya menghentikan penghancuran bangunan-bangunan suci Islam. Mereka mengkhawatirkan perusakan atas peninggalan bersejarah di Madinah dan Makkah. Erfan Al-Alawy yang juga salah satu pejabat Institusi Riset Peninggalan Islam menyebut tindakan para pejabat Arab Saudi sebagai perusak budaya. “Yang jelas, banyak bangunan bersejarah hancur sejak 60 tahun lalu, yang tentunya tak tergantikan,” katanya.

Kondisi ini kian mengkhawatirkan dengan perluasan proyek ekonomi di Makkah. Identitas budaya warisan kota itu bisa hilang. Nuansa ekonomi kian kental menutup identitas Masjidil Haram. Tempat suci ini akan diubah sedemikian rupa menjadi kawasan modern. Irib melaporkan, Pemerintah Arab Saudi tengah bekerjasama dengan perusahaan Inggris, Atkins, menggarap pembangunan proyek baru. Di sana akan dibangun menara jam—gedung pencakar langit—yang dilengkapi dengan tiga hotel mewah dengan kapasitas 3.000 kamar lux. Ahli-ahli dari Barat ada di balik pembangunannya.

Hotel yang menelan dana pembangunan tiga miliar dolar itu hanya bisa ditempati oleh orang-orang kaya saja. Kemewahan yang ditampilkan itu memicu riak-riak protes hingga putri mantan Raja Arab Saudi, Basma binti Saud, menuding rezim Riyadh korup dan menyatakan bahwa mayoritas populasi di negara itu hidup miskin. Ia mengungkapkan, pada proyek terbaru pengembangan Masjidil Haram terjadi korupsi sebesar 80 miliar rial Saudi ($ 400 juta). Namun, berita itu disensor di dalam negeri. Bahkan Raja Saudi sendiri bersikap bungkam. “Dana sebesar itu masuk ke kantong korporasi Jepang, AS, Prancis, Cina dan negara lainnya.”

Padahal, tutur Basma, kemiskinan begitu menusuk mata di Saudi sendiri. Banyak ditemui di sekitar Masjidil Haram orang-orang miskin yang hidup memprihatinkan. Sepupu Raja Abdullah dan aktivis sosial ini mengatakan, 95 persen warga hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak menikmati listrik dan air. Hanya lima persen dari seluruh populasi Arab Saudi yang hidup mewah. Basma juga menuding Pemerintah Arab Saudi “menguntit” lebih dari $21 miliar dana investasi renovasi Masjidil Haram di Makkah.

Jika renovasi itu nantinya selesai, umat Islam tak akan lagi bisa mengenang sejarah perjuangan Rasulullah saw. dan para Sahabat serta spiritnya. Mereka tak akan lagi tahu di mana bekas rumah Rasulullah saw. dan istrinya mengawali perjuangan menyampaikan risalah Islam. Mereka juga tidak akan mengenal lagi suatu tempat Sahabat Bilal bin Rabbah, seorang keturunan Habsyah, pernah disiksa oleh seorang pemuka Quraisy yang bernama Umayyah bin Khalaf. Sebuah riwayat menjelaskan, kawasan tersebut merupakan tempat terpanas di kawasan Makkah. Sekiranya sekarat daging diletakkan di situ, niscaya ia akan matang.

Begitu juga Darul Arqam, tempat halqah-halqah (pembinaan tsaqafah) dijalankan pada malam hari, atau mereka ditunjukkan halaman-halaman rumah di mana Sayidina Abu Bakar ra. biasa membaca al-Quran dengan keras dan beliau menangis walaupun dia telah dijanjikan perlindungan oleh Allah SWT; atau tempat berhampiran dengan Makkah saat Rasulullah saw. dianiaya hingga menyebabkan darahnya mengalir sampai ke kaki dan selipar Baginda menjadi merah hingga tidak dapat dibedakan di antara kaki Rasulullah dan selipar Baginda; juga tempat saat Baginda Rasulullah saw. hampir dibunuh sebelum Baginda berhijrah ke Yatsrib, tempat yang menunjukkan keberanian Ali bin Abi Thalib yang sanggup menggantikan tempat Rasulullah saw. yang menjadi sasaran pembunuhan.

Padahal dengan menyaksikan tempat-tempat bersejarah ini, kaum Muslim dapat mengenang betapa beratnya perjuangan yang telah dilalui oleh generasi awal kaum Muslim. Spirit perjuangan ini bisa menjadi daya dorong untuk memperjuangkan Islam pada masa sekarang melawan jahiliah modern.

Melihat fakta-fakta tersebut, ‘Khadimul Haramain’ (Penjaga Dua Kota Suci) bisa dikatakan telah hilang dari muka bumi. Predikat itu hanyalah klaim belaka untuk mengelabui umat Islam seluruh dunia. Dinasti Saud justru tidak melaksanakan fungsi penjagaan tersebut. Sebaliknya, rezim tersebut malah menggerogoti warisan budaya Islam dan mengubah Tanah Haram menjadi kota ala Barat. Bahkan rezim ini secara sistematis mencegah kembalinya kekuatan Islam dalam wujud Daulah Islamiyah. Rezim Saud melarang keras para khatib yang berbicara soal politik. Mereka melarang penyeru kebenaran mengkritik penguasa/raja. Hanya khutbah-khutbah yang berisi ibadah ritual saja yang diperkenankan. Siapa yang berani berkhutbah lebih dari itu, pemerintah telah menyiapkan sanksi berupa pemecatan maupun penahanan.

Dalam skala regional, tampak jelas bahwa Arab Saudi adalah kaki tangan Amerika. Kerajaan ini menjadi pangkalan militer Amerika. Saat Perang Irak, pesawat-pesawat Amerika bermarkas di Saudi. Belakangan, Arab Saudi membela habis-habisan Kerajaan Bahrain yang dilanda revolusi. Anehnya, ketika rakyat Palestina dibombardir oleh Israel, justru Arab Saudi diam seribu bahasa. Seorang ulama Saudi yang menyerukan jihad melawan Israel malah ditangkap tahun 2009 lalu.

Walhasil, dengan melihat fakta-fakta yang ada, nilai-nilai haji terdegradasi. Haji tinggal sebuah simbol ritual yang kurang bermakna. Padahal di balik haji ada spirit perjuangan yang besar dalam rangka ukhuwah dan persatuan umat Islam seluruh dunia. Inilah yang seharusnya diperjuangkan kembali kaum Muslim. [Humaidi]

One comment

  1. farhan mardiyah

    subhanallah, jangan biarkan kafir imperialis menggerogoti peninggalan sejarah di Haramain. mari kita kembalikan makna haji yang paling hakiki, yaitu dengan menyatukan ummat dalam memperjuangkan hukum Allah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*