Ketakutan Pemerintah Sekular Yordania Terhadap Penerapan Sistem Al-Quran
Jawaban para penguasa despotik ketika diserukan untuk menerapkan sistem al-Quran hanyalah penangkapan terhadap para penyerunya. Di Yordania, seorang anggota Hizbut Tahrir ditangkap pada 10 Oktober 2011 lalu karena kritik tajamnya terhadap amandemen konstitusi sekular. Tim Keamanan Yordania menahan seorang anggota Hizbut Tahrir, Gharablu Mujahid, setelah kritiknya terhadap amandemen konstitusi sekular yang disetujui oleh Raja Abdullah II baru-baru ini.
Menurut Kepala Biro Penerangan Hizbut Tahrir Yordania, Mamdouh Abu Sawa, pihak keamanan telah menangkap Gharablu dari tempat kerja di kawasan wisata di pusat kota Amman, dan kemudian telah dipindahkan ke Departemen Intelijen.
Ia menjelaskan bahwa penahanan itu terjadi setelah dua hari diskusi Gharablu dan imam masjid mengenai amandemen konstitusi sekular yang telah dikritik oleh seorang anggota Hizbut Tahrir yang menyerukan agar Kitab Suci al-Quran digunakan sebagai konstitusi Islam.
Abu Sawa menegaskan bahwa penangkapan itu terjadi di bawah ketakutan otoritas eksekutif yang telah melakukan amandemen konstitusi karena bertujuan untuk melindungi rakyat. Ia mengatakan bahwa penangkapan “membuktikan bahwa reformasi hanya kebohongan dan penipuan” dan mendesak pembebasan segera Gharablu “karena menghormati pikiran rakyat”.
Otoritas Yordania menganggap Hizbut Tahrir sebagai partai terlarang dan mendakwa para pemimpin serta para anggotanya bertahun-tahun sebelumnya atas tuduhan keanggotaan partai. Mereka dihukum antara satu sampai tiga tahun.
Demikianlah, ketika para pengemban dakwah menyerukan penerapan al-Quran, para penguasa despotik menjawabnya dengan penangkapan dan penjara. Namun, semua itu tidak menyurutkan para pengemban dakwah untuk terus berjuang hingga Islam benar-benar memayungi kembali dunia. Insya Allah. [Syabab.com, 15/10/2011]
Inggris Tak Terima Sanksi atas Shaleh dan Rezimnya
Dalam sebuah wawancara surat kabar Asharq Al-Awsat yang terbit di London dengan Duta Besar Inggris untuk Yaman, Jonathan Wilks, yang dipublikasikan pada hari Jumat (7/10), sang Duta Besar ditanya, “Jika semua rencana tidak berjalan sebagaimana mestinya, apakah akan ada sanksi terhadap rezim di Yaman?” Dia menjawab, “Tidak ada pembicaraan tentang sanksi sekarang, mengapa? Pertama, karena kami tidak ingin menjatuhkan sanksi yang akan menambah penderitaan bagi rakyat Yaman, yang telah membayar harga tinggi. Kedua, kami tidak ingin rakyat (Yaman) membayar lebih besar lagi karena tindakan internasional. Adapun sanksi bagi oknum-oknum dalam rezim, juga tidak ada pembicaraan tentang hal ini sekarang, karena masih ada proses dialog yang sedang berlangsung. Kami ingin melanjutkan dialog ini. Ingat, situasi di Yaman ini berbeda dibandingkan dengan situasi di Suriah.”
Jika kita cermati setiap aktivitas politik yang dilakukan oleh Inggris terhadap rezim di Yaman, maka kita akan menemukan dukungan Inggris secara rahasia dan terbuka. Bukan sesuatu yang aneh jika Inggris bersikap demikian. Inggris adalah pihak yang gencar menyerukan serangkaian konferensi tentang Yaman untuk menyelamatkannya dari situasi perekonomian yang begitu mengerikan; dimulai di London pada tahun 2006 dan yang paling baru adalah Konferensi Riyadh yang diselenggarakan sebagai akibat maraknya aksi-aksi massa yang terjadi di Yaman, yang menuntut lengsernya Ali Shaleh dari kursi pemerintahan. Inggris juga yang telah mengeluarkan rezim Shaleh di Yaman dari krisis produk minyak bumi, setelah pipa pemompa minyaknya menghadapi pengeboman selama aksi-aksi massa yang berlangsung sekarang ini, dengan menjadikan rezim keluarga As-Saud memberikan bantuan 3 juta barel, lalu diikuti oleh rezim-rezim Teluk lainnya dengan tambahan 5 juta barel. Inggris juga yang melawan Amerika guna mencegah upaya Amerika memperluas pengaruh politiknya di Yaman, yang akan menggeser pengaruh Inggris, saat pengaruh Amerika mulai menyusup dan dengan cepat membuat pusat-pusat politik di Yaman menunjukkan loyalitasnya pada Amerika.
Inggris adalah pihak yang ingin mengeluarkan Shaleh dari pemerintahan dengan segera melakukan pemilihan presiden. Inggris tidak terima tangan Amerika menyentuh rezim pemerintahan di Yaman dengan buruk, setelah suara-suara mulai meningkat yang menuntut agar mengadili Shaleh dan anak buahnya, yang telah menembaki para demonstran di setiap tempat menyerukan perubahan di seluruh negeri.
Bahkan Inggris pergi lebih jauh lagi untuk menahan para penggugat dengan mengatakan bahwa masalah pemeriksaan terkait pembunuhan para demonstran harus memperhitungkan apa yang telah dihadapi Shaleh dan pilar-pilar pemerintahannya, yaitu pengeboman pada tanggal 3 Juni lalu di Istana Presiden.
Inggris saat ini sedang melakukan pembelaan terhadap Shaleh dan rezim pemerintahannya dalam menghadapi Amerika, penjajah Yaman yang baru. Lalu siapakah yang akan membela Shaleh dan anggota gengnya jika di jalan-jalan Yaman telah berhembus angin perubahan menuju arah yang benar; yang mengharuskan pembersihan terhadap mereka yang setia pada kaum kafir Inggris dan lainnya, yang mengharuskan mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslim yang akan menerapkan Islam dan yang menyatukan negeri-negeri kaum Muslim kembali di bawah bendera al-Uqab, Lâ Ilâha Illallâh Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Muhammad utusan Allah). [Hizb-ut-tahrir.info, 15/10/2011].