HTI

Analisis (Al Waie)

Makna Politis Haji

Ibadah haji kini sudah kehilangan makna politisnya bagi umat. Tak seperti dulu, katakanlah di zaman penjajahan Belanda saat Khilafah masih ada. Para jamaah haji di jaman penjajahan betul-betul mendapat pencerahan politik berkat ibadah hajinya di Mekkah. Mereka yang pulang haji menjadi makin berani melawan pemerintahan kafir Belanda. Inilah yang menyebabkan Belanda mengkhawatirkan dampak haji secara politis. Karena itu, tahun 1908 Belanda pernah menegaskan bahwa melarang umat Islam berhaji akan lebih baik daripada terpaksa harus menembak mati mereka. (H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm.22).

Kini, ibadah haji mungkin sudah kosong dari makna politis itu. Ibadah haji saat ini lebih dipahami sebagai ibadah ritual belaka, plus rekreasi dan wisata belanja di Tanah Suci. Padahal ibadah haji sebenarnya mengandung makna politis yang kuat. Sejak awal Islam, dimensi politik dalam ibadah haji sudah terlihat sangat kental. Sebagai contoh, dalam Haji Wada’ pada tahun ke-10 Hijriyah, Nabi saw. menyampaikan khutbah, antara lain, “Ketahuilah, sembahlah Rabb kalian, dirikanlah shalat lima waktu kalian, laksanakanlah puasa Ramadhan kalian, bayarkanlah zakat harta kalian dengan suka rela, tunaikanlah haji di rumah Rabb kalian, dan taatilah waliyul amri kalian, niscaya kalian masuk surga Rabb kalian.” (Shafiyurrahman Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 359).

Perkataan Nabi saw.,”Taatilah waliyul amri kalian (athii’u ulati amrikum),” secara jelas merupakan pesan politik yang strategis, karena mengingatkan umat Islam untuk tetap patuh kepada ulil amri (penguasa) (lihat QS an-Nisa‘ [4]: 59). Yang menarik, pesan politik ini merupakan satu rangkaian setelah Nabi saw. memberi pesan tentang shalat, zakat dan haji. Jadi, ada makna politis yang sangat kuat dalam ibadah haji.

Makna politis ibadah haji sesungguhnya tak hanya itu. Masih banyak makna-makna politis lainnya. Seluruh makna politis ibadah haji ini tercakup dalam apa yang disebut “hikmah haji”, yaitu manfaat-manfaat yang dapat dipersaksikan oleh jamaah haji saat mereka menunaikan haji (QS al-Hajj [22]: 28). Ayat ini menunjukkan, dalam ibadah haji kaum Muslimin akan mendapatkan berbagai manfaat yang sangat strategis dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam aspek politik (Ali bin Nayif As-Syahud, Al-Khulashah fi Ahkam al-Hajj wa al-Umrah, hlm.2).


Beberapa Makna Politis Ibadah Haji

Pertama: ibadah haji membangkitkan kesadaran akan persatuan umat. Mereka yang beribadah haji akan merasakan, bahwa umat Islam sesungguhnya adalah umat yang satu. Betapa tidak, jamaah haji akan menyaksikan berkumpulnya umat Islam di seluruh dunia untuk melakukan ibadah yang sama, tanpa mempedulikan lagi batasan nation state, perbedaan suku, warna kulit dan bangsa. Semua itu semestinya mengingatkan jamaah haji akan firman Allah SWT:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا

Berpegangnlah kalian dengan tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai (QS Ali Imran [3]: 103).


Dengan berkumpul dengan sesama saudara Muslim dari seluruh pelosok dunia, jamaah haji akan sadar, bahwa yang mempersatukan mereka hanya satu faktor saja, yaitu agama Allah (Islam). Tak ada faktor pemersatu lainnya, apakah itu suku, warna kulit, bangsa ataupun negara bangsa (nation state).

Kedua: ibadah haji membangkitkan perjuangan menentang penjajahan kafir dan segenap anteknya. Mereka yang beribadah haji dari berbagai negeri Dunia Islam akan saling bertukar informasi dan akhirnya akan dapat saling memahami, bahwa mereka sebenarnya masih hidup dalam penjajahan. Jika dulu penjajahan Belanda berbentuk penjajahan militer, kini bentuknya adalah penjajahan modern, yaitu dominasi Kapitalisme global di segala bidang yang mencengkeram dan menghisap Dunia Islam. Jika dulu pada zaman Belanda penguasa mereka orang-orang kafir, kini setelah merdeka penguasa mereka memang orang-orang Muslim, namun tetap menjadi antek-antek kafir penjajah. Sebab, penguasa mereka telah nyata-nyata menerapkan ideologi penjajah (Kapitalisme-sekularisme) dan melayani kepentingan penjajah. Bercokolnya korporasi asing di Indonesia, seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, dapat menjadi sekadar contoh bagaimana penguasa saat ini hanyalah pelayan kepentingan ekonomi-politik pihak asing. Semua bentuk dominasi kaum kafir atas umat Islam ini jelas tidak dapat diterima, karena telah dilarang Allah SWT (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 141).

Maka dari itu, jamaah haji sudah seharusnya insyaf sehingga ketika pulang makin semangat berjuang untuk menentang penjajahan kafir dan segenap anteknya di dalam negeri sendiri. Hal itu sebagaimana kakek-nenek kita dulu yang pulang dari Mekkah, yang makin berani dan militan menentang Belanda sepulang dari ibadah haji.

Ketiga: ibadah haji meningkatkan ketundukan pada syariah yang makin kuat. Sebab, ketundukan pada syariah adalah bukti dari haji yang mabrur, yang menjadi harapan tertinggi yang pasti diinginkan oleh setiap Muslim yang beribadah haji. Rasulullah saw.:

وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إلاَّ الْجَنَّةُ

Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga (HR al-Bukhari).


Haji mabrur adalah haji yang berpengaruh pada orang yang menunaikannya sehingga dia akan membersihkan jiwanya dari menaati setan, yang mendorongnya untuk menaati Allah SWT pada setiap apa yang Dia perintahkan dan menjauhkan diri dari setiap apa yang Dia larang dan Dia cegah (Faridhah al-Hajj: Dalalat wa ‘Ibar, Al-Waie [Arab], Edisi No. 287-288, Dzulhijjah-Muharram 1432 H, Nopember- Desember, 2010, hlm. 6).

Maka dari itu, jamaah haji semestinya semakin tunduk pada syariah dalam setiap tindak tanduknya. Tentu ketundukan ini tak hanya dalam persoalan ibadah yang bersifat pribadi, seperti shalat, zakat, dan sebagainya; melainkan sudah seharusnya terwujud pula dalam segala aspek kehidupan yang luas, seperti dalam aspek politik dan ekonomi. Sistem demokrasi dan sistem Kapitalisme yang diharamkan Islam jelas harus dijauhi oleh mereka yang hajinya mabrur.

Dalam aspek politik, seorang haji yang mabrur tentu tak akan mau lagi menerima sistem demokrasi kufur yang dipaksakan Barat atas Dunia Islam. Sebab, dengan konsep “kedaulatan rakyat”, demokrasi telah merampas hak menetapkan hukum yang seharusnya menjadi milik Allah semata (lihat QS al-An’am [6]: 57). Hak ini lalu diberikan kepada manusia yang serba lemah dan terbatas. Dalam aspek ekonomi, seorang haji mabrur juga akan menentang sistem ekonomi Kapitalisme dalam wujud neoliberalisme saat ini. Sebab, sistem ini terbukti hanya menguntungkan kaum penjajah kafir (khususnya AS) serta antek-anteknya, yaitu kaum pemodal dan birokrat. Sebaliknya, sistem ini telah nyata menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan pada rakyat banyak.

Keempat: ibadah haji meningkatkan kesadaran akan wajibnya mendirikan Khilafah. Betapa tidak, sebab jamaah haji akan melihat bahwa umat Islam yang berasal dari berbagai negara di Dunia Islam telah berhasil dipecah-belah oleh kafir penjajah menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation state). Padahal mereka adalah umat yang satu yang seharusnya hidup dalam negara yang satu, yaitu negara Khilafah. Nabi saw. sendiri telah menegaskan hal ini dalam Piagam Madinah (Lihat: Shafiyurrahman Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 135; Abul Hasan Ali An-Nadwi, Ma Dza Khasir al-‘Alam bi-[I]nhithath Al-Muslimin, hlm. 176).

Karakter umat yang satu inilah yang menjadi dasar dari adanya negara yang satu (dawlah wahidah), yaitu satu negara Khilafah untuk umat Islam di seluruh dunia. Sebab, tanpa Khilafah, yakni ketika umat masih hidup dalam negara-bangsa hasil rekayasa penjajah seperti saat ini, karakter umat yang satu itu jelas tak mungkin terwujud. Karena itu, Khilafah sebagai institusi pemersatu umat menjadi wajib. Demikian pula perjuangan untuk mendirikan kembali Khilafah setelah kehancurannya tahun 1924, juga wajib.

Dengan demikian, jamaah haji yang dengan matanya sendiri menyaksikan jutaan Muslim saat beribadah haji sudah seharusnya memahami makna politis wajibnya Khilafah. Sebab, hanya dengan Khilafah sajalah, jutaan bahkan miliaran umat Islam seluruh dunia, mulai dari Maroko hingga Merauke, dapat dipersatukan dalam satu negara.

Kelima: ibadah haji meningkatkan semangat pengorbanan. Sebab, mereka yang beribadah haji, telah dilatih untuk melakukan berbagai pengorbanan demi ketaatan kepada Allah SWT. Mereka harus menyisihkan ongkos yang tak sedikit untuk berhaji, harus meninggalkan keluarga dan negerinya dalam jangka waktu yang lama, harus meninggalkan pekerjaannya, harus menempuh perjalanan jauh yang sangat melelahkan, dan melaksanakan berbagai manasik haji yang juga membuat badan kelelahan.

Semua itu jelas harus menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang berhaji. Sudah semestinya semangat pengorbanan mereka semakin meningkat sepulang dari haji. Semakin banyak berkorban memang akan semakin berat dan berisiko. Namun, di balik itu, semakin banyak berkorban berarti semakin banyak pahala-Nya di sisi Allah. Sebuah kaidah fikih menyebutkan:

مَا كانَ أكْثَرَ فِعْلاً كانَ أكْثَرَ فَضْلاً

Apa saja yang lebih banyak susah payahnya akan lebih banyak pahalanya (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mawsu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, IX/71).


Para ulama ushul menyebutkan bahwa kaidah fikih tersebut lahir dari sebuah sabda Rasulullah saw. kepada Aisyah ra.:

أَجْرُكِ عَلىَ قَدْرِ نَصَبِكِ

Pahalamu sesuai dengan susah-payahmu (HR Muslim) (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mawsu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, ibid.).


Karena itu, jamaah haji yang sudah dilatih berkorban dalam ibadah haji sudah semestinya semakin tinggi pengorbanannya dalam perjuangan umat Islam, termasuk dalam perjuangan mengembalikan Khilafah dan persatuan umat Islam.


Mengembalikan Makna Politis Haji

Sayang, banyak faktor yang melemahkan makna-makna politis yang telah dijelaskan tersebut. Faktor-faktor penyebabnya antara lain: Pertama, terjadinya sekularisasi Dunia Islam. Proses ini ternyata telah membuat umat Islam memahami Islam secara parsial, tidak utuh. Islam hanya dipahami sebagai agama ritual yang bersifat pribadi. Islam tidak dipahami sebagai ideologi atau pandangan hidup yang harus terwujud dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akibatnya, jamaah haji yang telah berhaji berkali-kali pun gagal menangkap makna politis wajibnya Khilafah bagi umat Islam. Mereka tampaknya sudah puas dengan negara sekular yang ada, yang memarjinalkan Islam hanya di masjid saja, yang menjauhkan Islam dari kehidupan politik dan kehidupan bernegara. Tentu ini sangat disayangkan. Sudah waktunya umat Islam menyadari bahwa sekularisme yang diajarkan kafir penjajah telah sangat merusak pemahaman mereka akan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Kedua, bercokolnya nation-state dan nasionalisme di Dunia Islam. Fakta ini membuat jamaah haji sulit menangkap makna politis persatuan umat Islam di seluruh Dunia. Konsep nation-state dan nasionalisme yang lahir dari latar belakang sejarah Kristen Eropa, telah memutus total hubungan ideologis antar berbagai bangsa yang sesungguhnya masih sesama umat Islam. Paham nasionalisme yang kufur telah membuat umat Islam bangsa Indonesia merasa berbeda dengan umat Islam bangsa Arab, bangsa Turki, bangsa India, dan sebagainya. Padahal mereka seharusnya sadar bahwa mereka semuanya adalah umat Islam yang satu, walaupun berbeda-beda kebangsaannya. Ikatan kebangsaan yang telah merobek-robek persatuan umat Islam sudah waktunya dicampakkan dan diganti dengan ikatan tali agama Allah (QS Ali Imran [3]: 103) yang mempersatukan umat Islam sebagai satu kesatuan.

Ketiga, posisi Arab Saudi sebagai antek Amerika. Kondisi ini membuat umat Islam kurang bisa menangkap makna politis haji yang strategis, yaitu kewajiban menentang penjajahan kafir dan segenap anteknya. Sebab, mereka akan melihat, bahwa penguasa Saudi yang mengklaim sebagai Khadimul Haramain (Pelayan Dua Tempat Suci) ternyata toh menjalin hubungan akrab dengan Amerika. Kepekaan umat terhadap penjajahan Barat tidak begitu tajam. Padahal semestinya umat sadar, bahwa Amerika adalah musuh umat Islam, bahkan musuh Islam itu sendirinya. Mereka tak hanya membunuh umat Islam, seperti terjadi di Afganistan dan Irak, tetapi juga hendak mengubah ajaran Islam itu sendiri, misalnya ingin menghapuskan ajaran jihad fi sabilillah. Semestinya umat sadar, bahwa penguasa Dunia Islam tiada lain adalah antek-antek kafir penjajah yang sudah saatnya disingkirkan, lalu diganti dengan penguasa muslim yang ikhlas yang akan menerapkan Syariah Islam semata dalam kehidupan bernegara.

Inilah sekilas faktor-faktor yang membuat umat Islam gagal menangkap makna-makna politis ibadah haji. Faktor-faktor ini akan terus ada selama umat Islam masih percaya dan menerapkan sekularisme dan nasionalisme di Dunia Islam, atau selama umat Islam tidak menganggap Amerika dan negara-negara Barat lainnya sebagai penjajah.

Namun, insya Allah semua faktor itu akan hilang tuntas, dengan berdirinya Khilafah. Karena Khilafah itulah yang nanti akan menghancurkan sekularisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Khilafah itu pulalah yang akan mengumumkan jihad fi sabilillah untuk melawan negara-negara kafir penjajah seperti Amerika dan negara-negara Barat lainnya. Wallahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*