HTI

Hiwar (Al Waie)

Muhammad Rahmat Kurnia: Haji: Napak Tilas Perjuangan Nabi saw.

Berbeda dengan dulu yang amat kental nuansa politis dan perjuangannya, kini haji mengalami degradasi yang luar biasa. Yang menonjol dari haji kini hanyalah ibadah ritual belaka. Tak ada pengaruh nyata dalam perbaikan kondisi umat. Padahal dengan menengok kembali ke belakang, meski haji adalah ibadah ritual, ibadah ini dilakukan Baginda Rasulullah saw. sesungguhnya tidak terlepas dari aspek politik dan perjuangan beliau dalam menegakkan agama ini.

Untuk mengetahui sejauh mana makna politis dan perjuangan ibadah haji, khususnya yang tercermin dari ibadah haji yang dilakukan Rasulullah saw., Redaksi berkesempatan mewawancarai Ustadz Haji Muhammad Rahmat Kurnia (DPP HTI). Berikut petikannya (Redaksi).


Dulu ibadah haji memiliki pengaruh bagi perjuangan umat Islam termasuk di negeri ini. Apa benar?

Ya, memang. Ibadah haji yang salah satu pusat aktivitasnya adalah tawaf dan sa’i di Masjid al-Haram Makkah memiliki pengaruh sangat besar dalam perjuangan di Indonesia. Bahkan Orientalis Belanda Snouck Hurgrounye, sebagaimana dikutip dalam buku Politik Islam Hindia Belanda, mengemukakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama Kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.”

Orang yang menunaikan ibadah haji saat itu adalah orang-orang yang benar-benar berjiwa pejuang. Bayangkan, untuk sampai ke sana naik kapal laut yang perlu waktu berbulan-bulan. Orangtua saya pernah menyampaikan, kalau tahallul (potong rambut) saat haji, sampai ke Indonesia sudah panjang lagi.

Imam Masjid al-Haram dulu umumnya merangkap sebagai wali Makkah yang dikenal juga Syarif Makkah. Sekadar menyebut, Abdul Qadir dari Kesultanan Banten tahun 1048 H mendapatkan gelar Sultan Abulmafakir dari Syarif Zaid, Syarif Makkah kala itu. Begitu juga Syarif Makkah pada tahun 1051 H menyematkan gelar sultan kepada Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram dengan gelar Sultan Maulana Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Begitu juga pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Islam Samudera Pasai Darussalam oleh utusan Syarif Makkah. Biasanya Imam tersebut memberikan gelar sultan’ disertai dengan memberikan bingkisan yang dikenal dengan istilah “kiswah Ka’bah” sebagai cindera mata. Jadi, keberadaan kesultanan-kesultanan Islam yang kelak juga melahirkan banyak ulama dan pejuang tidak bisa dilepaskan dari Makkah. Momentum hubungan penganugerahan gelar sultan ini biasanya dengan pada momentum ibadah haji. Jelas, ibadah haji dulu sarat dengan nuansa perjuangan Islam.


Sekarang apakah pengaruh itu masih ada dan nyata?

Pengaruh tersebut masih ada sekalipun sangat berbeda dibandingkan dengan dulu. Bahkan saat saya berkesempatan menunaikan haji ada pemandangan yang membuat hati saya tersayat. Berangkat mau naik haji, tapi yang dilakukan di sana lebih merupakan piknik, belanja atau numpang tidur saja. Penghayatan terhadap wukuf, mabit di masy’aril haram (Muzdalifah), melempar jamarat, dll hampa dari sebuah makna perjuangan. Tidak aneh bila sepulangnya ke Tanah Air, pengaruh haji tersebut nyaris tak berbekas.


Sepertinya saat ini ibadah haji telah menjadi sebatas ritual semata?

Memang benar, saat sekarang umumnya pengaruh tersebut sebatas ritual belaka; bahkan sekadar untuk status sosial, simbol. Coba perhatikan, banyak terjadi seseorang baru menunaikan haji pada saat momentum mau ikut mencalonkan dalam Pemilu atau Pilkada. Lalu ketika mau mendulang suara gelar ‘H’ atau ‘Hj’ dipakai kemana-mana. Padahal perilakunya jauh dari nilai-nilai haji. Hal ini ditunjukkan juga dengan ungkapan, “Saya juga sudah haji lho,” ketika dinyatakan bahwa dia anti perjuangan Islam. Yang harus dicegah adalah ibadah haji diubah menjadi ‘wisata haji’. Ketika bimbingan haji pun yang banyak diajarkan kebanyakan hafalan doa-doa dan sedikit praktik manasik. Mestinya yang dominan adalah makna ibadah haji itu sendiri sehingga sesampainya di sana benar-benar untuk menunaikan haji, bukan yang lain.


Apa yang menyebabkan terjadinya degradasi pengaruh ibadah haji seperti itu?

Saya lihat ada beberapa faktor. Pertama: pemahaman. Tidak jarang jamaah haji tidak paham tentang hakikat dan makna haji. Haji dipandang sebatas gerakan dan ritual belaka. Kadang ada yang sekadar berfoto-foto. Kedua: ada paham sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan. Haji didudukkan sebagai ibadah ritual sehingga tidak boleh sekaligus dijadikan sebagai momentum konferensi internasional umat Islam. Bayangkan, kalau dalam khuthbah saat wukuf atau saat ‘Idul Adha disampaikan persoalan umat Islam kekinian, niscaya dampaknya akan dahsyat. Sayang, saat ini tidak terjadi.


Apakah ini di antara akibat sekularisme?

Saya pikir ada juga pengaruh itu. Bahkan saya khawatir gejala yang ada mengarah pada kapitalisasi haji. Ada kabar bahwa di suatu daerah ada jatah haji bagi anggota DPRD. Namun, sebenarnya mereka tidak berangkat. Akhirnya, quota tersebut mereka jual kepada orang yang ingin segera naik haji.


Bukankah sebagai ibadah, haji itu memang harus dimaknai secara ruhiah saja?

Kalau ruhiah yang dimaksud adalah idrak shilah billah (kesadaran akan hubungan dengan Allah SWT) benar. Namun, bila ruhiah dimaknai sebagai spiritual tidak tepat. Sebab, banyak sekali aspek-aspek lain yang terkandung dalam haji. Sebagai contoh, haji adalah prosesi penyatuan umat Islam sedunia. Semua warna kulit ada. Berbagai bahasa menyatu. Tidak ada aktivitas apa pun yang dapat menyatukan jutaan orang dari berbagai dunia, di tempat yang sama, pada saat yang sama dan menghadap Rabb yang sama, selain ibadah haji. Bukankah ini aspek persatuan? Aspek politik? Sayang, prosesi ibadah haji saat ini adalah ibadah haji tanpa pemimpin. Yang ada amir hajj masing-masing negara!

Simaklah khutbah Nabi saw. dalam Haji Wada’. Di sana bukan sekadar aspek ritual. Dalam khutbah tersebut beliau menyampaikan: ‘darah (jiwa) dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian’ (jinayat); merobohkan pilar ekonomi riba dengan menyatakan ‘semua macam riba terlarang’ (sistem ekonomi/nizham iqtishadiy); berbicara tentang aturan kehidupan suami-istri (ijtima’i); menyampaikan tentang kepemilikan harta, dsb.


Lalu bolehkah ibadah haji diisi dengan makna selain ruhiah seperti dari aspek politik dan perjuangan?

Justru aspek politik dan perjuangan itu dasarnya harus ruhiah. Makna ibadah haji harus diimplementasikan dalam bidang politik dan menjadi ruh perjuangan. Seluruh prosesi ibadah haji sarat dengan perjuangan! Siapapun yang pernah menunaikan haji dengan sebenar-benarnya dan menghayati sepenuh hatinya akan menemukan bahwa haji adalah perjuangan. Ingat juga, ayat bahwa agama ini telah disempurnakan turun saat Haji Wada’. Pada saat Perjanjian Hudaibiyah momentumnya adalah umrah. Ketika futuh Makkah beliau mengumpulkan masyarakat di sekitar Ka’bah dan Bilal mengumandangkan azan kemenangan dari atas Ka’bah. Rasulullah saw. mengumandangkan perjuangan dalam haji ini. Lihatlah di tempat melempar jumrah ada yang namanya ‘Aqabah. Itu adalah tempat Nabi saw. melakukan Bai’atul ‘Aqabah dari para pemimpin Madinah yang mendukung dakwah Islam. Bahkan semasa masih di Makkah, Rasulullah saw. mendatangi para pemimpin kabilah untuk mendakwahkan Islam pada saat musim haji.


Apakah itu tidak akan mengotori ibadah haji itu sendiri?

Kalau memang mengotori ibadah pasti Rasulullah saw. tidak akan melakukannya.


Seperti apa memaknai ibadah haji dari aspek politik dan perjuangan itu?

Pertama: ibadah haji mengajarkan bahwa manusia itu sama. Pembedanya hanyalah ketakwaan. Kedua: ibadah haji meniscayakan persatuan umat Islam. Seluruh umat Islam sedunia bersatu saat ibadah haji. Mestinya persatuan tersebut bukan hanya sekadar saat ibadah haji, tetapi bersatu dalam segenap aspek kehidupan. Ketiga: menjadikan momentum ibadah haji sebagai konferensi internasional umat Islam (muktamar umat Islam) yang menyerukan berbagai solusi bagi dunia. Ini adalah bukti nyata persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah) menembus batas negara-bangsa (nation state). Persaudaraan Islam adalah persaudaraan global tanpa sekat. Keempat: butir lima tidak mungkin dilakukan kalau umat Islam tidak benar-benar bersatu dalam satu kepemimpinan. Jadi, perlu semakin mengokohkan perjuangan menegakkan Khilafah sebagai wujud nyata dari kesatuan kepemimpinan tersebut. Lupakan semua atribut kedaerahan atau kebangsaan, kibarkan satu panji Islam. Kelima: jadikan ibadah haji sebagai perjalanan napak tilas perjuangan Rasulullah saw. Keenam: hayati setiap proses ibadah haji, lakukakan sepenuh hati niscaya akan terasa sesuatu yang luar biasa; nilai perjuangan yang berlandaskan tauhid. Lalu, seusai menunaikan ibadah haji, implementasikan nilai haji tersebut. Salah satu hal yang sangat penting adalah mewujudkan persatuan umat Islam sedunia dalam Khilafah. Jadi, sepulang ibadah haji, jadilah pejuang Islam. Last but not least, berdoalah pada saat ijabah di ‘Arafah, Multazam, Maqam Ibrahim, dan tempat/waktu mustajab lainnya bukan sekadar untuk kebaikan sendiri melainkan juga untuk kebaikan umat dan kemenangan dakwah Islam.


Apa yang harus dilakukan untuk membuat ibadah haji kembali seperti dulu?

Banyak faktor yang perlu diperbaiki. Secara individual, perlu ada penajaman pemahaman tentang makna haji itu sendiri. Ibadah haji adalah ibadah fisik yang penuh dengan perjuangan. Secara kelompok, perlu secara masif memberikan pencerahan bahwa ibadah haji itu untuk menapak tilas perjuangan Rasulullah saw. Negara harus memiliki visi dan misi untuk menjadikan ibadah haji ini sebagai momentum dan muktamar internasional tahunan umat Islam yang dipimpin oleh seorang pemimpin kaum Muslim. Di sini penting adanya Khilafah. Sebab, tanpa Khalifah sebagai pemimpin hal tersebut tidak akan dapat terlaksana. Kalaupun dapat dijalankan tidak akan lebih dari sekadar simbol saja. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*