Beberapa waktu lalu datang kepada saya Dr. Asfa Widiyanto untuk wawancara penelitian Post Doctoral di Universitas Marburg, Jerman. Di antaranya ia ingin meneliti bagaimana pandangan HTI terhadap konsepsi negara dan tentang pendapat beberapa tokoh ormas Islam yang mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara Islam.
Memang, beberapa waktu terakhir ini ada beberapa tokoh Islam yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Islam. Menurut mereka, sejak sebelum Indonesia merdeka, lalu merdeka hingga saat ini Indonesia sesungguhnya sudah merupakan Negara Islam. Setiap negeri yang dikuasai oleh umat Islam, berpenduduk mayoritas Islam, dipimpin oleh orang Islam, lalu umat Islam dengan bebas melaksanakan ibadahnya, maka itu sudah dikategorikan sebagai Negara Islam. Ada lagi yang menyatakan bahwa Indonesia memang bukan Negara Islam, tapi juga bukan negara kafir. Menurut dia, Indonesia adalah Darussalam.
++++
Saya mengatakan kepada dia, bahwa labelling atau penyebutan “Islam” dalam penamaan berbagai hal seperti sekolah (Sekolah Islam), bank (Bank Islam) atau negara (Negara Islam), dalam kondisi normal (saat umat hidup dalam sistem Islam) sesungguhnya tidaklah diperlukan, karena semua yang ada dalam kondisi itu pastilah islami. Namun, dalam kondisi tidak normal seperti sekarang ini, labelling memang menjadi perlu sebagai identifikasi atau pembeda dari sesuatu yang bukan Islam. Labelling tentu tidak hanya sekadar menambahi kata “Islam”, tetapi sebagaimana sebuah istilah, ia mestinya mewakili substansi dari sebuah gagasan atau konsepsi. Karena itu, saya mengatakan bahwa kita juga tidak boleh mengatakan bahwa itu sekadar labelling atau istilah. Bagaimanapun, istilah itu tetaplah penting, karena bangunan sebuah konsepsi disusun oleh sejumlah istilah. Beda istilah mestinya mewakili konsepsi yang juga berbeda.
Misalnya soal istilah khalifah. Dalam berbagai kesempatan, ada saja audien yang bertanya kepada saya, apakah harus menggunakan istilah khalifah. Bolehkah, misalnya, kepala negara dalam Islam diganti dengan sebutan presiden? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya mengatakan, bagaimana kalau dibalik. Bagaimana kalau Presiden Indonesia kita panggil Khalifah SBY, maukah dia? Tentu tidak. Mengapa? Karena substansi dari istilah presiden tidaklah sama dengan substansi dari istilah khalifah.
Tentang istilah Negara Islam (ad-Dawlah al-Islamiyyah), memang itu tidak ada dalam al-Quran dan as-Sunnah. Sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz Hafidz Abdurrahman dalam tulisannya untuk jurnal al-Wa’ie, istilah dawlah adalah istilah yang diambil dari khazanah di luar Islam. Awalnya digunakan oleh para filosof Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Umat Islam baru berinteraksi dengan filsafat Yunani ketika mereka menaklukkan Mesir dan Syam pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab. Saat itu, istilah dawlah juga belum digunakan. Baru setelah buku-buku filsafat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Khilafah Abbasiyah, mulailah istilah dawlah dikenal oleh kaum Muslim. Istilah itu dipakai sebagai terjemahan kata state, yang digunakan oleh Plato maupun Aristoteles dalam buku mereka.
Untuk menghindari salah pengertian, para ulama saat itu, ketika menggunakan kata dawlah, menambahkan kata islamiyyah di belakangnya. Sejak itu mulailah frasa ad-Dawlah al-Islamiyyah digunakan. Namun, satu hal yang harus diingat, istilah ad-Dawlah al-Islamiyyah saat itu digunakan tidak lain adalah untuk menyebut Khilafah. Ini bisa dilacak pada tulisan Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H), dalam kitab al-Imamah wa as-Siyasah yang dia tulis pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Boleh dikatakan, Ibn Qutaibahlah ulama yang pertama kali menggunakan istilah ad-Dawlah al-Islamiyyah sebagai padanan dari istilah Khilafah.
Istilah Khilafah jelas sekali disebut oleh Nabi saw. dalam beberapa haditsnya. Nabi saw., misalnya, menyatakan, “Dulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Saat seorang nabi wafat, nabi lain menggantikannya. Namun, tidak ada seorang nabi pun setelah aku. Yang akan ada adalah para khalifah.” (HR al-Bukhari).
Ini membuktikan bahwa istilah Khilafah dan Khalifah itu ada. Keduanya merupakan istilah syariah—sebagaimana shalat, zakat, jihad dan haji—untuk menyebut negara dengan konteks dan konotasi yang khas. Konteks dan konotasi Khilafah itu tak lain adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia yang dibangun berdasarkan akidah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Lalu apakah Indonesia ini termasuk Negara Islam atau bukan, tentu semua berpulang pada definisi dan kriteria yang digunakan. Bila Negara Islam adalah negara yang berdiri atas dasar Islam, sistem yang digunakan bersumber dari ajaran Islam dan tolok ukur yang digunakan adalah halal dan haram, tentu Indonesia bukanlah Negara Islam. Bila kita menyebut Indonesia sebagai Negara Islam pasti akan dipersalahkan oleh banyak pihak karena secara formal konstitusional memang tidak pernah dinyatakan seperti itu. Oleh karena itu, agak aneh memaksakan penyebutan Negara Islam terhadap negara yang nyata-nyata memang bukan Negara Islam.
++++
Kontroversi seputar Negara Islam, apakah ada atau tidak dan bagaimana konsepnya, mungkin akan terus berlanjut. Sampai kapan? Allahu a’lam. Namun, sering saya katakan, soal Negara Islam sebagian merupakan soal konsepsi yang tentu tidak akan lepas dari perbedaan pendapat, dan sebagian lagi adalah soal perjuangan untuk mewujudkan gagasan itu. Bila gagasan itu terwujud, tentu kontroversi akan berhenti dengan sendirinya. Dulu pada tahun 1928 atau tahun 1945 ada banyak diskusi tentang negara yang akan dibentuk, apakah perlu atau tidak. Namun, setelah Indonesia merdeka, masihkah kontroversi itu terjadi? Tidak. Begitulah kiranya nanti setelah Khilafah tegak. Kontroversi itu pasti akan berhenti. Orang-orang sebelumnya sangat menentang, tanpa malu hati pasti akan turut menikmati indahnya hidup dalam masyarakat yang Islami dalam Daulah Khilafah ar-Rasyidah yang sudah lama dinanti… []