HTI

Iqtishadiyah

Perang Demi Minyak

Ketika keterlibatan militer asing, Perancis, dan NATO dituduh oleh publik internasional memiliki misi tersembunyi—yaitu memperebutkan cadangan minyak di Libya—Jean Christophe Peaucelle, Wakil Direktur Afrika Utara dan Timur Tengah di Kementerian Luar Negeri Perancis, menegaskan, dunia tidak perlu meragukan kemurnian misi Perancis itu. “Perancis terlibat karena ingin melindungi rakyat sipil Libya dari kekejaman loyalis Khadafy.” Bahkan Peaucelle menegaskan, tidak ada motif politik dan ekonomi, kecuali misi kemanusiaan, agar tidak semakin banyak darah rakyat membasahi Tanah Libya.

Belakangan, semakin jelas bahwa motivasi utama intervensi asing itu adalah memperebutkan minyak. Libya adalah salah satu negara penghasil minyak yang menyumbang 3,5 persen sumber minyak global. Menurut Oil dan Gas Journal, Libya menyimpan 46,4 persen cadangan minyak Afrika. Profesor Michel Chossudovsky dari Center for Reasearch on Globalization mengatakan, operasi militer asing di Libya adalah perang demi minyak. Hal ini terbukti, bersamaan dengan masuknya pasukan revolusioner Libya ke Ibukota dan kemungkinan jatuhnya Tripoli ke tangan rakyat anti Muammar Gaddafi, negara-negara Barat mulai menata strateginya untuk menguras minyak dan gas negara ini. Juru bicara perusahaan Total Perancis mengatakan bahwa perusahaannya mengikuti dengan cermat transformasi di Libya untuk memulai produksi minyak di negara ini. Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini menandaskan saat ini perusahaan minyak Italia, ENI tengah menggalang kerjasama dengan kubu oposisi Libya untuk mengoperasikan kembali kilang-kilang minyak negara ini. British Petroleum (BP), perusahaan Inggris, juga menyatakan, “Ketika para pejabat Dewan Transisi Nasional Libya memberi kita lampu hijau maka BP akan memulai aktivitasnya di Tripoli (IRIB, 30/8/2011).

Di bagian lain, Associated Press juga menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat berharap dapat ikut berpartisipasi di sektor minyak dan sumber-sumber alam serta berbagai peluang yang tersedia di Libya. Dalam hal ini, McCain mengatakan, “Saya percaya bahwa para investor Amerika sangat berminat untuk berinvestasi di Libya, dan kami berharap dan percaya kami akan memiliki peluang tersebut.”


Pesta-Pora Perusahaan Asing

Sesungguhnya perang yang disponsori oleh Negara Barat Imperialis di beberapa negara selalu ada motivasi ekonomi atau minyak di baliknya. Isu demokratisasi, menjaga stabilitas keamanan dan yang lainnya hanyalah alasan klise. Faktanya, seperti yang terjadi di Afganistan setelah 10 tahun AS dan Sekutu bercokol, alih-alih mampu menjaga keamanan negara yang porak-poranda akibat perang, AS dan negara-negara Barat justru meningkatkan instabilitas Afganistan sambil menjarah kekayaan alamnya. Hal ini terbukti pasca perang, perusahaan-perusahaan non-militer AS pun ikut hadir di meja yang menyajikan pesta-pora merenggut kekayaan rakyat Irak dan ikut pula menikmati bagian yang tidak kecil dalam bentuk proyek dan kontrak-kontrak bisnis. Berdasarkan Laporan Pusat Integritas Publik pada 2003 lalu, lebih dari 70 perusahaan dan perorangan Amerika telah memenangkan kontrak bernilai hampir 8 miliar dolar pasca Perang Irak dan Afganistan. Di antara perusahaan yang mendapat proyek tersebut adalah:

1. Science Application International Corporation (SAIC). Nilai kontrak yang SAIC dapatkan di Irak dan Afganistan untuk 2002-2003 senilai 38 juta dolar untuk menjalankan proyek Irak Media Network (IMN), dengan tujuan untuk membangun kembali media massa di Irak.

2. Fluor Corporation, perusahaan perancang dan konstruksi internasional. Nilai kontrak yang didapat dalam rekonstruksi Irak dan Afganistan sebesar 500 juta dolar. Proyek yang harus mereka tangani adalah jasa rancangan dan konstruksi sesuai kebutuhan di mana pun bagi Pusat Komando militer Amerika, antara lain jasa perbaikan infrastruktur listrik di Irak tengah dan Selatan.

3. DynCorp. Perusahaan ini berhasil memenangkan kontrak 50 juta dolar untuk melatih polisi dan personel keamanan di Irak.

4. Vinnel Corporation. Vinnel memenangkan kontrak senilai 48 juta dolar untuk melatih tentara Irak yang baru.

5. Bechtel Group. Bechtel memenangkan kontrak senilai satu miliar dolar untuk membangun fasilitas pembangkit tenaga listrik, jaringan kabel listrik, sistem pengairan dan selokan, serta fasilitas bandara.

6. Washington Group International. Perusahaan perancang dan konstruksi Washington ini berhasil memenangkan kontrak senilai 500 juta dolar untuk pemulihan listrik, pembangunan jalan, serta penghancuran senjata dan infrastruktur senjata di Irak dan Afganistan.

7. Berkat invasi militer Amerika ke Irak, Halliburton berhasil meraup keuntungan bisnis sebesar lebih dari 5 miliar dolar dari pemerintah AS selama Perang Irak terhitung sejak Januari 2004. Bahkan Halliburton mendapat perolehan bisnis lebih besar lagi melalui kontrak eksklusif dengan Korps Insinyur Angkatan Bersenjata AS guna merehabilitasi sumur-sumur minyak di Irak dengan nilai kontrak sebesar 7 miliar dolar untuk memadamkan api di sumur-sumur minyak Irak (Sumber: The Global-Review [Tim Riset Global Future Institute (GFI)]


Perang: Strategi Menguasai Minyak

Saat ini penjajahan ekonomi dan politik yang dilakukan negara-negara Barat terhadap daerah jajahannya dilakukan dengan menggunakan dua jenis pendekatan: soft power dan hard power. Pendekatan soft power lebih ditujukan untuk mengubah persepsi Dunia Islam terhadap Islam dan syariahnya melalui perang pemikiran (al-ghazwu al-fikri). Tujuannya adalah agar umat Islam menerima secara taken for granted (tawqîfi) apa yang dikehendaki Barat atas mereka. Dengan kalimat lain, Barat memerlukan penerimaan Dunia Islam secara utuh atas upayanya menguasai sumber-sumber ekonomi dunia dan menancapkan ideologi Kapitalisme-nya secara kukuh.

Adapun pendekatan hard power dilakukan oleh Barat dengan menggunakan keunggulan teknologi militernya sebagai modal untuk ‘menanamkan investasinya’ di Dunia Islam. Pendekatan hard power inilah yang sebenarnya harus ditafsirkan oleh publik Muslim sebagai bentuk penjajahan meski pemerintahan AS mempropagandakan tindakannya tersebut atas nama war on terror, war againsts terrorism, atau pre-emptive strike (serangan mendahului).

Pendekatan hard power dilakukan melalui perang baik atas inisiatif negara-negara kapitalis tersebut, menciptakan konflik ataupun melalui intervensi yang mereka lakukan atas krisis politik yang terjadi di sebuah Negara, seperti keterlibatan AS dalam konflik di Libya saat ini. Dengan bermodal kecanggihan persenjataan yang dimiliki dan dengan memanfaatkan konflik yang tak pernah berhenti di Timur Tengah, AS lalu mencaplok ladang-ladang minyak di negara-negara yang sedang berkonflik. Walaupun ladang-ladang minyak tersebut berada di wilayah negara lain, sesungguhnya AS dan negara-negara Baratlah yang memiliki semua itu. Dengan memanfaatkan resolusi-resolusi PBB, demokrasi, HAM dan alasan-alasan yang dibuat sendiri, AS bersama sekutu-sekutunya yang tergabung dalam pasukan koalisi, dengan begitu percaya diri tanpa menghiraukan seruan internasional, menyerang negara-negara yang pemimpin-pemimpinnya mulai kurang disukai rakyat. Padahal tujuan utama invasi AS ke negara-negara yang tengah berkonflik tidak lain adalah mencari sumber minyak baru. Kini ladang-ladang minyak AS sudah tersebar di beberapa negara di Timur Tengah. Di Kuwait, untuk mendapatkan minyak sebagai rasa terima kasih, AS memanfaatkan invasi Irak ke Kuwait yang dilakukan Saddam Husein. Di Irak, senjata pemusnah massal dijadikan alasan menyingkirkan Saddam Husein yang kala itu mulai kurang disukai sebagian rakyat Irak. Dunia tahu tak ditemukan senjata pemusnah massal di Irak, sebab memang minyaklah tujuan utamanya. Kini AS dan sekutunya sedang menggali ladang minyak baru di Libya, atau paling tidak di Libya bagian timur yang sudah dikuasai pihak oposisi yang menentang Khadafy, dengan Benghazi sebagai pusat kota.


Hubungan Politisi dengan Para Perusahaan Minyak

Laporan Pusat Integritas Publik menyebutkan Pemerintahan George W. Bush memiliki hubungan dengan beberapa perusahaan besar yang kelak terbukti mendapat untung besar pasca Perang Irak. Dick Cheney, Wakil Presiden Amerika dan orang kuat kedua setelah Bush, merupakan mantan CEO Halliburton, perusahaan jasa minyak terbesar di dunia. Condoleezza Rice, mantan Penasihat Keamanan Nasional dan Menteri Luar Negeri, tercatat pernah menjadi anggota direksi Chevron, sebuah perusahaan minyak besar Amerika berskala dunia. Lalu ada Menteri Perdagangan Don Evans dikenal luas sebagai mantan CEO dan direktur Tom Browns Inc, sebuah perusahaan minyak dan gas senilai miliaran dolar. Kemudian ada Andrew Card, Kepala Staf Gedung Putih semasa kepresidenan Bush; ia adalah mantan kepala pelobi General Motors.

Sisi yang paling mencurigakan dari kasus Pengeboman Gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2001, ternyata aksi teror tersebut bersamaan waktunya dengan digelarnya pertemuan ekslusif Carlyle Group. Carlyle Group merupakan perusahaan induk yang bergerak dalam investasi swasta dan para tokohnya telah menyebar baik di jajaran pemerintahan Washington maupun Saudi Arabia. Berarti, dalam tataran bisnis telah terjadi kolusi dan konspirasi untuk menguasai Irak dan Afganistan secara geopolitik dan geostrategis.

Yang lebih menarik lagi, ternyata keluarga Bin Laden merupakan salah satu investor utama Carlyle Group. Maka dari itu, ketika diadakan investigasi dan penyelidikan seputar aksi terorisme pada 11 September 2001, sempat terungkap adanya kemungkinan hubungan beberapa jaringan Saudi Arabia dalam pengeboman Gedung WTC dan Pentagon. Keluarga Bin Laden dan Bush ternyata memiliki hubungan erat. Begitu eratnya hingga keluarga Bin Laden bisa menerobos larangan terbang bagi seluruh pesawat, tanpa kecuali, sesaat setelah Peristiwa 11 September 2001. Peristiwa itu ditulis oleh Craig Unger, penulis Amerika, dalam bukunya, House of Bush, House of Saud The Secret Relationship Between the World’s Two Most Powerful Dynasties. Craig Unger menulis, segera setelah 11 September 2001 otoritas penerbangan sipil Amerika (FAA) memutuskan untuk melarang semua penerbangan sipil di langit Amerika. Larangan itu tanpa kecuali. Ada satu pesawat carter yang mencoba melanggar larangan itu, namun segera dipaksa turun oleh dua pesawat tempur Amerika. Bahkan satu pesawat medis yang di dalamnya berisi jantung untuk dicangkokan ke seorang pasien dipaksa mendarat oleh pesawat militer, padahal jantung akan segera membusuk jika tidak segera ditangani oleh dokter. Namun, larangan itu tak berlaku untuk keluarga Bin Laden dan keluarga Kerajaan Saudi yang dikomandani oleh Duta Besar Saudi untuk Amerika, Pangeran Bandar bin Sultan Abdul Azis. [Dr. Arim Nasim, M.Si. Ak.]

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam-FPEB Universitas Pendidikan Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*