Kata radikal berasal dari kata radix yang dalam bahasa Latin artinya akar. Dalam kamus, kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I, 2008).
Dalam pengertian ini, jelas kata radikal sebetulnya bersifat ’netral’. Ia bisa disematkan untuk hal yang positif ataupun negatif. Positif-negatif istilah radikal tentu bergantung pada fakta: dengan kata apa istilah tersebut dipasangkan. Jika pasangan katanya positif, harusnya frasa yang dihasilkan juga positif. Jika pasangan katanya negatif, tentu frasa yang dihasilkan juga negatif. Jika mengacu pada definisi radikal sesuai kamus di atas, ’Muslim radikal’, misalnya, berarti Muslim yang sangat memegang prinsip (keyakinan) Islam, yang keras menuntut perubahan (tentu perubahan ke arah Islam), serta maju dalam berpikir dalam bertindak (secara islami). Salahkah sikap demikian? Tentu tidak. Bahkan inilah yang seharusnya ditunjukkan oleh setiap orang yang mengaku Muslim.
Bagaimana dengan ’koruptor radikal’? Jika mengacu pada definisi radikal sesuai dengan kamus di atas, ’koruptor radikal’ berarti mereka yang memegang teguh prinsip korupsi, menuntut secara keras perubahan (tentu ke arah sistem yang korup), serta berpikir dan bertindak maju dalam hal korupsi.
’Koruptor radikal’ saat ini sudah lama ’bergentayangan’ di negeri ini. Banyak di antara pejabat negara atau para anggota wakil rakyat yang benar-benar memegang teguh prinsip korupsi. Mereka pun menghendaki agar sistem pemerintahan dan perundang-undangan tetap memberikan peluang bagi mereka untuk korupsi. Karena itu, mereka akan selalu berada di garda terdepan dalam mendukung sistem demokrasi. Sebab, hanya dalam sistem demokrasilah dimungkinkan adanya ruang korupsi yang leluasa bagi mereka. Buktinya, sekadar contoh, mayoritas kepala daerah saat ini telah menjadi tersangka kasus korupsi. Mereka ini tentu dipilih secara langsung lewat mekanisme demokrasi. Hanya dalam sistem demokrasi pula mereka bisa dengan mudah melenggang bebas dari jeratan kasus-kasus korupsi yang mereka lakukan. Buktinya, banyak di antara para koruptor itu yang tidak tersentuh hukum. Kalaupun mereka menjadi tersangka, terdakwa atau bahkan sudah divonis bersalah, mereka bisa dengan mudah bebas. Kalaupun mereka dipenjara, mereka tetap bisa mendapat fasilitas istimewa, bahkan bisa tetap keluar-masuk menghirup udara segar meski mereka berstatus sebagai tahanan.
Para koruptor itu pun menghendaki, kalau bisa, UU yang ada tidak boleh menghalangi mereka untuk korupsi. Bahkan kalau mungkin, tidak perlu ada lembaga anti korupsi semacam KPK karena itu akan mengancam mereka. Wacana pembubaran KPK akhir-akhir ini membuktikan hal itu.
Mereka ini juga termasuk yang cukup maju dalam berpikir dan bertindak, tentu dalam hal korupsi. Akibatnya, korupsi tidak lagi tampak sebagai hal yang ilegal, karena telah dilegalkan oleh UU yang mereka buat. Pada akhirnya, gaji besar, tunjangan yang tinggi, fasilitas yang mewah dan biaya pelesiran yang selangit—tentu di tengah kemiskinan puluhan juta rakyatnya—tidak dipandang sebagai korupsi karena memang dijamin UU. Mark-up anggaran juga hal yang biasa dan tidak dianggap korupsi jika tidak bertentangan dengan UU. Ya, cara mereka berpikir dan bertindak dalam hal korupsi memang amat maju. Mereka memang layak disebut ’koruptor radikal’. Padahal menjadi koruptor saja haram, apalagi ’koruptor radikal’. Karena itu, saat ini negeri ini sebetulnya lebih membutuhkan proyek ’deradikalisasi koruptor’—agar mereka kapok korupsi—ketimbang deradikalisasi yang menyasar para pejuang syariah dan Khilafah atas nama Perang Melawan Terorisme.
Lalu bagaimana dengan ’sekularis radikal’? Sekularis (pengusung paham sekularisme) tidak lain adalah mereka yang menolak peran agama (syariah) dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Mereka percaya bahwa agama (Islam) hanya layak mengatur urusan ritual, spiritual atau moral belaka; tidak boleh mengatur urusan pemerintahan, politik, ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dll. Karena itu, lagi-lagi jika mengacu pada definisi radikal sesuai kamus di atas, maka ’sekularis radikal’ adalah siapa saja yang memegang teguh prinsip sekularisme, yang mempertahankan secara keras sekularisme, serta yang berpikir dan bertindak maju dengan paham sekularismenya. Jika dia penganut Kristen, Budha, Hindu, dan lain-lain, sikap demikian tentu wajar belaka. Sebab, agama-agama tersebut memang hanya mengatur urusan ritual, spiritual dan moral belaka. Di sisi lain, mereka tetap membutuhkan pengaturan kehidupan ekonomi, politik, pemerintahan, sosial-budaya, dsb; yang tentu tidak disediakan oleh agama mereka. Dalam ajaran agama mereka tidak dikenal ’sistem pemerintahan Kristen’, atau ’sistem politik Budha’, atau ’sistem pemerintahan Hindu’, dst. Karena itu, jika para penganut non-Islam tersebut menjadi ’sekularis radikal’ dengan mengambil ideologi dan sistem Kapitalisme, maka klop-lah.
Lalu bagaimana jika itu malah dipraktikkan juga oleh seorang Muslim sehingga ia pun menjadi ’sekularis radikal’? Tentu saja salah besar! Menjadi sekularis saja haram, apalagi ’sekularis radikal’. Sebab, Islam adalah agama sekaligus ideologi. Islam mengatur semua aspek kehidupan. Islam mengatur masalah ritual, spiritual dan moral. Islam juga mengatur urusan pemerintahan, politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan, dll. Karena itu, aneh jika ada Muslim, apalagi tokoh Islam, yang tidak mendukung (bahkan menolak dengan keras) penerapan syariah Islam dalam negara sembari menganggap bahwa negara ini—yang nyata-nyata mengadopsi ideologi dan sistem Kapitalisme—sudah final bagi umat Islam. Mereka pun, sebagaimana Barat yang kafir, menuduh para pengusung syariah dan Khilafah sebagai ’Muslim radikal’. Sebaliknya, mereka mengklaim sebagai ’Muslim moderat’. Padahal ’Muslim moderat’—jika memang menolak syariah dan Khilafah—hakikatnya radikal juga, yakni ’sekularis radikal’. Karena itu, lagi-lagi yang lebih dibutuhkan negeri ini sesungguhnya adalah proyek ’deradikalisasi’ yang menyasar kaum ’sekularis radikal’ ini. Tujuannya tentu agar mereka bisa mengubah pandangannya yang sekular menjadi islami. Dengan itu, diharapkan mereka bukan hanya mendukung penerapan syariah dan Khilafah, tetapi bahkan mau terlibat bersama-sama dalam mewujudkannya di negeri ini khususnya, dan di Dunia Islam umumnya. Mari kita doakan mereka!
Wama tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]