Undang-Undang Perkawinan no. 1 Tahun 1974 (UU-P no. 1/1974) tak pernah sepi dari kritik. Kelompok liberal aktif menuntut revisi UU-P. Tim PUG Depag pada tahun 2004 pernah mengeluarkan CLD-KHI (Counter Legal Draft – Kompilasi Hukum Islam). LBH APIK dan Kowani masing-masing mengajukan draft revisi UU tersebut. Belum lagi sejumlah LSM serta tokoh pegiat jender, HAM dan demokrasi lainnya.
Di mata mereka, UU-P ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakat, semisal adanya fenomena perempuan kepala keluarga (Pekka) yang belum diatur dalam UU-P. Beberapa pasalnya juga dipandang diskriminatif terhadap perempuan dan sudah tidak sejalan dengan konvensi internasional kekinian. Pasal-pasalnya juga dianggap bertentangan dengan beberapa UU yang lahir sesudahnya seperti UU no. 7/1984 terkait ratifikasi konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, UU no. 39/1999 tentang HAM, UU-PA (Perlindungan Anak no. 23/2002), terkait batas usia perkawinan dan UU PKDRT no. 23 /2004.
Mereka juga beranggapan bahwa UU ini terlalu pro pada satu agama dan tidak memperhatikan penganut agama lain. UU ini tidak mengatur hak asasi seluruh manusia dan terlalu kental aroma syariah Islamnya dan tidak sejalan dengan paham pluralisme, HAM dan semangat keadilan. Karena itu, UU tersebut urgen untuk segera direvisi.
Beberapa pasal yang sering mereka kritisi adalah yang mengakomodasi hukum Islam. Di antaranya adalah pasal 2 ayat 1 yang menyatakan perkawinan sah adalah pasangan yang seagama. Lantas menurut mereka bagaimana dengan pasangan yang tidak seagama? Kemudian pasal 3, 4 dan 5 yang mengatur pelaksanaan poligami. Inginnya pasal tersebut dihapuskan (versi LBH APIK) karena poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan.
Pasal 7 yang membedakan usia pernikahan antara laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun dipandang bias jender selain bertentangan dengan UU-PA (UU Perlindungan Anak) yang mengatur bahwa usia anak adalah 18 tahun. Dalam hal ini UU-P bisa dikategorikan melegitimasi pernikahan anak-anak menurut wacana terakhir HAM. Nikah dini rentan perceraian dan juga disinyalir sebagai penyebab tingginya AKI (Angka Kematian Ibu) yang seharusnya diturunkan sesuai dengan standar MDGs (Millenium Development Goals).
Kemudian pasal 11 terkait masa ‘iddah perempuan dianggap diskriminatif. Mengapa hanya perempuan yang punya waktu ‘iddah, sedangkan laki-laki tidak? Harusnya laki-laki juga diberi waktu tenggat untuk introspeksi diri, atau kedua-duanya tidak perlu diberi masa ‘iddah supaya adil. Begitu juga dengan pasal 31 ayat 3 istilah sebutan ‘kepala keluarga’ bagi suami dan ‘ibu rumah tangga’ bagi istri adalah pembakuan nilai stereotype peran laki-laki dan perempuan sehingga harus ditolak.
Upaya Mengubah Hukum Islam
Paham jender mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan harus setara dalam segala hal hingga seratus persen. Dalam kacamata para pengusungnya, saat ini ada ketidaksetaraan di antara keduanya; kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Ketidaksetaraan ini disebabkan karena adanya paham patriarki yang lahir dari ajaran agama yang memosisikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan (LIhat: QS an-Nisa’ [4]: 34).. Begitu juga dengan kebolehan suami memukul istri yang nusyuz kepada suami, hak talak di tangan suami, keharusan izin bagi istri ketika keluar rumah atau ketika ingin berpuasa, serta banyak hukum lainnya menunjukkan bahwa Islam menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Menurut mereka, perbedaan posisi ini menyebabkan perempuan teraniaya. Karena itu, agar kedudukan mereka setara perlu ada revisi terhadap hukum-hukum syariah. Mereka tak peduli meski harus mengubah sesuatu yang sudah pasti ketetapannya dari Allah SWT. Agar menjadi setara maka perempuan harus dibuat berdaya. Karena itulah, dalam pandangan mereka, liberalisasi perempuaan dan pemberdayaannya menjadi kata kunci kemajuan perempuan.
Dalam kitab Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, Imam Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLah menegaskan bahwa liberalisasi perempuan dan pemberdayaan mereka (woman liberalization and the empowerment of women) adalah salah satu cara Barat yang dikomandoi AS untuk menyebarkan ide kapitalis agar bisa menjajah negeri-negeri Muslim. Mereka sengaja merusak akidah Islam, merobohkan sendi-sendi hukum Islam serta mengatur pemikiran dan perilaku umat agar mengikuti keinginan mereka.
Konspirasi Global
Melalui isu penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, AS dan Barat menjadikan isu ini sebagai alat untuk menghancurkan bangunan keluarga Muslim yang ideal. Dengan hancurnya keluarga Muslim tentu tidak ada lagi tempat bagi umat Islam untuk melahirkan generasi Muslim yang tangguh yang akan melawan Kapitalisme Barat. Mereka paham bahwa kata kunci kehancuran keluarga ada pada perempuan. Jika perempuan sudah meninggalkan peran strategis dan politisnya, maka kembalinya ideologi Islam sebagai lawan politik AS akan bisa terhambat.
Wacana untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan telah ada ketika PBB didirikan di tahun 1945. Pembentukan sub komisi khusus untuk status perempuan pada tahun 1946 membantu komisi HAM PBB untuk fokus pada isu-isu perempuan. Ketika deklarasi universal HAM dibuat pada tahun 1948, wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan semakin dikuatkan dengan adanya pasal-pasal khusus yang mengatur hak perempuan. Dengan ini mereka punya kekuatan legal formal untuk mengajak negara-negara lain membincangkan masalah tersebut.
Selanjutnya berbagai konferensi perempuan tingkat dunia digelar. Di dalamnya disosialisasikan bagaimana cara menyelesaikan problematika perempuan. Dimulai tahun 1975 di Mexico City, draft deklarasi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) dilontarkan. Konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi nomor 34/180 pada tahun 1979. Sekitar 130 negara memberikan dukungan dan menyetujui berbagai ketentuan yang ada di dalamnya. Satu tahun kemudian, tahun 1980, enam puluh empat negara menandatangani konvensi ini, dan dua negara langsung menyatakan siap meratifikasi. Di Indonesia, CEDAW sendiri diadopsi penuh dengan keluarnya UU no. 7/1984 yang pasal-pasalnya sama persis dengan pasal-pasal dalam konvensi tersebut. Namun, perlu dicatat, AS dengan presidennya Jimmy Carter kala itu yang turut menandatangani konvensi tersebut, sampai saat ini tidak pernah meratifikasinya. Hingga tahun 2009 negara yang menyetujui konvensi ini bertambah menjadi 186 negara, dan hanya ada enam negara yang tidak pernah meratifikasinya.
Selanjutnya, dalam setiap konferensi perempuan tingkat dunia yang diadakan, selalu ada perkembangan isu perempuan yang dilontarkan. Konferensi ke-2 Tahun 1980 di Kopenhagen, ke-3 Tahun 1985 di Nairobi dan ke-4 tahun 1995 di Beijing Cina. Penghapusan diskriminasi telah mencakup isu kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan juga domestik (kekerasan dalam rumah tangga). Hukum-hukum yang mengatur wilayah privat keluarga yang berbasis agama dan budaya mulai diperkarakan. Isu pemberdayaan perempuan diluaskan dalam dua belas bidang. Sepuluh tahun berikutnya, yaitu tahun 2000, pada konferensi dunia yang membincangkan tujuan-tujuan pembangunan di era millenium, telah dirumuskan bahwa kesetaraan jender, penurunan angka kemiskinan perempuan, penurunan angka kematian ibu menjadi kriteria keberhasilan capaian pembangunan untuk seluruh negara.
Pada tahun 2010, pertemuan aktivis jender negeri-negeri Muslim dilaksanakan di Malaysia. Hasil kesepakatan memperkuat komitmen masing-masing untuk segera mengubah undang-undang yang mengatur wilayah privat keluarga. Hasilnya, di Turki, Tunisia, Syiria, Mesir, Yordania dan Irak telah dipraktikan upaya pembaruan hukum-hukum keluarga yang selama ini banyak mengacu pada syariah Islam. Belum lama ini pada bulan September 2011, upaya untuk merevisi UU-P RI no. 1/1974 kembali santer. Berbagai seminar digelar untuk mendorong upaya perubahan UU-P tersebut. Kita harus selalu waspada karena pada tahun ini juga tengah disiapkan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender (RUU KG) yang akan segera dibahas untuk disahkan.
Model Keluarga Sejati
Jelas, upaya untuk menciptakan kembali model keluarga Muslim sejati berdasarkan syariah Islam dan pastinya dalam naungan Khilafah harus terus ditingkatkan. Model keluarga Muslim yang diatur dengan syariah Islam harus menjadi model untuk seluruh umat manusia. Keharmonisan dan kebahagiaan keluarga hakiki hanya terjadi dalam keluarga Muslim yang diatur syariah.
Ini berbeda dengan model keluarga yang dikehendaki kaum liberal. Harmonisnya keluarga menurut mereka adalah keluarga yang menghargai kesetaraan serta persamaan hak. Jika istri menuntut haknya sama dengan suami, maka dia juga berhak mengambil keputusan dalam keluarga. Tentu akan ada dua pemimpin, lantas siapa yang akan mengambil keputusan untuk dilaksanakan bersama? Jika masing-masing punya pendapat serta keinginan, dan satu sama lain harus saling menghargai keinginan tersebut dan tidak boleh ada yang mengaturnya, maka istri akan berbuat sesuka hatinya, begitu juga dengan suaminya. Jik istri ingin selingkuh dengan laki-laki lain karena sudah tidak suka dengan suaminya, ingin bekerja seharian, ingin refreshing, ingin eksis di panggung politik, tidak ingin hamil maka ia tidak boleh ada yang melarang. Begitu juga sebaliknya dengan suami.
Tidakkah ini semakin menjelaskan bahwa robohnya bangunan keluarga sudah sangat nyata. Peran suami sebagai pemimpin tidak ada. Peran ibu sebagai pendidik generasi dan pengelola rumah tangga menjadi tidak ada. Keluarga penuh konflik karena satu sama lain tidak mau mengalah atas nama kesetaraan. Memang inilah sesungguhnya model keluarga yang dikehendaki kelompok kaum liberal. Ini sejalan dengan keinginan musuh Islam, yakni hancurnya keluarga Muslim sebagai pondasi bangkitnya peradaban Islam.
Rasulullah Muhammad saw. menyatakan bayti jannati adalah rumah tempat pasangan suami-istri mengikatkan dirinya dengan hukum-hukum syariah yang telah dijelaskan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Dari mereka akan lahir generasi yang salih. Kebahagiaan hakiki mereka terwujud dari keridhaan dan keikhlasan mereka tatkala tunduk pada ketentuan Allah.
Sesungguhnya, model keluarga Muslim sudah diterapkan pada masa Rasulullah, para Sahabat, para khalifah umat dan generasi salaf yang salih. Keluarga Muslim sejati tumbuh dari sistem kehidupan yang ditata dengan syariah Islam. Suami menjadi imam dalam ibadah dan ri’ayah. Ia menjadi sosok yang amat dicintai dan disayangi keluarga. Ia teladan anak-anak dalam segala hal. Ia laki-laki tangguh yang melindungi dan menjaga keluarganya. Ia laki-laki yang penuh tanggung jawab memenuhi seluruh keperluan keluarganya. Ia diharuskan lembut dan penyabar jika ingin menjadi manusia terbaik di dunia dan akhirat (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 19; ). Rasulullah saw.pun telah menegaskan, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istri)-nya. Aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR al-Hakim dan Ibn Hibban).
Demikian pula sosok istri salihah telah ditetapkan dalam banyak nash, di antaranya ia adalah wanita yang: taat kepada Allah dan Rasulnya, taat kepada suami karena Allah dan Rasul-Nya; pandai bergaul dengan suaminya; penyayang dan penyabar saat mendidik anak-anaknya; terampil dalam menjalankan tugasnya di rumah tangga. Semuanya itu telah membawanya menjadi calon penghuni surga jika dilakukan dengan benar dan ikhlas.
Sesungguhnya manusia manapun yang menjalani rumah tangga yang diatur dengan syariah Islam dalam naungan sistem kehidupan Islam pasti akan merasakan merasakan ketenangan dan ketenteraman hidup. WalLahu a’lam. []