Frank Carlucci, Presiden Carlyle Group, perusahaan raksasa AS, Menteri Pertahanan terakhir pada pemerintahan Ronald Reagan, menyatakan dengan tegas strategi Amerika untuk Timur Tengah. Ia mengutip laporan Dewan Hubungan Luar Negeri di New York, “Kami memiliki strategi tertinggi yang sangat sederhana, yaitu kami ingin rezim di negeri itu setia kepada kami, tidak menolak kehendak kami, lalu kami ingin kekayaan di negeri ini tanpa ada penentang, dan pada puncaknya kami ingin menjamin keamanan (Israel) karena ia satu-satunya teman yang dapat diandalkan di kawasan Timur Tengah ini!”
Barat yang dipimpin oleh Amerika tahu dengan pasti bahwa umat Islam sudah cukup muak dengan kepalsuan rezim-rezim yang didukung oleh Barat sendiri. Barat juga tahu bahwa umat ini menginginkan Islam sebagai alternatif satu-satunya. Oleh karena itu, sejumlah pusat penelitian di Amerika dan yang lainnya mengajukan proposal dengan menawarkan rezim-rezim yang tunduk pada Barat.
Rezim-rezim itu dimunculkan seolah-olah sebagai alternatif dengan mengenakan pakaian Islam. Semua dilakukan dalam rangka memuluskan pencurian Barat di tengah kegelisahan umat dan revolusi yang mereka impikan. Dengan cara itu, Barat berupaya menjauhkan umat dari kebangkitan yang sesungguhnya, yang dapat mewujudkan penerapan Islam sepenuhnya.
Barat dengan berbagai institusi dan para politisinya tidak akan terpaksa menggunakan rencana itu kecuali karena adanya opini publik yang sangat kuat menginginkan Islam di tengah-tengah umat. Tujuan utamanya adalah untuk menipu umat yang mulia ini sehingga pada tahun-tahun terakhir umat kembali mundur dan jauh dari kebangkitan yang sesungguhnya, melalui berdirinya rezim-rezim yang mengusung slogan-slogan Islam, tetapi memimpin dengan sistem kehidupan Barat dan loyalitas terhadap Barat, sebagaimana sebelumnya. Bedanya, yang ini dengan baju baru.
Demokrasi dan Islam Moderat
Salah satu strategi penting untuk mengontrol perubahan di Timur Tengah agar jauh dari kebangkitan Islam adalah mempromosikan demokrasi dan Islam moderat. Jauh sebelum terjadi revolusi Arab, strategi ini telah dirumuskan oleh berbagai lembaga think-tank Amerika. Pada 2007 Institut Amerika untuk Perdamaian (United States Institute of Peace-USIP) mengeluarkan hasil penelitian seputar “Islam Moderat” yang berjudul, “Integrasi Para Aktivis Islam dan Promosi Demokrasi: Sebuah Penilaian Awal.” Penelitian memutuskan bahwa pertempuran Amerika Serikat dengan arus kekerasan dan ekstremisme harus dilakukan dengan mendukung dan memperkuat proses demokratisasi di dunia Arab.
Penelitian ini menegaskan pentingnya mendukung para aktivis Islam “moderat” ini. Sebab, mereka adalah dinding pertahanan pertama dalam menghadapi para ekstremis dan radikal. Oleh karena itu, penelitian ini menuntut pentingnya AS terus mendukung demokrasi di Timur Tengah, dan mempromosikan integrasi para aktivis Islam dalam kehidupan politik Barat.
Pada tahun 2007, Yayasan RAND menerbitkan sebuah hasil penelitian komprehensif tentang “Building Moslem Moderate Network-Membangun Jaringan kaum Muslim Moderat” di Dunia Islam. Penelitian ini dimulai dari teori dasar bahwa konflik dengan Dunia Islam dasarnya adalah “pergolakan pemikiran”. Tantangan utama yang dihadapi Barat adalah apakah Dunia Islam akan berdiri melawan gelombang jihad fundamentalis, atau akan jatuh menjadi korban akibat kekerasan dan intoleransi. Temuan penting penelitian ini adalah “Perlunya Amerika Serikat menyediakan dan memberikan dukungan bagi para aktivis Islam moderat dengan membangun jaringan yang luas, serta memberikan dukungan materi dan moral kepada mereka untuk membangun sebuah benteng guna melawan jaringan fundamentalis.”
Penelitian ini menunjukkan bahwa sekutu yang paling penting (potensial) dalam menghadapi apa yang disebut dengan “Islam radikal” adalah kaum Muslim liberal dan sekular yang percaya pada nilai-nilai liberal Barat dan cara hidup masyarakat Barat modern. Bahkan “mereka bisa digunakan untuk melawan ideologi Islam militan dan radikalisme serta dapat memiliki peran yang berpengaruh dalam perang pemikiran”.
Jadi, inilah beberapa karakteristik kaum Muslim moderat menurut kacamata Barat, yaitu “kaum liberal dan sekular”. Semua tahu bahwa dua karakteristik ini adalah bagian budaya Barat.
Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton (24/02/ 2011) menegaskan pemerintah AS tidak akan menentang kelompok Ikhwanul Muslimin Mesir untuk menduduki kekuasaan selama mereka meninggalkan kekerasan, berkomitmen untuk demokrasi dan hak-hak semua anggota masyarakat. Ia menambahkan bahwa harus dijamin bahwa konstitusi di Mesir benar-benar demokratis.
Meracuni Gerakan-gerakan Islam
Salah satu langkah penting Amerika untuk mempertahankan kepentingannya di Timur Tengah dan Dunia Islam lainnya adalah dengan memanfaatkan gerakan-gerakan yang pada awalnya memiliki akar Islam. Langkah ini dilakukan dengan cara: Pertama, vaksinasi gerakan-gerakan Islam dengan ide-ide sekular gaya Barat. Hal ini tampak jelas dikatakan oleh beberapa anggota gerakan Islam di Kuwait, Mesir dan Jordan bahwa tidak ada larangan partai “Islam” menerima anggota dari warga negara non-Muslim. Salah seorang anggota partai “Islam” terkemuka di Mesir mengatakan bahwa slogan “al-Quran konstitusi kami” hanyalah “slogan emosional yang tidak mencerminkan pendekatan bagi aktivitas politik kami”.
Amerika sedang berusaha untuk menjadikan partai-partai Islam seperti partai-partai Kristen di Barat; seperti Partai Uni Demokratik Kristen dan Uni Sosialis Kristen. Jadi, partai akan menyebutkan agama pada nama partainya, namun karakter akitivitas politiknya tetap sekular. Mereka baru akan berpikir dengan beberapa sentimen agama jika dalam keadaan tertentu memang mengharuskannya.
Kedua, upaya pemerintah AS untuk berkomunikasi dengan beberapa gerakan-gerakan Islam. Ini telah menjadi sesuatu yang bukan rahasia lagi, seperti komunikasi dengan beberapa gerakan di Mesir, Suriah, Kuwait, Libanon dan Palestina. Komunikasi kadang dilakukan dengan para pejabat senior Amerika, dengan delegasi dari Kongres, atau di waktu lain dengan para pengusaha Amerika. Bahkan Eropa telah memasuki jalur komunikasi dengan beberapa gerakan Islam, yang dalam hal ini kadang dilakukan dengan terbuka, dan di waktu lain dengan setengah terbuka. Di antaranya, sejumlah pertemuan rahasia dengan beberapa pemimpin kelompok Islam moderat yang dilakukan oleh diplomat Amerika Edward Djerejian, sebagaimana terungkap dalam bukunya, Risiko dan Peluang: Sebuah Perjalanan Duta Besar AS di Timur Tengah. Ia mengatakan dalam bukunya dua contoh yang tidak terbayangkan dalam pikiran: Hassan at-Turabi dan Rasyid Ghannouchi.
Dalam bukunya ditulis:
Pada awal tahun 90-an ketika saya masih menjadi asisten Menlu untuk Urusan Timur Dekat, Hassan Turabi mengunjungi saya di kantor. Ia seorang pemimpin politik Sudan terkemuka. Di awal karir politiknya, ia adalah anggota Gerakan Ikhwanul Muslimin (dan kemudian ia keluar dengan cerdas dan menjadi independen, sebab ia melihatnya sebagai gerakan kaku dan mundur secara intelektual). Pada saat Turabi mengunjungi saya di kantor, di Washington, ia mengenakan jas mewah terdiri dari tiga bagian. Apa yang dia lakukan tidak berbeda dari para pengusaha yang berpengalaman di Timur Tengah, yang saya kenal di Beirut. Selama pembicaraan kami, saya menyadari bahwa ia memiliki pengetahuan luas dan mendalam bagi sebagian besar isu-isu Timur Tengah, serta hubungan Amerika Serikat dan Barat dengan isu-isu tersebut. Hal ini tidak mengherankan, sebab kami tahu bahwa ia doktor (dalam bidang hukum) dari Paris-Sorbonne University. Yang mengejutkan, ia berbicara dengan fasih bahasa Prancis, Inggris (dan Jerman). Namun, yang benar-benar menarik perhatian saya bahwa ia berbicara tentang perlunya menghapus perbedaan antara Syiah dan Sunni, perluasan hak-hak perempuan di Dunia Islam, dan juga berbicara secara positif dan percaya diri tentang keberadaan “demokrasi Islam”. Ia adalah tokoh yang sama, yang mendirikan Konferensi Bangsa Arab Islam, yang dipimpin oleh Sudan. Ia mengenakan pakaian tradisional dan sorban, serta sering menjadi tamu kehormatan para pemimpin gerakan ekstremis dari seluruh dunia.
Masih dalam buku yang sama disebutkan Ghannouchi, yang juga pemimpin Partai an-Nahdha Tunisia, pernah mengirim surat kepada Amerika secara rahasia.
Demikian pula setelah saya menyampaikan pidato di “Meridian House”. Saya menerima sepucuk surat panjang dari Rasyid Ghannouchi, seorang pemimpin Islam (Ikhwanul Muslimin). Dalam suratnya, Ghannouchi, mengungkap rasa senangnya kepada saya, bahwa isi pidato saya menjelaskan di mana Amerika Serikat benar-benar tidak menganggap Islam sebagai musuh. Ini adalah sebagian dari apa yang ia tulis kepada saya, “Kaum Muslim tidak memiliki perasaan benci bagi Anda, sebagai orang Amerika, dan bukan karena kedudukan Anda sebagai negara adidaya. Namun, kami ingin kebebasan kami di negara kami. Kami ingin hak untuk memilih sistem yang kami puas dan senang dengannya. Kami ingin hubungan kami dengan Anda dibangun berdasarkan persahabatan, bukan ketergantungan atau ketundukan. Dengan itu ada kemungkinan untuk bertukar ide dan informasi antara kita, dan pertukaran informasi dan budaya dalam era yang dikuasai oleh landasan kompetisi dan kerjasama, bukan landasan dominasi dan ketundukan.”
Khalil al-Anani di The Washington Report mengatakan, “Barat masih diselimuti kecemasan akan ekstremisme Islam, dan masih banyak lembaga dan pusat-pusat penelitian Amerika yang melakukan sejumlah penelitian untuk merumuskan apa itu Islam Moderat. Beberapa lembaga think tank Amerika seperti RAND Corporation merumuskan secara detil pengertian Islam Moderat, seperti yang ditulis Cheryl Benard, “Civil Democratic Islam”, dan penelitian Angel Rabasa, “Dunia Islam Setelah Peristiwa 11 September”.
Rand Corporation dalam Building Moderate Muslim Networks menjelaskan karakter Islam moderat adalah mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan jender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum yang non-sektarian dan menentang terorisme.
Penelitian menunjukkan bahwa ada tiga sektor penting di Dunia Islam yang dapat mewakili “inti yang baik” untuk membangun jaringan “aktivis Islam moderat” dalam rangka menghadapi “kaum ekstremis Islam”. Sektor-sektor ini adalah “kaum sekular, para aktivis Islam liberal dan moderat, serta kaum tradisional, termasuk di antaranya kaum sufi.
Amerika sangat ahli dan piawai dalam pencurian revolusi. Amerika benar-benar telah merancang rencana kotor dan mitra keji untuk menjerumuskan gerakan-gerakan Islam dalam perangkap dan konspirasinya, dengan keterlibatannya dalam kekuasaan melalui permainan pemilihan (demokrasi). Pada saat itu, jadilah gerakan-gerakan itu bagian dari system sekular. Selanjutnya gerakan-gerakan Islam itu akan bekerja untuk memelihara system sekular, bukan berusaha untuk mengubahnya. Ia akan menjadi alat untuk memoles sistem busuk dan rusak yang ditegakkan di negeri-negeri kaum Muslim itu, serta fakta bahwa gerakan-gerakan ini akan mengubah kulitnya secara bertahap selama mereka masih menjadi bagian dari sistem. Inilah di antara bahaya terbesar ketika berpartisipasi dalam sistem Kapitalisme sekular demokratis.
Awalnya gerakan Islam masuk dengan mengusung simbol Islam. Para pendukungnya pun begitu berharap akan penerapan Islam. Namun kemudian gerakan Islam beralih pada upaya mencari pembenaran sehingga umat dipaksa agar puas dengan realitas yang ada. Umat akan terus diselimuti keadaan ini hingga ada thaghut lain yang memerintah atas nama Islam. Padahal menjadikan demokrasi sebagai asas merupakan bentuk perlawanan terhadap Islam?!
[Disarikan dari tulisan Abu al-Izz Abdullah Abdurrahman, DPP Hizbut Tahrir Wilayah Sudan; Sumber: al-Waie (Arab), Nomor 295-296-297, (edisi khusus), tahun ke-26: Sya’ban, Ramadhan-Syawal 1432 H/ Juli-Agustus-September, 2011 M]