(QS al-Lail [92]: 12-16 )
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى* وَإِنَّ لَنَا لَلآخِرَةَ وَالأولَى * فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى * لا يَصْلاهَا إِلا الأشْقَى * الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّى *
Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk dan sesungguhnya kepunyaan Kami pula akhirat dan dunia. Maka dari itu, Kami memperingatkan kalian dengan neraka yang menyala-nyala; tidak masuk ke dalam neraka itu kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman) (QS al-Lail [92]: 12-16).
Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang karakter orang-orang yang dimudahkan untuk mendapatkan kemudahan, yakni orang-orang suka memberi, bertakwa dan membenarkan kebaikan; juga karakter orang-orang yang dimudahkan untuk mendapatkan kesusahan, yakni orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup, dan mendustakan kebaikan. Kemudian ditegaskan, harta mereka tidak berguna sedikit pun tatkala mereka mati dan dimasukkan dalam neraka.
Ayat-ayat berikutnya lalu menegaskan bahwa menjadi hak Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia; membedakan antara haqq dan batil, halal dan haram, dan jalan ke surga dan ke neraka. Ditegaskan pula, Allah-lah pemilik dunia dan akhirat. Oleh karena itu, orang yang mendustakan dan berpaling dari petunjuk-Nya, diberi peringatan amat keras, yakni siksa yang amat dahsyat, neraka yang menyala-nyala.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Inna ‘alaynâ la al-hudâ (Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk). Ayat ini diawali dengan huruf inna yang berguna li at-ta’kîd (untuk menegaskan). Huruf lâ yang berada sesudahnya juga bermakna ta’kîd. Jadi, dalam ayat ini ada dua huruf yang memberikan makna ta’kîd (penegasan).
Perkara yang ditegaskan adalah al-hudâ ‘alâ-Lâh. Secara bahasa, kata al-hudâ berarti ar-rasyâd wa al-dalâlah (pelajaran dan petunjuk). Secara syar’i kata tersebut berarti al-ihtidâ’ ilâ al-Islâm wa al-îmân bih (mendapatkan petunjuk pada Islam dan mengimani Islam).1 Dalam konteks ayat ini, makna al-hudâ berarti al-bayân (penjelasan). Tepatnya, bayân al-ahkâm (penjelasan hukum-hukum) atau al-bayân li tharîq al-haqq wa iqâmat al-adillah al-wâdhihah ‘alâ dzâlika (penjelasan terhadap jalan kebenaran dan penetapan dalil yang jelas tentang hal itu).2
Ada beberapa penjelasan yang dikemukakan para mufassir mengenai makna keseluruhan ayat ini. Menurut Fakhruddin ar-Razi, pengertian ayat ini adalah, “Sesungguhnya yang wajib atas Kami dalam hikmah adalah apabila Kami menciptakan makhluk untuk beribadah, maka Kami pun menerangkan kepada mereka aspek-aspek ibadah dan penjelasan yang membuat pelaku ibadah menjadi orang yang taat, bukan menjadi orang yang bermaksiat. Sebab, sesungguhnya Kami menciptakan mereka adalah untuk memberikan manfaat kepada mereka, mengasihi mereka, dan menawarkan kepada mereka kenikmatan yang kekal. Sungguh Kami kerjakan semuanya sebagai kewajiban atas Kami dalam hikmah.”3
Az-Zamakhsyari juga memaknainya dengan ungkapan, “Sesungguhnya petunjuk pada kebenaran wajib atas Kami dengan memberikan bukti-bukti kuat dan penjelasan syariah.4
Hal senada diungkapkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari5, az-Zujjaj,6 Qatadah7 dan al-Baidhawi.8
Dengan demikian, karena telah diberikan petunjuk secara jelas dan sempurna, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengetahui jalan yang benar, jalan yang mengantarkan pada kebahagiaan, surga, dan ridha-Nya.
Kemudian ditegaskan pula: Wa inna lanâ la al-âkhirah wa al-ûlâ (dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia). Huruf wâwu al-athaf di awal ayat ini berguna untuk menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Seperti ayat sebelumnya, ayat ini juga mengandung dua huruf ta’kîd, yakni huruf inna yang dan huruf lâ. Ditegaskan bahwa al-âkhirah wa al-ûlâ merupakan milik-Nya.
Pengertian al-ûlâ di sini adalah kehidupan dunia. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, ayat ini memberikan penegasan, “Sesungguhnya milik Kami-lah apa yang ada di dunia dan di akhirat; Kami memberikan dari keduanya kepada yang Kami kehendaki dari makhluk Kami dan Kami mengharamkan kepada siapa pun yang Kami kehendaki.”9
Diriwayatkan Abu Shalih dari Ibnu ‘Abbas, yang menafsirkan ayat ini: tsawâb ad-dunyâ wa al-âkhirah. Ini diberitakan dalam QS al-Nisa’ [4]: 134. Karena menjadi milik Allah SWT, maka siapa saja yang mencari keduanya bukan dari Pemiliknya (Allah SWT), ia telah salah jalan.10 Ini juga senada dengan QS al-Ankabut [29]: 27.
Kemudian dinyatakan: Fa andzartukum nâr[an] talazhzhâ (Maka dari itu, Kami memperingatkan kalian dengan neraka yang menyala-nyala). Secara bahasa, pengertian al-indzâr adalah ikhbâr fîhi takhwîf (berita yang di dalamnya mengandung peringatan yang menakutkan). Kebalikannya adalah at-tabsyîr yang bermakna ikhbâr fîhi surûr (berita yang mengandung kegemberiaan). Kata fa andzartukum dalam ayat ini termasuk di antara yang mengandung makna demikian.11
Dalam ayat ini Allah SWT mengingatkan manusia mengenai adanya nâr[an] talazhzhâ. Kata talazhzhâ, aslinya adalah tatalazhzhâ, kemudian dihilangkan salah satu huruf tâ’-nya untuk takhfîf (memperingan bacaan). Makna talazhzhâ adalah tatawaqqadu wa tatawahhaju (menyala dan membara).12 Kata tersebut berasal dari lazhâ yang berarti al-lahab al-khâlish (nyala api yang bersih).13 (Lihat pula: QS al-Ma’arij [70]: 15).
Kemudian ditegaskan: Lâ yashlâhâ illâ al-asyqâ (tidak masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka). Kata ash-shaly berarti al-îqâd bi an-nâr (membakar dengan api).14 Kata tersebut banyak digunakan dalam al-Quran untuk memberitakan peristiwa masuknya sebagian manusia ke dalam neraka (Lihat: QS al-A’la [87]: 12, al-Ghasyiyah [88]: 4, al-Insyiqaq [84]: 12, an-Nisa’ [4]: 10, dll). Itulah makna yang terkandung dalam ayat ini. Dijelaskan asy-Syaukani, kata yashlâhâ berarti yad-huluhâ aw yajidu shalâhâ, wahuwa harrahâ (memasukinya atau merasakan panasnya).15 Kata lâ yashlâhâ berarti lâ yad-huluhâ wa yahtariqu bi labhbihâ (tidak masuk ke dalamnya dan tidak terbakar dengan nyalanya).16
Menurut para mufasir, seperti an-Nasafi, Ibnu ‘Athiyah, asy-Syaukani, al-Biqa’i, al-Jazairi, dan lain-lain, kata yashlâ di sini berarti masuk ke dalamnya selama-lamanya.17 Ayat ini memberikan penegasan bahwa yang dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala dan kekal di dalamnya adalah al-asyqâ.
Menurut Abu Ubaidah dan al-Qurthubi, kata al-asyqâ berarti as-saqiyy.18 Kata tersebut merupakan lawan dari kata as-sa’îd (yang bahagia).19 Dalam konteks ayat ini, kata al-asyqâ merujuk kepada orang kafir. Demikian kesimpulan para mufassir, seperti asy-Syaukani, al-Baidhawi, Ibnu ‘Athiyyah, al-Alusi, dan lain-lain. Alasannya, sekalipun pelaku kemaksiatan juga masuk neraka, mereka tidak seperti yang dialami al-asyqâ, yakni kekal di dalamnya.20 Di samping itu, menurut al-Alusi, orang kafir asyqâ min al-fâsiq (lebih celaka daripada orang fasik).21 Alasan lainnya, mereka disifati dengan kadzdzaba (yang mendustakan) sebagaimana disebutkan pada ayat berikutnya. Menurut Ibnu ‘Athiyah, orang Arab menjadikan wazan af’alu yang menempati fâ’il memberikan makna mubâlaghah (untuk melebihkan).22
Ayat berikutnya menggambarkan sifat orang yang paling celaka itu dengan firman-Nya: al-ladzî kadzdzaba wa tawallâ (yang mendustakan [kebenaran] dan berpaling [dari iman]). Diterangkan ath-Thabari, ayat ini berarti, “Orang yang mendustakan ayat-ayat Tuhannya, berpaling darinya, dan tidak membenarkannya.”23
Asy-Syaukani memaknainya, “Mendustakan kebenaran yang dibawa para rasul dan berpaling dari ketaatan dan keimanan”.24
Dengan demikian, ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa al-asyqâ, sebagaimana kesimpulan para mufassir, adalah orang-orang kafir
Ayat ini tidak bisa dipahami bahwa yang masuk neraka hanya orang-orang kafir saja, sementara orang-orang fasik tidak. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir di muka, yang dimaksud dengan yashlâhâ di sini adalah masuk neraka kekal selama-lamanya.
Petunjuk, Kekuasaan dan Ancaman Siksa
Ayat-ayat ini memberikan banyak pelajaran. Di antara pelajaran yang amat penting adalah kewajiban untuk menjadikan petunjuk Allah SWT sebagai petunjuk hidup bagi manusia. Tidak ada satu pun alasan bagi manusia untuk meninggalkan, mengabaikan, mendustakan dan berpaling dari petunjuk-Nya. Ayat-ayat ini memberikan penjelasan yang amat gamblang tentang itu.
Pertama: tersedianya petunjuk dari Allah SWT. Sebagai makhluk yang dhaif dan jahil, manusia pasti memerlukan petunjuk untuk meraih kebahagiaan hidupanya, baik di dunia dan akhirat. Dalam hal ini, manusia tidak perlu pusing mencari-cari atau membuat petunju sendiri. Sebab, Allah SWT, Zat Yang menciptakan manusia, telah memberikan petunjuk-Nya untuk manusia. Sebagai Zat Yang menciptakan, Dia pasti mengetahui seluruh seluk-beluk dan detail sifat manusia sehingga tidak mungkin salah (lihat QS al-Mulk [67]: 14). Petunjuk yang Dia turunkan itu juga sudah rinci sehingga manusia tidak memerlukan petunjuk lain (Lihat: QS al-An’am [6]: 114).
Jika demikian, atas dasar apa manusia menolak syariah-Nya seraya mencari ‘petunjuk’ lainnya yang justru mengantarkan dirinya pada kesengsaraan abadi? Jika itu dilakukan, sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Kedua: kekuasaan Allah di dunia dan akhirat. Dunia beserta seluruh isinya adalah ciptaan-Nya. Dialah Pemilik sejati segala yang ada di dunia dan akhirat. Semuanya juga berada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Tak hanya dunia kini, namun juga di akhirat nanti. Dialah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia berkuasa memberikan kemudahan dan kesusahan, kebahagiaan dan kecelakaan, pahala dan dosa, nikmat dan siksa, serta surga dan neraka. Tidak ada seorang pun yang mampu menolak kehendak dan kekuasaan-Nya.
Karena demikian faktanya, maka manusia selayaknya hanya berharap dan meminta kepada Allah SWT. Manusia juga seharusnya melakukan berbagai upaya agar menjadi hamba yang dicinta dan mendapatkan ridha-Nya. Untuk meraih itu semua, Allah SWT telah menetapkan jalan yang harus wajib ditempuh, yakni mengimani dan menaati petunjuk-Nya secara total, mencakup akidah dan syariah-Nya (Lihat: QS Ali Imran [3]: 31).
Ketiga: ancaman berupa siksa yang berat bagi orang yang mendustakan petunjuk-Nya dan berpaling darinya. Ketika di dunia manusia masih mungkin mengajukan sejuta alasan untuk mendustakan syariah dan berpaling darinya. Mereka juga masih menerapkan berbagai undang-undang dan sistem hidup produk hawa nafsu mereka. Akan tetapi, sikap mereka dipastikan tak akan terjadi di akhirat.
Saat manusia dikumpulkan di Padang Makhsyar, seluruh manusia tidak diperkenankan berbicara kecuali dengan izin-Nya dan berkata benar (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 38). Mereka juga tidak diberikan kesempatan membuat-buat alasan (Lihat: QS al-Mursalat [77]: 35-36). Bahkan mulut mereka pun dikunci dan tidak bisa bicara (Lihat: QS Yasin [36]: 65).
Di akhirat pula, satu-satunya hukum berlaku untuk mengadili manusia adalah hukum Allah SWT, bukan hukum yang dibuat oleh manusia semasa di dunia. Perbuatan dinilai sebagai perbuatan baik dan pelakunya berhak mendapat pahala manakala sesuai dengan syariah dan didasarkan pada keimanan dan keikhlasan. Sebaliknya, semua perbuatan yang menyimpang dari syariah-Nya merupakan perbuatan buruk dan jahat. Pelakunya layak mendapatkan dosa dan siksa. Tentu saja, sikap mendustakan petunjuk-Nya dan berpaling darinya akan membuat pelakunya melakukan perbuatan yang melanggar syariah. Oleh karena itu, mereka pun diganjar dengan azab yang mengerikan, yakni neraka neraka yang menyala-nyala.
Selain ayat ini, ancaman neraka yang amat dahsyat dengan aneka jenisnya disebutkan dalam yang amat banyak. Dahsyatnya siksa neraka juga diberitakan banyak hadis. Di antaranya adalah sabda Nabi saw.:
إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَرَجُلٌ تُوْضَعُ فِي أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَتَانِ يَغْلِيْ مِنْهُمَا دِمَاغُهُ
Sesungguhnya siksaan paling ringan yang dirasakan ahli neraka pada Hari Kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya (HR al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir).
Bertolak dari tiga hal di atas, sungguh tidak ada alasan menolak dan mengingkari syariah-Nya. Mereka yang menolak syariah hanya menyengsarakan mereka sendiri. Wa al-‘yâdz bi al-Lâh.
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan Kaki:
1 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 3 (Beirut: dar al-Ummah, 2003), 98; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiriyyah, 1964), 86.
2 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1997), 447; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 86; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22. (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 92.
3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 185.
4 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), 763.
5 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassah al-Risalah, 2000), 476.
6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 476; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1994), 551.
7 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 537; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 477; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 408.
8 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 317.
9 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 47.
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 86. Lihat juga kesimpulan al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 435.
11 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 797.
12 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 552; Ibnu al-Jauzi, Zâd al-Mashîr fî ‘Ilm at-Tafsîr, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2003), 455; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 8, 447; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 435.
13 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 740.
14 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 490.
15 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 55.
16 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 4 (Madinah: Maktabah al-‘Ilm wa al-Hikam, 2003), 583.
17 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyibah, 1998), 651; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 2001), 492; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 552; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 94; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 4, 584.
18 Ibnu al-Jauzi, Zâd al-Mashîr fî ‘Ilm at-Tafsîr, vol. 4, 455; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 86.
19 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 14 (Beirut: Dar Shadir, tt), 438.
20 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol, 22, 94; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 55; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5, 318.
21 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 369.
22 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 492; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 369.
23 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 478. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5, 318.
24 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 552.