Revolusi Timur Tengah yang dahsyat telah berhasil menurunkan sebagian penguasanya yang diktator dan antek Barat. Penguasa Tunisia, Mesir dan Libia sudah dipaksa turun. Yang sedang menunggu ajal politik kini adalah penguasa di Suriah dan Yaman. Sungguh, perjuangan ini tentu patut disyukuri dan dihargai. Namun pertanyaannya, sudahkah perubahan ini menuju arah yang benar sesuai Islam?
Perubahan yang hakiki di negeri-negeri Islam seharusnya mengandung 2 (dua) unsur utama agar arahnya benar; Pertama, menjadikan Islam, baik aqidah maupun syariahnya, sebagai panduan ideologis untuk mendirikan negara Khilafah, yang akan menerapkan Islam secara utuh di dalam negeri dan menyebarkan Islam dengan jihad ke luar negeri. Kedua, menolak secara total segala bentuk intervensi asing ke negeri-negeri Islam dan tidak minta bantuan kepada asing. (Al-Waie [Arab], No 291, Rabiul Akhir 1432/ Maret 2011, hlm. 4).
Kedua unsur tersebut tidak terpenuhi dalam revolusi Timur Tengah hingga akhir 2011 ini. Yang terjadi hanyalah perubahan sosok penguasa, bukan perubahan sistem menjadi negara Khilafah. Artinya, unsur pertama tidak terpenuhi. Unsur kedua juga tidak terpenuhi karena intervensi Barat, khususnya dari Amerika, Inggris, dan Prancis telah berlangsung baik di Tunisia, Mesir, Libia maupun; juga di negeri-negeri yang sedang bergolak kini, yaitu di Yaman dan Suriah.
Maka dari itu, boleh dikatakan perubahan Timur Tengah kini menjadi tidak jelas lagi arahnya. Semua ini akibat ulah Barat yang dengan segala kecanggihan politiknya berhasil membajak arah perubahan Timur Tengah ke arah yang sesuai dengan kepentingannya.
Berbagai cara digunakan Barat untuk membajak arah perubahan ini. Yang terpenting ada 5 (lima) cara. Pertama: memanfaatkan politisi boneka. Kedua: memberikan bantuan ekonomi (utang). Ketiga: melakukan intervensi militer. Keempat: mempropagandakan Islam moderat. Kelima: mengendalikan media massa guna mempengaruhi opini publik.
Politisi Boneka/Agen
Barat selalu memanfaatkan para politisi lokal untuk melayani kepentingannya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai intervensi politik negara-negara Barat di masing-masing negeri Timur Tengah. Intervensi politik ini tak akan berjalan, kecuali ada peran para politisi lokal yang menjadi kepanjangan tangan Barat. Timur Tengah memang sejak lama telah menjadi ajang rivalitas politik yang keras di antara negara-negara imperialis Barat.
Di Tunisia, perubahan dikendalikan Eropa (Inggris dan Prancis), jauh dari pengaruh Amerika, karena Tunisia sejak lama memang berada di bawah Eropa. Di Mesir, Amerikalah yang memegang kendali lewat militer Mesir, karena tak ada pengaruh Eropa yang efektif di sana. Di Libia dan Yaman, kekuatan Amerika dan Eropa hadir bersamaan, meski kekuatan Eropa lebih kuat daripada kekuatan Amerika. Di Suriah, keadaan lebih rumit. Amerika berkali-kali menegaskan tidak akan melakukan intervensi, karena posisi Suriah yang sentral dan krusial bagi kepentingan Amerika di Timur Tengah, seperti kepentingan Amerika di Israel dan Irak. Eksistensi Inggris di Suriah juga masih ada lewat agen-agennya yang dibina sejak lama (Al Waie [Arab], No 295-297, hlm. 137).
Bagaimanakah intervensi politik Barat ini dapat berlangsung di negeri-negeri tersebut? Ya, semua berjalan utamanya lewat para politisi-politisi lokal yang menjadi boneka Barat. Di Mesir, misalnya, kepentingan Amerika dalam revolusi Timur Tengah ini dijalankan oleh Jenderal Sulaiman yang secara de facto menjadi pemimpin Mesir untuk sementara pasca turunnya Hosni Mubarak. Sulaiman tak ubahnya seperti Presiden Hosni Mubarak, atau Presiden Anwar Sadat, yang menjadi boneka politik Amerika pada masanya masing-masing.
Bantuan Ekonomi
Barat juga memanfaatkan cara ekonomi untuk mengendalikan arah perubahan Timur Tengah. Dalam pertemuan negara-negara G-8 yang berlangsung 26-27 Mei 2011 yang lalu Prancis, disepakati pemberian utang berbunga kepada Tunisia dan Mesir guna mengarahkan kedua negara itu untuk menerapkan Kapitalisme di bidang ekonomi, dan demokrasi di bidang pemerintahan.
Negara-negara kapitalis G-8 itu telah menyiapkan dana lebih dari 20 miliar dolar AS untuk membendung Tunisia dan Mesir serta mengikatnya dengan berbagai syarat yang mematikan. Tujuannya agar kedua negara itu tetap berada dalam dominasi ekonomi kapitalis ribawi di bawah pimpinan Amerika dan Eropa.
IMF juga telah memberikan utang ribawi sebanyak 3 miliar dolar kepada Mesir (dari 12 miliar dolar AS yang dibutuhkan menurut perhitungan IMF) dengan bunga 3% untuk menutup defisit APBN dan mengatasi defisit perdagangan luar negeri. Mesir mengalami pelonjakan inflasi hingga 20% dan defisit APBN-nya mendekati 10% dari nilai GDP.
Di Tunisia, perdana menterinya telah meminta bantuan kepada G-8 sebanyak 25 miliar dolar AS dalam jangka waktu 5 tahun, guna mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang dikatakan dapat menyuburkan ekstremisme. Inilah cara Barat mengendalikan arah perubahan Timur Tengah melalui jalur bantuan ekonomi (Al Waie [Arab], No 295-297, hlm. 138).
Intervensi Militer
Intervensi militer juga menjadi cara untuk membajak arah perubahan Timur Tengah. Di Libia, contohnya, terdapat dua kekuatan politik yang berpengaruh, yaitu Amerika dan Eropa. Eropa lewat NATO berkepentingan untuk segera melenyapkan Qaddafi. Adapun Amerika berusaha untuk mempertahankan Qaddafi dalam rangka melenyapkan pengaruh Eropa di Libia. Inilah yang mungkin membuat Amerika agak lamban berpartisipasi dalam operasi penggulingan Qaddafi.
Di Yaman juga terdapat persaingan kekuatan Amerika dan Eropa. Amerika ingin segera menurunkan Ali Abdullah Saleh, sedangkan Inggis justru ingin mempertahan-kannya. Inilah yang membuat revolusi Yaman tidak segera berakhir.
Intervensi militer di Libia jelas hanya bertujuan untuk mewujudkan kepentingan Barat, bukan membantu umat Islam menuju arah perubahan sesuai tuntutan Islam. Tujuan intervensi militer Barat itu ada dua. Pertama: membalas dendam kepada Qaddafi yang selama ini dianggap belum cukup membayar ganti rugi bagi korban peledakan pesawat Lockerby. Kedua: untuk menguasai minyak Libia yang sangat berlimpah.
Dampak intervensi militer ini menjadi musibah yang amat buruk bagi rakyat Libia. Selain tewasnya 25 ribu orang akibat perang saudara sejak Pebruari hingga Oktober 2011, dampaknya juga akan terasa dari segi ekonomi. Rakyat Libia akan jatuh ke dalam penjajahan ekonomi yang sangat eksploitatif. Semua harta Qaddafi yang disimpan di bank-bank Barat akan disita Barat untuk membayar ongkos intervensi militer ini. Pemerintahan Libia selanjutnya juga akan dipaksa menjual minyak dan gas Libia dengan harga amat murah kepada Barat, khususnya Amerika dan Prancis (Al Waie [Arab], No 295-297, hlm. 156).
Islam Moderat
Barat juga memanfaatkan ide dan gerakan Islam moderat untuk mengubah haluan perubahan Timur Tengah. Ini dilakukan Barat karena terdapat opini umum yang kuat tentang Islam di Timur Tengah. Karena itu, Barat berusaha menggunakan isu Islam moderat untuk membentuk rezim-rezim baru berbaju Islam, sehingga seolah-olah sudah sesuai dengan Islam, padahal sebenarnya hanya bungkus untuk ideologi Barat. Tujuannya agar umat Islam tertipu dan menyimpang dari arah perubahan hakiki menuju penerapan Islam secara total dalam negara Khilafah.
Cherryl Bernard dkk dari RAND Corporation, sebuah lembaga kajian strategis di Amerika, pada tahun 2007 telah menggagas strategi untuk memanfaatkan Islam moderat dalam merekonstruksi Dunia Islam. Kajian ini memberi rekomendasi kepada Amerika agar menyokong orang-orang Islam moderat guna terjun dalam perang ideologis untuk menghadapi apa yang mereka sebut sebagai kelompok jihadi fundamentalis dan kelompok Islam radikal.
Amerika merealisasikan strategi itu dengan dua langkah utama. Pertama: menyuplai ide-ide sekular kepada kelompok-kelompok Islam. Beberapa tokoh kelompok Islam di Kuwait dan Mesir pun kemudian menyuarakan ide Barat ini, antara lain orang non-Muslim boleh menjadi anggota partai Islam, atau anggapan bahwa seruan penegakan syariah hanyalah ajakan emosional belaka dan sudah ketinggalan zaman. Kedua: mengadakan kontak dengan gerakan-gerakan Islam di Mesir, Suriah, Kuwait, Lebanon, Palestina, dan lain-lain. Langkah Amerika ini juga diikuti oleh Eropa yang mengadakan kontak dengan kelompok-kelompok Islam, baik kontak terbuka maupun rahasia.
Tokoh yang dapat menjadi contoh representasi ide Islam moderat adalah Hasan Turabi (Sudan) dan Rasyid al-Ghanusyi (Tunisia). Hasan Turabi, seorang doktor lulusan Sorbone Prancis, mendukung apa yang disebutnya “demokrasi islami”. Rasyid al-Ghanusyi, pimpinan Hizbun Nahdhah (Partai Kebangkitan) di Tunisia, sangat akomodatif terhadap nilai-nilai Barat. Rasyid antara lain menyatakan tidak setuju dengan Khilafah. Dia juga menyatakan jika partainya berkuasa, tak akan melarang khamr (minuman keras) dan tak akan melarang wanita berpakaian bikini di pantai (Al Waie [Arab], No 295-297, hlm. 178).
Contoh tokoh Islam moderat lainnya adalah Tayyip Erdogan, pemimpin Partai Keadilan dan Pembangunan (Turki). Erdogan pernah mengatakan, “Kami menentang ide negara agama. Kita tak perlu bicara tentang Negara Islam dalam pengertiannya yang luas. Yang kita serukan adalah sebuah negara demokrasi yang hakiki, yang memberikan kebebasan, kemuliaan dan aqidah kepada masyarakat tanpa perbedaan dan diskriminasi.” (Al Waie [Arab], No 295-297, hlm. 179).
Jelas, melalui tokoh dan gerakan seperti inilah akhirnya Barat dapat membajak arah perubahan di Timur Tengah. Umat Islam yang menghendaki syariah Islam dalam negara Khilafah, jika tak memiliki kesadaran sempurna akan ideologi Barat, akan dapat dibelokkan dan disesatkan oleh berbagai propaganda ide-ide sekular dari tokoh-tokoh Islam moderat yang menjadi corong negara-negara kafir penjajah, semisal Hasan Turabi, Rasyid al-Ghanusyi, dan Tayyip Erdogan.
Media Massa
Media massa juga menjadi salah satu alat yang digunakan Barat untuk membajak arah perubahan Timur Tengah. Keliru jika kita menganggap bahwa media massa, khususnya televisi, selalu menayangkan realitas apa adanya secara objektif. Yang benar, mereka menayangkan apa yang mereka inginkan, sesuai dengan kepentingan mereka dan kepentingan negara Barat.
Media massa bisa saja membesar-besarkan apa yang sebenarnya kecil atau mengecilkan sesuatu yang sebenarnya sangat dahsyat. Bahkan bisa juga media tidak memberitakan suatu realitas sama sekali, padahal sesungguhnya realitas itu ada atau tampak dengan jelas.
Dalam revolusi Timur Tengah, kesan yang ditangkap kuat bagi penonton televisi adalah slogan-slogan perubahan sesaat, seperti “Pergilah Mubarak!” (Irhal Mubarak!). Padahal seruan-seruan yang ideologis dan mendasar seperti tuntutan penegakan Khilafah, sebenarnya cukup banyak, tetapi tak mendapat liputan yang memadai. Misalnya saja, aksi yang terjadi di Homs (Suriah). Sekelompok pemuda menyerukan kembalinya Khilafah dalam sebuah masirah (long march) yang dilaksanakan di malam hari. Stasiun Aljazeera yang biasanya meliput kejadian seperti ini bahkan tidak menyebut-nyebutnya sama sekali. Demikian juga dalam revolusi Tunisia, terdengar seruan-seruan islami seperti “Al khilafah Hiya al-Hall” (Khilafah adalah Solusi). Namun, tak ada satu televisi pun yang menayangkan seruan seperti ini. Ketidakadilan media massa ini banyak sekali terjadi dalam revolusi Timur Tengah belakangan ini (Al-Waie [Arab], No 295-297, hlm. 216).
Semua ini tiada lain karena media massa telah diarahkan dan dikendalikan secara langsung atau tidak oleh Barat, khususnya Amerika. Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, pernah memberikan peringatan (warning) pada 13 Januari 2011 kepada para kepala negara-negara Arab, agar tidak memberikan kesempatan kepada kelompok ekstremis untuk memanfaatkan kondisi politik yang ada.
Memang, kadang televisi menampilkan sosok-sosok aktivis Islam beserta tuntutan-tuntutannya. Namun, mereka yang muncul itu adalah tokoh-tokoh yang sudah diseleksi dan disenangi Barat, yaitu mereka yang disebut tokoh-tokoh kelompok Islam moderat.
Dengan demikian, jelas ada upaya Barat untuk mengendalikan media massa, sehingga arah perubahan Timur Tengah tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya, yaitu menuju tegaknya Khilafah, melainkan menuju arah yang sesuai dengan kehendak negara-negara kafir penjajah. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]