HTI

Analisis (Al Waie)

Kegagalan Demokrasi

Pergolakan politik di Timur Tengah sampai saat ini masih berlangsung. Hal tersebut setidaknya disebabkan karena: Pertama, sosok pengganti rezim yang tumbang pada umumnya adalah boneka Amerika dan sekutunya yang tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Kedua, sistem demokrasi masih diyakini oleh rezim pengganti sebagai jalan perubahan sekaligus sebagai sistem yang sedang dan akan diterapkan. Padahal kedua hal tersebut bertentangan dengan keyakinan, perasaan dan pemikiran sebagian rakyat mereka yang menginginkan Khilafah Islam sebagai penggantinya.

Pasca tumbangnya Ben Ali, partai An-Nahdha menjadi pemenang Pemilu yang demokratis pertama kali di Tunisia. Partai tersebut berjanji akan membentuk masyarakat pluralistik, sekular dan menghormati hak asasi manusia.1 Mereka akan tetap mempertahankan Tunisia sebagai tujuan wisata, tidak akan melarang minuman keras atau melarang wanita mengenakan bikini di pantai. Mengapa partai yang didirikan oleh mayoritas aktifis Islam yang umumnya mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin itu menghapus slogan “Islam sebagai solusi” dan menggantinya dengan berbagai janji yang sesuai dengan arahan “Barat”? Tampaknya mereka mengambil jalan ‘aman’ untuk memenangkan Pemilu. Pasalnya, pemerintahan sementara yang berada dalam kendali Barat itu sebagai penyelenggara Pemilu melarang partai politik peserta Pemilu menggunakan simbol-simbol, slogan, jargon dan janji-janji yang islami.

Situasi dan kondisi yang mirip dengan Tunisia tersebut terjadi pula dalam proses perubahan pemerintahan di Mesir, Yaman, Yordania, Turki dan beberapa negeri yang mayoritas penduduknya Muslim lainnya. Apakah proses perubahan melalui jalan demokrasi yang didesain Barat akan berhasil mensejahterakan rakyatnya dan menjadikan mereka mulia? Apakah demokrasi juga bisa menjadikan mereka terbebas sebagai “boneka” imperialis Barat atau justru sebaliknya?


Demokrasi Gagal

Krisis multidimensi, termasuk krisis keuangan, di Amerika Serikat dan Eropa, sudah cukup menjadi bukti bahwa demokrasi di negara-negara kampiun demokrasi itu gagal mewujudkan sistem pemerintahan yang mampu membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak. Sistem demokrasi telah melahirkan hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya, muncullah kebijakan elit politik yang lebih pro pemilik modal daripada pro rakyat. Industrialisasi politik, politik transaksional, pragmatisme politik dan suap-menyuap merupakan penyakit kronis demokrasi.

Biaya kampanye dalam pemilihan presiden AS secara demokratis tahun 2008 lalu, misalnya, mencapai sekitar Rp 46,1 Triliun. Wajar jika para kandidatnya sangat mungkin dikendalikan oleh para kapitalis besar yang memiliki perusahaan multinasional. Banyak sumber yang mengungkap bahwa setiap kandidat presiden hingga parlemen di AS senantiasa menjadikan Wall Street sebagai sumber pendanaan kampanye mereka. Sejumlah pejabat pemerintah AS seperti Menteri Keuangan Robert Rubin pada era Bill Clinton dan Henry Paulson pada masa George W. Bush merupakan mantan CEO Goldman Sachs, perusahan raksasa Wall Street. Sekalipun Obama berjanji mengurangi pengaruh lobi Wall Street, ia tetap saja takluk di bawah pengaruh para pemodal raksasa tersebut. Salah satu buktinya adalah Obama pernah mengadakan perjamuan khusus dengan para eksekutif Wall Street, termasuk di antaranya Warrent Buffet (salah satu orang terkaya dunia), untuk meminta restu peningkatan pajak bagi orang kaya di AS.  Kepala staf Menteri Keuangan (Timothy Geithner) juga dipimpin oleh mantan pelobi Goldmann Sachs Mark Patterson. Bahkan menurut laporan Washington Examiner, Goldman Sachs merupakan penyumbang terbesar kampanye Obama tahun 2008.  Dalam buku Sold Out: How Wall Street & Washington Betrayed America, disebutkan daftar belanja kampanye dan lobi lembaga-lembaga finansial (perbankan, asuransi, investasi, real estate). Untuk periode 1998-2008 dana kampanye sektor tersebut sebesar US$1,7 miliar dan dana lobi sebanyak US$ 3,4 miliar.

Ternyata itulah salah satu alasan utama mengapa regulasi terhadap sektor finasial di AS sampai saat ini tidak pernah mampu membatasi keserakahan para pemodal di Wall Street. Bahkan yang terjadi adalah deregulasi yang memberikan kebebasan kepada mereka untuk menciptakan dan mengembangkan produk dan model transaksi keuangan derivatif. Padahal kerap krisis ekonomi yang terjadi di negara tersebut justru bersumber dari Wall Street. Tidak aneh ketika Jerman dan Prancis yang didukung oleh sejumlah negera Eropa pada forum G-20 meminta agar para spekulan di sektor finansial ditertibkan dengan menerapkan pajak transaksi keuangan, pemerintah AS serta-merta menolak gagasan tesebut.  Padahal kegiatan spekulasi di pasar modal merupakan salah satu dari pemicu utama krisis finansial dalam sistem Kapitalisme.


Jebakan Demokrasi di Dunia Islam

Pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan global tersebut menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang diterapkan di negara Barat (termasuk AS) telah gagal dalam menyusun kebijakan yang pro-rakyat. Di sisi lain, mereka berupaya agar sistem demokrasi yang gagal itu diterapkan di negeri-negeri Muslim. Turki dan Indonesia merupakan dua negeri Muslim yang sering dipuji sebagai negara yang paling demokratis. Namun faktanya, dua negeri itu gagal dalam bidang ekonomi, kemandirian ekonomi, politik dan sistem sosial.


1. Kegagalan ekonomi.

Demokrasi yang diklaim oleh Abraham Lincoln sebagai “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” ternyata telah membajak suara rakyat untuk kepentingan segelintir elit yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan. Di negeri ini, misalnya, pernah ada usulan dana aspirasi Rp 15 miliar, dana akal-akalan dengan alasan pembinaan daerah pemilihan yang akan menguras Rp 8,4 triliun APBN. Ada pula rencana pembangunan gedung ‘miring’ DPR Rp 1,8 triliun yang kemudian dihentikan karena diprotes rakyat. Pada saat yang sama, angka pertambahan orang miskin di Indonesia dalam 3 tahun terakhir melonjak tajam. Berdasarkan data terakhir ADB orang miskin di Indonesia bertambah 2,7 juta orang (Detik.com, 26/10). Ini mencerminkan bahwa kebijakan yang mereka buat jauh dari kepentingan rakyat banyak.

Masalah TKI juga tak kunjung selesai. TKI di luar negeri ada 3.2771.584 orang. Jumlah itu tersebar di banyak negara.2 Jika ditambah yang ilegal, jumlah itu bisa lebih besar lagi. Dari jumlah itu mayoritasnya menjadi pekerja sektor informal, berpendidikan rendah, malah ada yang buta huruf. Penempatan TKI di sektor informal masih mendominasi hingga 78 persen, dan yang paling banyak menjadi pembantu rumah tangga.

Puluhan ribu orang dari para TKI itu harus menghadapi masalah seperti PHK sepihak, sakit akibat kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, dokumen tidak lengkap, sakit bawaan, majikan bermasalah, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, majikan meninggal, TKI hamil, komunikasi tidak lancar, tidak mampu bekerja, pulang bawa anak karena perkosaan dan hubungan tak sah, dan lain-lain. Tidak sedikit yang menghadapi kekerasan, penyiksaan bahkan hingga meninggal. Sebagian lain dihukum mati.


2. Ketidakmandirian ekonomi dan politik.

Republik Turki sekular yang berbasis ekonomi liberal memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan (dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2010 mencapai 8,9%). Namun ironisnya, prosentase orang Turki yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dari 17,79 persen menjadi 18,08 persen (12,75 juta orang) pada tahun 2008. Ketika pertumbuhan meningkat namun angka kemiskinan juga meningkat, maka ini menunjukkan adanya jurang kesenjangan antara kaya dan miskin yang semakin dalam.

Senada dengan kesenjangan ekonomi Turki, akumulasi kekayaan 10% orang terkaya Indonesia merupakan 65,4 persen total kekayaan penduduknya. Sebanyak 2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 46 persen aset nasional.3

Dalam hal perundang-undangan, rakyat sampai saat ini terus diancam teror kenaikan listrik, BBM, air dan mahalnya biaya pendidikan dengan adanya undang-undang pro pasar yang sarat dengan intervensi asing.

Di bidang pendidikan, salah satu masalah utama pendidikan di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan. Hal tersebut tidak terlepas dari rekomendasi liberalisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan dari UNESCO tentang HELTS (Higher Education Long-term Strategy) dan WTO tentang GATS (General Agreement on Trade in Services), yang harus diratifikasi oleh Indonesia sebagai anggota PBB dan WTO (World Trade Organization). Jelas, pengelolaan pendidikan di Indonesia saat ini di-drive menuju sekularisasi, liberalisasi dan kapitalisasi sesuai arahan pasar global yang dikendalikan oleh negara-negara kapitalis.


3. Kegagalan politik.

Kegagalan demokrasi dalam mewujudkan sistem politik yang bersih dan sehat tampak pada mahalnya biaya Pemilu dan Pilkada. APBN 2008 mengalokasikan dana untuk keperluan penyelenggaraan Pemilu 2009 sebesar Rp 6,67 Triliun dan operasional KPU Rp 793,9 Miliar. Sepanjang tahun 2010 dilangsungkan sekitar 244 Pilkada dengan biaya kurang lebih Rp 4,2 Triliun. Hasilnya, selama 2010 tercatat 144 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka, kebanyakan kasus korupsi.

Jika Pemilu 2004 dana sumbangan dari perusahaan dibatasi maksimal Rp 1 Miliar, Pemilu 2014 nanti diperbolehkan sampai Rp 7,5 Miliar. Adapun sumbangan perseorangan dapat ditransfer langsung ke rekening partai sampai Rp 1 Miliar. Karena itu, masuk akal jika kemudian parpol didominasi oleh mereka yang memiliki modal besar (para kapitalis). Tentu karena mereka pada umumnya menyumbang kepada parpol imbalannya berupa kebijakan yang menguntungkan bagi mereka saat parpol tersebut duduk di kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Dalam kondisi tersebut, tampaknya segala usaha pemberantasan korupsi akan menemui jalan buntu karena justru negaralah yang menjadi pelaku korupsi (korupsi negara), sedangkan biangnya adalah sistem demokrasi.


4. Kegagalan sistem sosial.

Sistem demokrasi dalam bidang sosial melahirkan kebebasan. Paham Liberalisme yang diagung-agungkan itu tidak menciptakan masyarakat yang beradab, tetapi malah melahirkan masyarakat yang tak beradab. Kemaksiatan merajalela, tingkat kriminalitas yang tinggi, tingkat kriminalitas yang tinggi. Meski UU Pornografi telah diundangkan, faktanya itu seperti macan ompong. Seks bebas seperti telah menjadi biasa. Sebanyak 52% remaja di Kota Medan mengaku pernah berhubungan seks di luar nikah. Selain itu, sebanyak 51% terdapat di Jabotabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), 47% terdapat di Bandung dan 54% di Surabaya yang remajanya pernah melakukan hubungan seks pranikah.4 Sementara itu, data kasus yang terlaporkan telah terjadi 40 pemerkosaan di Jakarta sepanjang tahun 2011 dan lebih dari 3700 kejadian di seluruh Indonesia.

Ternyata kebebasan yang dilahirkan dari rahim demokrasi menimbulkan problem maraknya kejahatan seksual. Hal ini hampir menyerupai apa yang sudah lazim terjadi di berbagai negara kampium demokrasi kapitalis Barat semisal Inggris dan Amerika Serikat. Di sana bisa terjadi 78 kasus pemerkosaan setiap jamnya, atau 683.280 kasus setiap tahun. Ini adalah fenomena mengerikan yang menyuguhkan potret masyarakat yang rusak dengan hancurnya moralitas, kemaksiatan merajalela dan tingkat kriminalitas yang tinggi akibat penerapan sistem demokrasi.


Penutup

Sebenarnya sistem demokrasi menyimpan cacat bawaan, yaitu adanya kedaulatan (hak membuat hukum) di tangan rakyat, dengan asumsi suara rakyat adalah kebenaran, suara rakyat adalah suara Tuhan. Ironisnya, karena didukung oleh suara mayoritas maka perbudakan pada abad ke-19 di Amerika bagian selatan dikatakan benar oleh rakyat.

Karena itu, ketika negara imperialis Barat mengarahkan agar sistem demokrasi yang mempunyai cacat bawaan itu digunakan untuk melakukan perubahan masyarakat di wilayah Timur Tengah saat ini dan negeri-negeri Muslim lainnya, sudah pasti bakal mengalami gagal total.

Perubahan hakiki tidak akan terjadi hanya dengan mengganti satu agen dan agen lainnya, bukan pula mengganti konsitusi sekular yang satu dengan konstitusi sekular yang lainnya, bahkan hanya dengan tambal sulam dengan syariah Islam yang digunakan sekadar sebagai kosmetik dan pewarna atau alat legitimasi saja. Perubahan yang sejati hanya akan terjadi ketika umat Islam bergerak dengan tuntunan yang telah diatur oleh syariah dalam satu pikiran, perasaan dan aturan yang sama dengan tegaknya Khilafah Islam serta memilih pemimpin yang amanah. Perubahan sejati inilah yang akan membuat kaum Muslim dan kafir (dzimmi) aman dengan jaminan keamanan dan kesejahteraan Islam tanpa diskriminasi.

Dalam bidang ekonomi syariah Islam juga menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Barang tambang yang melimpah (emas, perak, minyak dll), air, hutan dan listrik merupakan milik umum yang digunakan untuk kepentingan rakyat; tidak boleh diberikan kepada swasta atau individu. Dengan cara seperti ini Khilafah akan mensejahterakan masyarakat, yang gagal diwujudkan oleh sistem demokrasi.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Muhammad Sholahuddin, S.E., M.Si.]

Penulis adalah Anggota Lajnah Khusus Intelektual Hizbut Tahrir Indonesia-Soloraya


Catatan Kaki:

1 www.maannews.net;25/10.

2 Pidato Presiden RI, Forging A New Global Employment Framework for Social Justice and Eguality, di konferensi ILO di Jenewa Swiss (Tempointeraktif, 19/11/10).

3 The World Distribution of Household Wealth yang dirilis oleh Center for Global, International and Regional Studies, University of California, Santa Cruz, Amerika Serikat, 28 November 2007.

4 Kepala BKKBN Pusat, Sugiri Syarif saat memberikan kuliah umum bagi mahasiswa di Unimed, Rabu(Kapanlagi.com, 13/5). Data tersebut berdasarkan hasil penelitian survei DKT Indonesia, PKBI Rakyat Merdeka, Komnas PA dan analisis SKRRI 2002.