HTI

Ibrah (Al Waie)

Kerja Keras

Al-Kitab khayru jalis[in] (Buku adalah kawan duduk terbaik),” demikian kata Imam al-Ghazali. Apa yang beliau ungkap tidaklah berlebihan. Sebab, saat kecil, saat anak-anak lain sebayanya bermain-main, al-Ghazali kecil konon malah sering ’bercengkerama’ dengan buku. Karena itu, wajarlah jika al-Ghazali kemudian tumbuh dalam suasana intelektual dan keilmuan yang sangat kental. Beliau lalu menjelma menjadi ulama besar yang disegani dan penulis buku yang mumpuni. Tak kurang dari 100 judul buku lahir dari tangan kreatifnya.

Sama dengan al-Ghazali, Imam al-Bukhari, ulama terkemuka di bidang hadis, juga sejak kecil dididik dalam suasana keagamaan dan keilmuan yang kental. Wajar jika dalam usia 10 tahun, al-Bukhari kecil sudah tertarik dengan ilmu hadis yang sulit dan rumit itu. Dengan berguru kepada banyak ulama besar pada zamannya, dalam usia 16 tahun beliau sudah hapal dan menguasai sejumlah kitab. Lalu pada usia 18 tahun beliau mampu menerbitkan kitab pertamanya, Qudhaya ash-Shahabat wa at-Tabi’in. Kemudian bersama gurunya Syaikh Ishaq, al-Bukhari menghimpun satu juta hadis dari 80.000 perawi dalam satu kitab, yang pada akhirnya, setelah disaring secara ketat, hanya tinggal 7.275 hadis.

Imam al-Bukhari memang memiliki daya hapal tinggi. Ini diakui oleh kakaknya, Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah al-Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah ulama Balkh. Tidak seperti murid lainnya, al-Bukhari tidak pernah membuat catatan. Karena itu, ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat.

Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, al-Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah tersebut. Tercenganglah mereka semua lantaran al-Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 hadis, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Karena ketinggian ilmunya, amat wajar jika Imam al-Bukhari mampu melahirkan banyak karya, khususnya di bidang hadis. Selain kitab di atas, karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash-Shahih, Al-Adab al-Mufrad, At-Tarikh as-Shaghir, At-Tarikh al-Awsat, At-Tarikh al-Kabir, At-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Kitab al-‘Ilal dan puluhan kitab lainnya.

Pendahulu Imam al-Bukhari, yakni Imam Syafii, tak kalah istimewanya. ‘Pendekar fikih’ ini, saat berusia 9 tahun telah menghapal seluruh ayat al-Quran. Setahun kemudian, kitab Al-Muwatha’ karya Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga berhasil beliau hapal. Dengan berguru kepada banyak ulama besar pada masanya, wajar jika dalam usia yang sangat muda (15 tahun), ia telah duduk di kursi mufti kota Makkah.

*****


Mungkin selama ini kita beranggapan, wajar saja Imam Syafii, Imam al-Bukhari, Imam al-Ghazali, dll menjadi ulama besar karena mereka adalah orang-orang jenius yang dianugerahi kecerdasan luar biasa oleh Allah SWT. Anggapan ini tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, sesungguhnya ada aspek lain yang lebih luar biasa dari diri mereka, yakni: kerja keras dalam belajar dan menuntut ilmu. Itulah sesungguhnya yang mengantarkan sosok-sosok di atas menjadi figur-figur terkemuka dalam hal keilmuan.

Tengoklah Sahabat Nabi saw. yang mulia, Abu Hurairah ra., misalnya, jauh sebelum para ulama terkemuka di atas. Beliau menghapal hampir seluruh hadis Nabi saw. Semua itu adalah hasil kerja kerasnya dalam membagi waktu malamnya menjadi tiga: untuk shalat malam, menghapal dan sedikit untuk tidur.

Generasi setelahnya, Ahmad bin Hanbal, menghapal sekitar 1.000.000 hadis dan menulis 40.000 hadis dalam Musnad-nya. Ibn Hibban meriwayatkan hadis dari 2000 syaikh/ulama besar. Jarir bin Abdillah ra. pernah pergi ke Mesir selama satu bulan hanya untuk mencari satu hadis.

Ulama besar lain, Al-Muzni, mengulang-ulang membaca dan mengkaji Ar-Risalah karya Imam Syafii sebanyak 500 kali. Abu Ishaq asy-Syirazi mengulang setiap bab pelajarannya tak kurang dari 100 kali. Karena kebiasaannya itu, wajar jika ia mampu mengarang tak kurang dari 100 judul buku.

Karena kerja kerasnya dalam belajar pula, Imam Ibn Taimiyah sudah bisa berfatwa pada usia 18 tahun. Beliau pun sanggup menulis 4 buku dalam sehari, karena ia memang mampu menulis satu buku hanya dalam satu kali duduk.

Karena kerja keras dalam menuntut ilmu pula, Ibn Jarir sanggup menulis 100 ribu halaman, Ibn al-Jauzi sanggup menulis 1000 judul buku dan Ibn al-Anbari sanggup menghapal 400 kitab tafsir (Lihat: Aidh al-Qarni, Miftah an-Najah, hlm. 13).

Bagaimana dengan Imam al-Bukhari? Beliau ternyata pernah mengulang-ulang dan mengkaji Ar-Risalah karya Imam Syafii sebanyak 700 kali! Kerja keras beliau juga tercermin dari apa yang pernah beliau ungkapkan, “Aku menyusun kitab Al-Jami’ yang dipilih dari 600.000 hadis selama 16 tahun!”

Bagaimana dengan Imam Syafii sendiri? Meski sudah menjadi mufti pada usia 15 tahun, beliau tak pernah puas menuntut ilmu. Begitu kerasnya beliau menuntut ilmu sehingga guru-guru beliau banyak jumlahnya, hampir setara dengan jumlah murid-muridnya!

*****


Merenungkan fenomena kehebatan para ulama di atas, mungkin benar kata Thomas Alfa Edison, sukses itu 1% bakat/kecerdasan, 99% sisanya adalah kerja keras. Adagium ini ia buktikan sendiri. Konon Edison menjadi penemu lampu pijar (listrik) setelah melakukan percobaan tidak kurang 1000 kali!

Kata-kata bernas Edison di atas sering dikutip oleh para motivator dan trainer saat ini. Sayang, kata-kata sarat hikmah ini sering hanya dikaitkan dengan orientasi-orientasi yang berdimensi duniawi dan profan; jarang dikaitkan dengan orientasi-orientasi yang lebih berdimensi agamis dan keilmuwan. Padahal apa yang ditegaskan Edison sebenarnya telah dipraktikan oleh para ulama besar Islam generasi salafush-shalih terdahulu, sebagaimana sedikit kisahnya terpapar di muka.

Bagaimana dengan kita? Berapa puluh atau ratus kali kita mengulang membaca Kitab Nizham al-Islam, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, dan puluhan kitab lainnya yang merupakan aset berharga yang kita miliki? Tampaknya, mayoritas kita telah merasa cukup kitab-kitab itu dikaji satu atau dua kali hanya dalam halaqah mingguan. Pantaslah jika kita tak akan pernah bisa menjadi orang-orang hebat seperti mereka.

Wama tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*