Salah satu perkara penting yang harus ditumbuhkan dan diperkuat di tengah-tengah umat adalah kesadaran politik (al-wa’yu as-siyasi). Muhammad Muhammad Ismail dalam kitabnya Al-Fikr al-Islami mendefinisikan kesadaran politik sebagai upaya manusia untuk memahami bagaimana memelihara urusannya. Kesadaran politik juga berarti an-nadzrah ila ‘alam min zawiyat[in] khashshah (pandangan yang universal/global dengan sudut pandang yang khas).
Karena itu, kesadaran politik tidak akan sempurna kecuali terpenuhi dua unsur: Pertama, pandangan universal/global (an-nadzrah ‘ila al-‘alam). Sebagai contoh, kita tidak bisa melihat Obama sekadar dari sisi personalnya. Obama harus dilihat sebagai kepala negara Amerika. Amerika adalah negara pengemban utama ideologi Kapitalisme yang menggunakan penjajahan sebagai metode untuk menyebarluaskan dan mempertahankan ideologinya.
Kita juga tidak boleh tertipu dengan tindakan Amerika di Indonesia yang terkesan menampilkan wajah ramah. Kita justru wajib melihat bagaimana kebijakan politik luar negeri Amerika secara menyeluruh di negeri-negeri Islam. Bagaimana Amerika menduduki Irak dan membunuh hampir satu juta kaum Muslim di sana. Bagaimana Negara Paman Sam itu menjajah Afganistan. Obama bahkan mengirim 30 ribu pasukan tambahan di Afganistan. Ribuan kaum Muslim pun terbunuh karena tindakan keji Amerika.
Penting juga melihat bagaimana Amerika memecah-belah negeri-negeri Islam, seperti Sudan, termasuk di Indonesia dengan lepasnya Timor Timur. Bagaimana pula Amerika mendukung secara penuh dan membabi buta tindakan entitas Zionis Israel yang secara buas membunuh kaum Muslim di Palestina secara sistematis dengan menggunakan peralatan canggih bantuan Amerika.
Kedua, sudut pandang yang khas (min zawiyat[in] khashshah). Dalam Islam, kesadaran politik bukanlah sebatas sadar akan situasi politik, posisi politik, atau peristiwa-peristiwa politik. Semua itu belum cukup jika belum didasarkan pada sudut pandang (ideologi) tertentu. Inilah yang akan mengarahkan sikap politik sebuah umat. Kesadaran politik seperti ini akan bersifat permanen.
Dalam Islam, sudut pandang yang khas itu adalah mabda’ (ideologi) Islam yang muncul berdasarkan akidah Islam. Berdasarkan mabda’ Islam, umat akan selalu mengaitkan persoalan politik umat dengan Islam, menyelesaikan urusan-urusan umat berdasarkan Islam serta menjadikan syariah sebagai standar dalam menilai segala peristiwa politik yang terjadi.
Dengan sudut pandang yang khas ini sikap politik kita menjadi jelas. Kita bisa menentukan status negara Amerika sebagai negara muharib[an] fi’l[an], negara kafir yang secara langsung memerangi umat Islam. Dalam Islam, hubungan dengan negara muharib[an] fi’l[an] adalah hubungan perang. Karena itu, tidak boleh kita melakukan hubungan diplomatik dan perdamaian apapun dengan negara itu sampai negara itu menghentikan pembunuhannya terhadap umat Islam. Allah SWT dengan tegas telah melarang kaum Muslim mengambil musuh Allah dan musuh umat sebagai teman dekat (Lihat: QS Ali Imran [3]: 118). Bahkan sekadar cenderung saja kepada orang-orang yang zalim merupakan dosa besar (Lihat: QS Hud [11]: 113)
Inilah yang mendasari sikap Sufyan ats-Tsauri saat seorang penjahit meminta nasihat kepada beliau: bolehkah menjahitkan pakaian Hajjaj Yusuf ats-Tsaqafi seorang panglima perang yang zalim. Dengan tegas Sufyan ats-Sauri melarangnya. Subhanallah! Menjahit pakaian orang yang zalim saja dilarang, apalagi menerima dia dengan lapang dada, bermanis muka, bahkan rela dengan kebijakan penjajahannya!
Kewajiban memiliki pandangan universal ini merupakan tuntutan syariah Islam yang memandang umat Islam sebagai satu umat. Rasulullah saw. menggambarkan umat Islam seperti tubuh yang satu; jika satu bagian tubuh sakit, maka tubuh yang lain tentu saja akan merasakan sakit. Karena itu, sakitnya saudara kita di Palestina yang dibunuh oleh Zionis Israel adalah sakitnya kita juga. Kesedihan anak-anak dan para wanita, yang ditinggal oleh ayah dan suami mereka di Irak dan Afganistan karena kekejian Amerika adalah kesedihan kita juga!
Kesadaran politik umat berdasarkan Islam akan membangun umat dengan karakteristik yang istimewa dan khas. Berdasarkan ini umat Islam wajib menyakini bahwa hanya Islam yang bisa menyelamatkan seluruh dunia ini. Krisis dunia sekarang tidak akan bisa diselesaikan dengan sistem Kapitalisme. Justru sistem Kapitalismelah yang menjadi biang kerok persoalan dunia saat ini. Yang bisa menyelesaikannya hanyalah syariah Islam, yang bersumber dari Allah SWT.
Umat juga wajib meyakini bahwa untuk mewujudkan seluruh syariah Islam secara sempurna tidak akan bisa dilakukan tanpa keberadaan Daulah Islam (Daulah Khilafah). Tanpa Daulah Khilafah, keinginan menjadikan Islam sebagai solusi bagi dunia adalah omong kosong belaka. Tanpa Daulah Khilafah keinginan untuk menjadi negara adidaya dunia hanyalah isapan jempol. Tanpa Daulah Khilafah umat tidak akan ada yang menyatukan dan melindungi mereka. Sebagaimana yang dinyatakan oleh HOS Tjokroaminoto, umat Islam tanpa Khilafah seperti manusia tanpa kepala!
Kesadaran politik akan mendorong umat berjuang mewujudkan Islam dalam kehidupan yang nyata dengan menegakkan kembali Khilafah Islam.
Muhammad Ismail menyimpulkan cerminan kesadaran politik umat akan tampak dari tiga perkara yang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pertama: Adanya perhatian terhadap kepentingan umat dengan perhatian yang sempurna. Karena itu, seorang Muslim dalam doanya akan senantiasa memohon, “Ya Allah, berikanlah rahmat (karunia)-Mu kepada umat Islam,” sebagaimana ia berdoa untuk dirinya sendiri: “Ya Allah, berikanlah rahmat (karunia)-Mu kepada diriku.”
Kepeduliannya terhadap umat akan tampak dalam perkataannya seperti: “Apakah tentara Islam mendapat kemenangan?” sebelum ia menanyakan keadaan anaknya yang ada di antara tentara itu (selamat atau gugur).
Kedua: Adanya kesatuan pandangan dan kedisiplinan terhadap hal-hal yang wajib dilawan atau dimusnahkan, juga terhadap hal-hal yang wajib dibangun dan ditumbuhkembangkan, baik berupa pemikiran, kegiatan/aktivitas, atau sosok pribadi manusia.
Ketiga: Menjadikan ketaatan sebagai watak dan menilai sikap penolakan terhadap suatu perintah sebagai perbuatan keji. Tunduk kepada musuh bukanlah suatu ketaatan. Menghadapi penyimpangan (yang dilakukan penguasa), bukanlah suatu pembangkangan. Ketaatan adalah melaksanakan perintah orang yang berhak untuk ditaati dengan penuh ketundukan, keridhaan dan ketenteraman. Adapun pembangkangan adalah kebalikan dari semua itu. [Farid Wadjdi]