HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

Lima Keutamaan

(al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-23)

اَلطُّهُورُ شَطْرُ اْلإِيْمَانِ وَالْحَمْدُ ِلهِِ تَمْلأ الْمِيزَانَ وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِلهِl تَمْلآنِ – أَوْ تَمْلأ – مَا بَيْنَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا

Kesucian itu separuh keimanan, al-hamdu lilLâh memenuhi (memberatkan) timbangan, subhânallâh wa al-hamdu lillâh memenuhi ruang antara langit dan bumi, shalat adalah nûr, sedekah adalah burhân dan sabar adalah dhiyâ’ dan al-Quran itu adalah hujjah untuk (membela)-mu atau menentangmu. Setiap manusia berusaha sepanjang hari, lalu dia menjual dirinya hingga dia menyelamatkan dirinya atau mencelakakan dirinya (HR Muslim, Ahmad dan ad-Darimi).


Sabda Nabi saw. ini mengandung lima poin. Pertama: ath-thuhûr syathru al-îmân. Menurut mayoritas penafsiran para ulama, yang dimaksud dengan ath-thuhûr adalah thaharah dan tathahhur (menyucikan diri). Sebab, redaksi fu’ûl itu menunjuk pada perbuatannya. Dalam hal ini maksudnya ada dua: (1) Membersihkan diri dari kesyirikan dan najis maknawi seperti dalam firman Allah dalam surat al-A’raf: 82 dan an-Naml: 56: Innahum unâsun yatathahharûn (Mereka adalah orang-orang yang membersihkan diri). Jadi yang dimaksud adalah thaharah hati, jawarih dan lisan dari keharaman dan dari meninggalkan kewajiban. Itu adalah separuh dari manifestasi iman. Sebab manifestasi iman itu ada dua: fi’l[un] (melakukan) dan tark[un] (meninggalkan). Thaharah adalah tarkun, yaitu membersihkan hati dan jawarih serta lisan dari apa yang diharamkan oleh Allah. Karenanya, ath-thuhûr adalah separuh dari iman. (2) Membersihkan diri dari najis hakiki. Itu adalah separuh iman karena Allah SWT menyebut shalat sebagai iman (secara majazi) seperti dalam surat al-Baqarah: 143. Thaharah merupakan syarat bagi shalat; shalat tidak sah tanpa thaharah. Penafsiran ini dikuatkan oleh ungkapan at-Tirmidzi: al-wudhû syathru al-îmân…; dan ungkapan an-Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban: isbâgh al-wudhû’ syathru al-îmân

Kedua: al-Hamdu lilLâh tamla’ al-mîzân wa subhânalLâh wa al-hamdu lilLâh tamla’âni mâ bayna as-samawât wa al-ardhi. Tahmid adalah penisbatan dan penetapan segala pujian hanya untuk Allah SWT dengan menetapkan segala kesempurnaan dan sifat sempurna kepada-Nya. Tasbih maknanya adalah penyucian (tanzîh) Allah SWT dari segala kekurangan dan sifat kurang. Cakupan tahmid dan tasbih kepada Allah itu setidaknya atas rububiyah, uluhiyah, asma’ wa shifat-Nya; atas al-Quran sebagai firman-Nya; atas ketentuan, ketetapan dan hukum kauniyah-Nya, dan atas ketentuan syariah-Nya, termasuk penetapan hak menentukan halal dan haram. Karena itu, kalimat tahmid dan tasbih masing-masing mendatangkan pahala besar yang akan memberatkan timbangan amal baik di Yaum al-Hisab. Apalagi jika ucapan tahmid dan tasbih itu disatukan, maka pahalanya sangat besar, yang seandainya berwujud fisik akan memenuhi ruang antara bumi dan langit. Kesempurnaan pahala atas ucapan tahmid dan tasbih seperti itu akan tercapai jika disertai dengan mendalami dan meresapi maknanya tersebut.

Ketiga: ash-shalât nûr, wa ash-shadaqah burhân wa ash-shabru dhiyâ’. Nûr, burhân dan dhiyâ’ adalah tiga tingkatan cahaya. Jika cahaya itu menerangi disebut nûr, dan jika nûr disertai kekuatan menyilaukan disebut burhân, dan jika burhân disertai kekuatan membakar, disebut dhiyâ’. Jadi burhân lebih kuat dari nûr tetapi lebih lemah dari dhiyâ’. Shalat disifati sebagai nûr karena di dalam shalat itu harus diberikan apa yang diperlukan oleh shalat dengan kerelaan dan tuma’ninah. Sedekah merupakan burhân karena bentuknya mengeluarkan harta, sesuatu yang disukai nafsu, dan untuk itu memerlukan pengorbanan lebih. Sabar merupakan dhiyâ’ karena di dalam sabar itu beban dan pengorbanannya lebih besar lagi.

Shalat merupakan nûr, juga karena bisa menghalangi dari kemaksiatan, mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan menunjuki pada yang benar. Shalat juga akan menjadi cahaya di akhirat yang memancar dari wajah orang yang shalat. Hal itu mungkin juga tampak di dunia pada wajah orang yang menegakkan shalat.

Sedekah merupakan burhân. Maknanya, sedekah itu akan mengejutkan seperti halnya burhan, seakan hamba yang bersedekah itu, jika ditanya pada Hari Kiamat tentang pembelanjaan hartanya, sedekah itu akan menjadi burhan dalam jawaban pertanyaan itu. Bisa juga maknanya bahwa sedekah itu menjadi bukti keimanan pelakunya karena orang munafik enggan bersedekah karena tidak meyakininya.

Adapun sabar secara bahasa adalah al-habsu (menahan). Sabar itu dalam tiga hal: sabar di atas ketaatan; sabar dari berbagai kemaksiatan; sabar dalam menghadapi qadha’ dan penderitaan. Dengan kata lain sabar mencakup sabar dalam menahan lahir dan hati agar tetap di atas ketaatan, menahannya dari berbagai kemaksiatan serta menahannya untuk tetap ridha terhadap qadha’ Allah dan musibah (penderitaan).

Keempat: Al-Quran itu adalah hujjah untuk (membela)-mu atau menentangmu. Maknanya, engkau akan mendapat manfaat darinya jika engkau mengikutinya dan beramal sesuai dengannya. Jika tidak maka al-Quran akan menjadi hujjah menentangmu. Nabi saw. bersabda, “Siapa yang menjadikan al-Quran di depannya (pemimpinnya), ia akan menuntunnya ke surga. Siapa yang menjadikan al-Quran di belakangnya, ia akan menjebloskannya ke neraka.” (HR Ibn Hibban dan al-Baihaqi).

Kelima, Setiap manusia berusaha sepanjang hari; dia menjual dirinya maka dia menyelamatkan dirinya atau mencelakannya. Maknanya, siapa yang berjalan dalam ketaatan kepada Allah SWT ia telah menjual dirinya kepada Allah SWT dan membebaskan dirinya dari azab-Nya. Sebaliknya, siapa yang berjalan dalam kemaksiatan kepada Allah SWT, ia telah menjual dirinya dengan kebinasaan atau menjebloskan dirinya dengan dosa yang mendatangkan kemurkaan dan sanksi dari Allah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*