HTI

Iqtishadiyah

Memahami “Occupy Movement”

Ketidakpuasan terhadap sistem Kapitalisme di Barat telah mencapai titik kritis. Hanya dua bulan yang lalu, suatu kelompok orang yang relatif kecil dengan sekitar 2.000 orang berbaris di sepanjang Wall Street di New York untuk memprotes ketidakadilan politik dan ekonomi di Amerika. Sejak itu “Occupy Movement” telah menjalar ke seluruh dunia, dengan mengorganisasikan protes di lebih dari 1.500 kota di seluruh dunia terhadap kontrol yang dilakukan oleh orang-orang superkaya terhadap politik dan ekonomi.

Seorang ekonom pemenang hadiah Nobel bernama Joseph Stiglitz pada bulan Mei tahun ini menulis sebuah artikel untuk mengkritik keadaan umum politik dan ekonomi di Amerika. Dia menamakannya dengan “dari 1%, oleh 1%, untuk 1%”. Ia dengan tepat mempermainkan deskripsi terkenal oleh Abraham Lincoln tentang demokrasi Amerika sebagai pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” yang menggambarkan realitas sistem politik di Amerika Serikat. (www.vanityfair.com/society/features/2011/05/top-one-percent-201105).

Singkatnya, kritik Stiglitz, proses politik “demokrasi” di Amerika sepenuhnya dikendalikan hanya oleh sekelompok kecil orang, yakni 1% dari orang-orang superkaya, yang menggunakan pengaruh politik mereka untuk memastikan bahwa ekonomi Amerika diatur sedemikian rupa sehingga mereka merupakan penerima manfaat yang utama.

Sebagai seorang ekonom akrab dengan statistik ekonomi, Stiglitz tahu apa yang ia bicarakan:

Antara tahun 1979 hingga 2007, pendapatan kelas menengah keluarga di Amerika tumbuh sebesar 40%, sementara pendapatan masyarakat miskin Amerika mencapai 20%. Namun, pada saat yang sama, pendapatan dari orang-orang superkaya yang merupakan 1% dari jumlah penduduk Amerika secara mengejutkan naik 275%! Hasil dari hal ini adalah bahwa pada hari ini, pendapatan yang diterima oleh 20% orang-orang terkaya di Amerika adalah lebih tinggi dari pendapatan 80% penduduk Amerika lainnya (http://rwer.wordpress.com/2011/10/27/the-upward-redistribution-of-income-in-the-united-states-1979-to-2007/).

Sementara Amerika tetap merupakan negara terkaya di dunia, hal ini telah menjadikan sejumlah besar orang Amerika berada dalam jurang kemiskinan yang dalam. Sebagai contoh, sekitar 17 juta rumah tangga Amerika (14,5%) merupakan penduduk yang “rawan pangan”, yang berarti bahwa pendapatan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. (www.worldhunger.org/articles/Learn/us_hunger_facts.htm)


Mustahil membayangkan bahwa konsentrasi kekayaan ini dapat dicapai tanpa dukungan pemerintah atau—dengan kata lain—tanpa pembuatan undang-undang yang menguntungkan orang-orang yang sudah kaya dan makmur. Mungkin merupakan contoh terbaik dan paling terbaru dari undang-undang tersebut adalah pemotongan pajak yang dilakukan Presiden Bush II dari tahun 2001 hingga 2003, yang secara signifikan menurunkan beban pajak bagi orang-orang superkaya. Padahal sebelum zaman Presiden Bush II, keluarga superkaya Amerika telah diuntungkan oleh undang-undang pajak AS sehingga mereka bisa menggunakan tarif pajak yang lebih rendah karena penghasilan dari investasi (darinya si kaya mendapatkan sebagian penghasilan mereka) daripada penghasilan dari tenaga kerja (darinya masyarakat lain mendapatkan sebagian pendapatan mereka). Presiden Bush II lebih lanjut memberikan perlakuan istimewa bagi orang-orang kaya, dengan memberikan pemotongan pajak bagi keluarga kelas menengah Amerika dengan rata-rata pemotongan sebesar $647; sementara para miliuner Amerika, yang merupakan 0,2% dari jumlah penduduk, mendapat rata-rata pemotongan pajak sebesar $123,600. (www.cbpp.org/cms/index.cfm?fa=view&id= 1811)

Menurut teori demokrasi, yakni “satu orang, satu suara”, undang-undang itu tentu saja seharusnya tidak boleh menguntungkan kaum kaya. Sebaliknya, undang-undang seharusnya diharapkan berpihak kepada kaum miskin dan kelas menengah karena mereka merupakan jumlah terbesar dari penduduk. Namun, realitas sistem demokrasi ini tetap berbeda adalah suatu hal yang mudah dipahami.

Bagaimanapun, dalam sistem demokrasi, posisi resmi diberikan berdasarkan hasil Pemilu. Ini berarti bahwa para politisi yang menginginkan posisi resmi perlu mengatur kampanye Pemilu untuk bisa meyakinkan para pemilihnya bahwa mereka adalah orang-orang yang tepat untuk posisi itu. Biasanya, kampanye Pemilu itu membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk memberikan gambaran berapa banyak uang yang dikeluarkan, pada pemilihan presiden Amerika tahun 2008 lebih dari $5 miliar dihabiskan untuk dana kampanye Pilpres dan diperkirakan bahwa jumlah ini akan meningkat menjadi lebih dari $6 miliar untuk pemilu presiden tahun 2012 (www.reuters.com/article/2011/08/30/us-usa-campaign-spending-idUSTRE77T3ZX20110830).

Ini berarti bahwa dalam sistem demokrasi, setiap politisi bergantung pada uang agar bisa terpilih. Jadi, para politisi itu (baik laki maupun perempuan) terus menghamba agar bisa menyenangkan orang-orang yang memiliki uang sehingga menjadikan demokrasi suatu sistem,”satu suara, satu dolar” dan bukan “satu orang, satu suara”.

Pemusatan kekayaan dan kekuasaan di tangan hanya segelintir orang bukanlah merupakan fenomena orang Amerika saja. Dalam Global Wealth Report Bank Swiss, Credit Suisse, menghitung bahwa secara global 0,5% orang-orang terkaya di dunia memiliki 38,5% atas seluruh kekayaan, sementara 68% orang-orang termiskin memiliki 3,3% kekayaan (www.credit-suisse.com/news/en/media_release.jsp?ns=41874).

Di Indonesia diberitakan ada kekayaan dari 40 orang-orang terkaya Indonesia yang setara dengan kekayaan dari 60 juta penduduk termiskin, telah memicu kemarahan (www.thejakartaglobe.com/home/indonesia-should-be-ashamed-of-failure-to-reduce-poverty/474346).

Hal ini bukanlah merupakan suatu kasus yang luar biasa melainkan sebuah contoh khas dari sebuah negara kapitalis. Juga diakui, bahwa sementara para politisi itu banyak mengumbar janji selama masa kampanye pemilihannya, mereka biasanya hanya peduli pada kesejahteraan orang-orang superkaya yang merupakan sponsor mereka setelah mereka mulai berkantor. Untuk alasan itulah, pada tahun 2005 suatu jajak pendapat global yang dilakukan bersama BBC menemukan bahwa 65% penduduk dunia merasa bahwa negara-negara mereka dijalankan bagi kepentingan orang-orang superkaya itu dan bahwa hanya 13% dari rakyat yang percaya kepada para politisi mereka (www.bbc.co.uk/pressoffice/pressreleases/stories/2005/09_september/15/world.shtml).

Pada tanggal 17 Oktober 2011, fakta-fakta mengenai Kapitalisme demokratis itu membawa sekitar 2.000 orang turun ke jalan-jalan kota New York. Mereka mengatakan bahwa mereka mewakili 99% rakyat Amerika yang pada saat ini kepentingannya tidak diperhitungkan baik dalam bidang politik atau ekonomi. Para pendemo itu berjalan berbaris menuju Wall Street, yang merupakan pusat sektor keuangan Amerika, dan tidak mau meninggalkan tempat itu hingga hilangnya cengkeraman tangan besi dari orang-orang superkaya atas bidang politik dan ekonomi. Itulah alasan mengapa gerakan yang mereka mulai dinamakan “Occupy Wall Street (Duduki Wall Street)” dan “99% Movement (Gerakan 99%)”.

Pada tahap awal dari gerakan protes itu, sekitar 54% rakyat Amerika mengindikasikan bahwa mereka pada dasarnya setuju dengan para demonstran itu (www.en.wikipedia.org/wiki/Occupy_Wall_Street).

Dukungan ini tumbuh setelah Kepolisian New York (NYPD) mulai berhadapan dengan para demonstran. Pada tanggal 1 Oktober, misalnya, NYPD menggunakan semprotan lada untuk membubarkan para demonstran dan menangkap sekitar 700 orang dari mereka. Hal ini terjadi setelah terungkap bahwa NYPD mendapatkan hibah senilai $4,6 juta dari bank besar di Wall Street, yakni JP Morgan Chase sebelum protes itu mulai terjadi (www.nakedcapitalism.com/2011/10/is-jp-morgan-getting-a-good-return-on-4-6-million-gift-to-nyc-police-like-special-protection-from-occupywallstreet.html). Hal itu malah membantu menjadikan Occupation Movement (Gerakan Pendudukan) ini untuk segera menyebar ke seantero global. Pada hari ini, demonstrasi yang mirip seperti “Occupy Wall Street” ini sedang dan telah diselenggarakan di lebih dari 1.500 kota di seluruh dunia, seperti Washington D.C., Paris, London, Amsterdam, Berlin dan Tokyo. (www.occupytogether.org).

Pertanyaan yang mungkin diajukan adalah, mengapa orang-orang di Barat sekarang hanya turun ke jalan untuk memprotes melawan Kapitalisme, sementara ketidakadilan di dalam kapitalisme itu sendiri telah lama diketahui.

Pertama: hal ini karena selama waktu yang lama, fakta pemusatan kekayaan ini telah disembunyikan dari rakyat. Selama bertahun-tahun orang-orang kaya tumbuh menjadi lebih kaya dan sebagai akibatnya orang-orang lain menjadi semakin miskin. Faktanya, kaum miskin dan kaum kelas menengah meningkatkan pinjaman mereka untuk bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan standar hidup mereka. Karena itu, dari luar tampak seolah-olah sebagian besar rakyat terlihat baik-baik saja. Jadi, kebanyakan orang di Barat benar-benar mulai merasakan dampak pemusatan kekayaan pada saat hal ini tidak bisa dipertahankan lagi, yakni terjadi pada tahun 2007. Pada saat itu, peningkatan peminjaman yang terjadi selama beberapa dekade tiba-tiba berhenti pada saat orang banyak mulai berjuang untuk melunasi hutang mereka. Hal ini menyebabkan industri keuangan di Barat menjadi bangkrut sehingga mereka berhenti memberikan pinjaman. Karena itu, dalam waktu semalam banyak orang mengalami pindah dari situasi saat mereka menghabiskan uang lebih dari pendapatan mereka ke situasi saat mereka harus menghabiskan jauh lebih sedikit dari pendapatan mereka. Hal ini menyebabkan rakyat benar-benar merasakan dampak kecenderungan Kapitalisme terhadap pemusatan kekayaan. Inilah yang memberikan rasa ketidakpuasan yang kuat dalam diri mereka atas Kapitalisme.

Kedua: karena respon pemerintah Barat atas krisis kredit ini menunjukkan ke mana loyalitas mereka berada. Dalam ekonomi kapitalis, sepanjang kebanyakan investasi dan konsumsi dibiayai melalui pinjaman bank, kebangkrutan industri keuangan menyebabkan segala investasi dan konsumsi menjadi kering. Karena itu, pemerintah Barat merasa terpaksa untuk melakukan campur tangan di pasar uang, dan untuk ini hanya tersisa satu pilihan: Pertama, membantu rakyat yang daya dukungnya menjadi hancur karena pinjaman mereka tidak bisa dibayar, dan dengan demikian membantu bank. Kedua, mereka tidak mempedulikan rakyat dan langsung membantu bank. Dari perspektif rakyat, pilihan pertama jelas lebih baik, karena mereka semua akan terbantu. Namun, dari perspektif bank, pilihan kedua adalah lebih baik, karena bagaimanapun, jika pemerintah membantu rakyat keluar dari hutang, maka keuntungan bank akan tergerus selama tahun-tahun yang akan datang. Faktanya, pemerintahan Barat bertindak hanya untuk menyelamatkan bank-bank seraya meninggalkan rakyat yang membawa hutang mereka yang tidak bisa terbayarkan. Ini adalah salah satu tindakan yang paling jelas dari perlakuan istimewa bagi orang-orang superkaya yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Barat. Namun, seolah-olah hal ini belumlah cukup, karena tidak lama setelah bank-bank itu “diselamatkan” oleh pemerintah mereka, mereka mulai memberikan bonus bernilai miliaran dolar bagi para eksekutif mereka. Atas kedua hal yang terjadi secara bersama-sama inilah, rakyat mulai merasa jijik dengan sistem kapitalis yang menyebabkan hal ini terjadi.


Sejauh keprihatinan mengenai Eropa, ada penyebab tambahan, yakni setelah bank-bank itu telah ditalangi oleh pemerintah mereka, mereka kemudian berbalik dan mulai mengancam pemerintahan yang sama. Sebagai respon yang cepat atas hal itu, pemerintahan Eropa buru-buru menyajikan kebijakan baru untuk memastikan bahwa apapun yang terjadi, bank-bank akan terus menerima pembayaran yang jatuh tempo pada utang pemerintah. Jadi, mereka secara drastis memotong berbagai jenis pengeluaran, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun, sebagaimana dalam pemerintahan dengan ekonomi kapitalis, ketika pengeluaran merupakan sebagian besar dari total pengeluaran, maka hal ini menyebabkan kemerosotan ekonomi. Jadi, rakyat mulai kehilangan pekerjaan mereka, selain juga hidup mereka menjadi lebih mahal dan tunjangan bagi para pekerja dipotong.

Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa “Occupy Movement” merupakan ekspresi sentimen anti-kapitalis. Namun, tampaknya sangat tidak mungkin bahwa “Occupy Movement” ini akan membawa perubahan yang berarti. “Occupy Movement” tidak memiliki arah yang jelas, yaitu pada poin bagaimana memperbaiki situasi sekarang ini.

Sebagian orang menyerukan pengurangan penerapan sistem Kapitalisme, atau menyerukan adanya kontrol pemerintah yang lebih besar atas perekonomian. Namun, permintaan ini tidak realistis karena pemerintahan di dunia kapitalis berada di bawah kendali orang-orang superkaya. Paling tinggi apa yang mungkin terjadi adalah bahwa orang-orang superkaya itu akan setuju pada beberapa langkah-langkah tambal sulam untuk membatasi kebebasan mereka, tetapi hanya dalam rangka untuk menenangkan para pendemo itu dan melestarikan sistem akan terus mereka kontrol.

Sebagian peserta lain dalam “Occupy Movement” menyerukan penerapan Kapitalisme lebih lanjut sebagai solusi bagi masalah yang dihadapi saat ini. Namun, karena konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi merupakan karakteristik Kapitalisme, ini hanya akan menjadikan hal-hal tersebut menjadi lebih buruk lagi.

Namun, karena masalah-masalah politik dan ekonomi dunia saat ini merupakan hasil alamiah dari sistem kapitalis, perubahan apapun yang lengkap dan radikal tentang bagaimana dunia ini ditata oleh sistem kapitalisme, akan tetap meninggalkan dunia dalam keadaan seperti sekarang ini di mana rakyat dieksploitasi untuk keuntungan segelintir orang. [Idries de Vries]

Idries de Vries adalah seorang ekonom yang menulis tentang ekonomi dan geopolitik pada berbagai publikasi. Sebagai seorang management professional, ia telah tinggal dan bekerja di Eropa, Amerika dan Asia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*