HTI

Nisa' (Al Waie)

Menyoal Perceraian

Rumah tangga yang ideal, sakinah mawaddah wa rahmah, penuh dengan ketenangan dan kasih sayang di antara anggota keluarga merupakan dambaan setiap insan. Walaupun demikian, faktanya kadangkala keinginan ini sulit terwujud. Bahkan tidak sedikit rumah tangga yang kemudian berujung pada perceraian.


Fakta Perceraian Saat Ini

Memang, perceraian tidak dilarang dalam Islam sekalipun dibenci oleh Allah SWT. Nabi saw. bersabda, “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.” (HR Abu Dawud).

Pada masa Rasulullah saw. pun ada seorang perempuan yang meminta cerai dari suaminya dan diizinkan oleh Rasulullah beliau. Saat itu istri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi saw. seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur.” Rasulullah saw., bersabda, “Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepada dia?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia mengembalikan kebun itu kepada Tsabit dan dan Tsabit pun menceraikannya (HR al-Bukhari).

Karena itu, perceraian bukanlah hal yang terlarang karena memang secara faktual pun biduk rumah tangga tidak selalu tenang dan harmonis. Hanya saja, jika kasus perceraian yang terjadi hingga 10% dari jumlah pernikahan sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini, tentu saja tidak bisa dikatakan ‘wajar’ atau biasa. Ini menunjukkan, pernikahan seolah tidak lagi dianggap sesuatu yang bernilai ibadah.

Angka perceraian di Indonesia memang terbilang sangat tinggi, bahkan saat ini telah mencapai rekor tertinggi di Asia Pasifik. Dalam artikel di situs BKKBN, www.bkbn.go.id, jumlah perceraian di Indonesia pertahun mencapai 200.000 kasus; angka perkawinan mencapai 2 juta pasangan pertahun. Berdasarkan data tahun 2010 dari Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-Indonesia, ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian pertahun.

Data yang dilansir Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA) menyebutkan, dari 285.184 perkara perceraian, sebanyak 67.891 kasus karena masalah ekonomi. “Paling banyak di Jawa Barat sebanyak 33.684 kasus, disusul Jawa Timur, yaitu sebanyak 21.324 kasus, dan di posisi ke tiga Jawa Tengah dengan 12.019,” tulis MA (Detikcom, 3/7/2011). Di urutan kedua, pemicu perceraian adalah perselingkuhan sebanyak 20.199 kasus. Dari 10 keluarga bercerai, 1 di antaranya karena selingkuh; atau rata-rata setiap 2 jam ada tiga pasang suami-istri bercerai gara-gara selingkuh. Perceraian karena selingkuh itu jauh melampaui perceraian akibat poligami tidak sehat di Jawa Timur dengan 7.172 kasus, menyusul Jawa Barat sebanyak 3.650 kasus dan Jawa Tengah sebanyak 2.503. Adapun DKI Jakarta sebanyak 1.158 perceraian karena perselingkuhan.

Fakta lainnya, kekerasan fisik ternyata bukan menjadi pemicu utama sebuah perceraian, yaitu hanya 2.191 kasus. Pasangan lebih banyak bercerai karena dipicu api cemburu dibandingkan karena kekerasan sebanyak 10.029 kasus dengan Jawa Timur menempati posisi pertama, yaitu sebanyak 4.060 kasus. “Adapun poligami yang tidak sehat memicu 1.389 kasus perceraian di seluruh Indonesia,” tambah MA.

Yang lebih mencengangkan lagi, 75%-80% dari kasus perceraian ini diakibatkan oleh gugat cerai, yaitu perceraian yang diajukan oleh pihak istri. “Fenomena yang terjadi saat ini terbalik. Kalau dulu yang dominan suami menceraikan istri, kini 75% perceraian atas inisiatif istri yang menggugat cerai suaminya,” kata Nasaruddin Umar, Dirjen Bina Masyarakat Islam Departemen Agama.


Faktor Penyebab

Tingginya angka perceraian, termasuk pergeseran tren perceraian yang dominan diajukan oleh pihak istri, menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa dan ada apa? Pasalnya, selama ini biasanya kaum perempuan malah tidak mau diceraikan, walau ia sudah babak belur akibat dari perlakuan suami yang melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Ketakutan perempuan lebih disebabkan oleh ketidaksiapan  secara ekonomi, sosial dan psikologis. Lazimnya perempuan merasa malu menyandang status janda, apalagi jika mereka sudah memiliki anak. Belum lagi beratnya konsekuensi yang harus mereka tanggung seperti menjadi orangtua tunggal bagi anak-anak yang biasanya ikut ibu, karena umumnya anak-anak lebih dekat kepada ibunya daripada ayahnya.

Apakah ini sebagai dampak dari semakin tingginya kesadaran dan sensitifitas jender yang dipelajari oleh kaum perempuan? Sebagian kalangan berpendapat bahwa keberanian kaum perempuan menggugat cerai dari suami-suami mereka disebabkan oleh semakin tingginya pemahaman kaum perempuan akan hak-hak perempuan yang selama ini dikebiri. Kaum perempuan semakin sadar  bahwa sebagai manusia mereka memiliki kedaulatan atas tubuh mereka. Perempuan semakin sadar bahwa mereka memiliki hak yang harus mereka perjuangkan. Karena itu, mereka menyiapkan diri mereka secara psikologis, sosial dan ekonomi. Kesiapan ini juga yang membuat mereka semakin berani  memilih hidup berpisah daripada hidup bersama yang tidak harmonis. Menurut sumber dari Departemen Agama, dari kasus yang mereka tangani, diperoleh kesimpulan bahwa tingginya permintaan gugat cerai istri terhadap suami tersebut adalah akibat kaum perempuan merasa mempunyai hak yang sama dengan lelaki, atau akibat globalisasi sekarang ini, atau kaum perempuan sudah kebablasan.

Namun demikian, faktor penyebab utama tingginya angka perceraian dan gugat cerai sesungguhnya adalah karena tidak adanya penerapan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan sosial, yang include di dalamnya kehidupan berumah tangga dan berkeluarga.


Pandangan Islam

Islam memiliki pengaturan yang menyeluruh tentang kehidupan dan mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam urusan pernikahan dan rumah tangga/keluarga. Jika keluarga yang dibentuk dilandasi oleh pondasi yang kokoh, yaitu akidah Islam, diiringi dengan niat, cara, proses pernikahan yang sesuai dengan syariah Islam, maka keadaan sakinah mawaddah wa rahmah dengan izin Allah akan dicapai.

Hanya saja, memang pernikahan tidak selalu berjalan mulus, kadang diterpa cobaan. Cobaan adalah ujian harus dihadapi dengan kematangan sikap dan kematangan berpikir dan komunikasi yang baik.

Akan tetapi, sering badai perkawinan menerpa sedemikian hebatnya sehingga masing-masing pihak tidak bisa mempertahankan rumah tangga mereka lebih lama lagi dan perpisahan menjadi kehendak Allah yang harus dijalani. Dalam hal ini Islam pun telah mengaturnya dengan rinci. Islam telah menjadikan cerai di tangan suami. Banyak nash-nash yang menjelaskan tentang masalah perceraian (talak) ini, termasuk tatacaranya (Lihat antara lain: QS al-Baqarah [2]: 229 -230 dan ath-Thalaq [65]: 2).

Hanya saja, keberadaan talak di tangan suami sekaligus menjadi haknya semata, tidak berarti bahwa istri tidak boleh menceraikan dirinya sendiri dari suaminya dalam situasi-situasi tertentu. Syariah telah memberikan hak kepada seorang Istri untuk mengajukan kepada Qadhi (pengadilan) untuk memfasakh (membatalkan) pernikahannya dalam beberapa kondisi, yaitu:

1. Jika suami menyerahkan masalah talak kepada istrinya.

2. Jika istri mengetahui bahwa suaminya memiliki cacat yang menghalangi terjadinya hubungan suami-istri, seperti impoten atau telah dikebiri. Dalam kondisi ini, hakim akan menelusurinya selama setahun apakah ada kemungkinan untuk sembuh atau tidak.

3. Jika tampak pada suaminya mengidap suatu penyakit yang membahayakan atau berdampak buruk bagi istri. Dalam hal ini pun hakim akan menelusurinya selama setahun, apakah ada kemungkinan sembuh atau tidak

4. Jika suami mengalami gangguan jiwa atau gila setelah menikah.

5. Jika seorang suami melakukan perjalanan ke suatu tempat, baik dekat atau jauh, lalu menghilang dan tidak ada kabar berita, sehingga istri terhalang untuk mendapatkan nafkah.

6. Jika suami tidak memberi nafkah istrinya, padahal ia mampu, dan istrinya kesulitan mendapatkan nafkah dari suaminya. Dalam kondisi ini, jika istri menuntut fasakh, maka hakim wajib memfasakh pernikahannya dan memisahkannya dari suaminya tanpa menunda-nunda lagi.

7. Jika di antara suami-istri terjadi pertentangan dan persengketaan terus-menerus, yang mengakibatkan ketidak-tenangan dalam kehidupan pernikahannya. Dalam kondisi demikian, hakim akan mendatangkan hakam (juru damai) dari masing-masing pihak.


Mencegah Perceraian

Jika saja seluruh hukum Islam diterapkan di muka bumi ini, tentu kasus perceraian yang terus meningkat secara fantastis di negeri-negeri kapitalis tidak akan pernah terjadi. Sebab, setiap keluarga Muslim yang hidup di dalam sistem Islam akan berupaya maksimal untuk mempertahankan pernikahannya. Apalagi pernikahan berkaitan dengan kualitas generasi mendatang. Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dari pelaksana syariah Islam. Dari keluargalah akan lahir generasi yang kuat akidah dan akhlaknya untuk mewujudkan kembali Islam dalam sebuah negara. Maka dari itu, menjadi kewajiban setiap pasangan suami-istri untuk melanggengkan ikatan pernikahan dan kehidupan keluarganya dengan selalu terikat dengan hukum Allah SWT.

WalLahu a’lam. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*