Islamophobia dan sesat pikir tampaknya sudah sedemikan parah melanda negeri ini. Parahnya, itu terjadi pada figur-figur yang selama ini dianggap tokoh umat. Alih-alih berusaha menepis anggapan buruk tentang Islam, mereka justru larut dalam propaganda sesat itu. Salah satunya adalah pernyataan bahwa bila Islam dijadikan dasar negara ini dan syariah Islam diterapkan maka Indonesia bakal pecah.
Jika ada non-Muslim khawatir atas masa depan hidup mereka bila syariah Islam diterapkan, itu wajar belaka. Sebab, boleh jadi mereka memang tidak paham. Contohnya adalah seperti yang saya alami. Beberapa waktu lalu, datang kepada saya dua wartawan dari sebuah tabloid Kristen. Sebelum memulai wawancara, dengan terus-terang mereka menyampaikan kecemasan komunitas Kristiani atas sepak terjang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang tampak oleh mereka sangat gencar memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. Intinya, mereka sangat khawatir dipaksa masuk Islam, khawatir gereja-gereja mereka ditutup, khawatir tidak boleh makan babi dan minum-minuman beralkohol, serta takut perempuan mereka dipaksa memakai jilbab.
Saya katakan kepada mereka, itu tidak akan terjadi. Islam akan menghormati pilihan orang untuk tidak memeluk Islam, termasuk menghormati tempat-tempat ibadah mereka. Jangankan pada masa damai, pada masa perang saja gereja tidak boleh dijadikan obyek perang. Jika sekarang ada kisruh pendirian gereja, lalu ada sejumlah gereja yang dituntut ditutup, itu lebih karena faktor teknis administratif, bukan karena faktor teologis. Bila karena faktor teologis, mestinya seluruh gereja akan dituntut untuk ditutup. Mengenai daging babi atau minuman beralkohol, bila menurut agama Kristen halal, maka syariah tidak akan menghalangi mereka untuk mengkonsumsi, tetapi tentu saja tidak bisa dijualbelikan secara bebas di tengah-tengah kaum Muslim.
Mereka lantas mempersoalkan sejumlah perda (peraturan daerah) bernuansa syariah, seperti yang ada di Kabupaten Bulukumba. Saya mengatakan, ada masalah apa? Dari 4 Perda, tiga di antaranya, yakni Perda Busana Muslim, Perda Zakat dan Perda Pandai Membaca al-Quran, semua diperuntukkan hanya untuk Muslim. Apakah umat Islam di sana tidak boleh pandai membaca al-Quran, memakai busana Muslim dan membayar zakat? Memang satu Perda, yakni Perda Larangan Minuman Keras, itu berlaku umum. Namun, tahukah bahwa setelah Perda itu diterapkan, kriminilitas Kabupaten Bulukumba turun drastis hingga 80%. Kini daerah ini dikenal paling aman di wilayah Sulawesi Selatan. Semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, tentu diuntungkan dengan keadaan ini.
Oleh karena itu, tidak ada alasan sedikitpun buat komunitas non-Muslim, apalagi umat Islam, untuk menolak syariah. Apalagi menyatakan bahwa bila Islam dijadikan dasar negara ini dan syariah diterapkan maka Indonesia bakal pecah. Namun memang, isu seperti ini sesungguhnya bukanlah hal baru. Dalam kunjungan kerjanya di Amuntai, Kalimantan Selatan, pada Januari 1953, Presiden Soekarno juga pernah menyatakan hal serupa; jika negara berdasarkan Islam, akan terjadi separatisme di sejumlah daerah yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Pernyataan ngawur Soekarno itu segera mendapat tanggapan keras dari ayahanda Gus Dur, KH Wahid Hasyim, yang ketika itu dalam usia 31 tahun sudah menjadi ketua umum Nahdlatul Ulama. Kyai Wahid Hasyim menulis, “Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam, adalah perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan syariat Islam. Dan wajib bagi tiap-tiap orang muslimin menyatakan ingkar atau tidak setuju.” (Biografi KH Wahid Hasyim, Mizan, 2011).
Penolakan bukan hanya datang dari NU, tetapi juga dari organisasi Islam lain. Namun, peran KH Wahid Hasyim dalam hal ini tampak sangat menonjol. Dia pula yang dalam Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan tegas mengajukan dua poin untuk mempertegas kedudukan Islam dalam negara melalui pasal soal presiden dan agama resmi negara. Menurut dia, pasal 4 ayat 2 yang mengatur presiden seharusnya berbunyi, “Yang dapat menjadi presiden dan wakil presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam.”
Dia juga mengusulkan pasal 28 mengenai agama berisi ketentuan yang secara jelas mengatur Islam sebagai agama negara. “Agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain…”
Menurut Kiai Wahid, ini penting bagi pembelaan negara saat diperlukan. “Pada umumnya, pembelaan yang berdasarkan kepercayaan sangat hebat. Menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”
Pandangannya ini disokong Soekiman Wirjosandjojo, politikus Partai Masyumi, anggota panitia kecil yang membahas konstitusi. Ki Bagus Kusumo dari Muhammadiyah juga meminta negara secara tegas berdasarkan Islam.
Maka dari itu, sungguh aneh bila sekarang banyak tokoh Islam, termasuk dari NU dan Muhammadiyah, tidak mengambil posisi di sisi KH Wahid Hasyim, Soekiman Wirjosandjojo atau Ki Bagus Hadikusumo yang membela kemuliaan risalah Islam dan kemampuan syariah dalam mengatur negara yang memang heterogen ini. Mengapa mereka justru berdiri di sisi Bung Karno, turut menyuarakan kekhawatiran yang tidak beralasan itu? Apakah tokoh-tokoh itu sudah melupakan jalan perjuangan para pendahulunya? Apakah mereka juga telah melupakan fakta sejarah, bahwa justru dengan Islamlah integrasi sosial bisa terjadi dengan kokoh? Apa yang terjadi di Irak, Mesir dan Cordoba (sekarang Spanyol) di bawah naungan Khilafah pada masa lalu adalah bukti yang sangat nyata bahwa Islam memberikan perlindungan secara ekonomi, politik, sosial, budaya kepada warga non-Muslim.
Dr. Kamal Saad Habib dalam disertasinya untuk Universitas Kairo berjudul al-‘Aqalliyat wa as-Siyasah fi al-Khubrati al-Islamiyah menggambarkan dengan gamblang bagaimana kehidupan warga non-Muslim di tengah-tengah mayoritas Muslim dalam sistem Khilafah sejak masa Rasulullah Muhammad saw. di Madinah hingga Daulah Khilafah Utsmaniyah yang runtuh pada tahun 1924 lalu. Dia mengatakan bahwa pluralitas atau keragaman dalam persatuan merupakan kebijakan yang bersifat tetap dalam sistem Islam. Kebijakan seperti ini merupakan sebuah revolusi besar pada masa itu, saat sistem lain di luar Islam bahkan belum mampu memikirkannya.
++++
Jelas, bukan Islam yang akan memecah-belah negara ini. Faktanya, Kapitalisme dan neo-imperialismelah yang menjadi biang segala keruwetan negeri ini. Ideologi sekular itu pula yang sedang menghancurkan negara ini, seperti yang sekarang tengah terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Karena itu, sebelum terlambat, enyahkan segera sekularisme dengan Kapitalismenya, dan ganti dengan syariah dan Khilafah. Tidak ada lain.[]