HAM adalah sebuah konsep yang sering diacung-acungkan untuk membela hak kemanusiaan. Tak jarang, perannya dimaknai lebih tinggi daripada hak ketuhanan.
Masih membekas dalam ingatan kita, bagaiman kelompok Liberal berada di garda depan membela aliran-aliran menyimpang dalam Islam. Umumnya, dalam pembelaan itu mereka menjadikan otoritas pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)sebagai bemper dalam membebaskan penafsiran keagamaan.
Yang perlu dipahami, kisruh penerapan konsep Hak Asasi Manusia sejatinya tidak terlepas dari sejarah munculnya konsep tersebut. Karena itu, yang harus ditelusuri pertama kali sebelum kita latah menggunakan istilah itu adalah dengan mengetahui latar belakang kemunculannya, juga landasan aplikasinya.
Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) lahir melalui Revolusi Prancis. Sebelum revolusi, saat itu para tokoh borjuis dan tokoh gereja berkoalisi untuk merampas hak-hak rakyat. Akibat penindasan tersebut, muncullah perlawanan rakyat hingga pada akhirnya ditetapkan deklarasi Internasional HAM pada 10 Desember 1948.
Sekilas dari sejarah itu, umat Muslim sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan kepentingan lahirnya konsep tersebut. Umat Muslim punya sejarah sendiri ketika dibebaskan hak asasinya sejak Rasulullah saw. diutus. Hal itu ditegaskan pada ‘khutbah perpisahan’. Beliau menyerukan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan jauh sebelum Revolusi Prancis meneriakkan slogan “liberte, egalite, fraternite”.
Dengan demikian, istilah Hak Syar’i Manusia (HSM) akan lebih tepat digunakan daripada istilah Hak Asasi Manusia (HAM)—dalam kaitannya dengan konsep kebebasan seorang Muslim. Istilah pertama dapat dengan jelas dipahami berlandaskan syariah. Sebaliknya, istilah kedua masih samar dimengerti pijakan dan parameternya, selain harus dipahami sejarah kemunculannya.
Saat ini ada istilah De-Islamization of Language yang digagas oleh Prof. Naquib Al-Attas. Beliau mengatakan, jika umat Muslim dirusak bahasanya, maka akan kacau pula pemahamannya. Benar, selain HAM di atas, banyak umat Muslim saat ini yang mulai fasih menyetir istilah-istilah “impor” lainnya semisal demokrasi, pluralisme, emansipasi sampai klasifikasi Islam ekslusif-inklusif atau radikal–moderat. Padahal tak jarang mereka sendiri tidak mengerti latar belakang dan seluk beluk istilah-istilah itu.
Kembali kepada HAM, seperti yang dikatakan Sayyid Quthb dalam Ma’alim fi ath-Thariq, kepentingan manusia sebenarnya telah tercakup dalam syariah Allah. Seandainya manusia beranggapan bahwa kepentingan mereka tidak sesuai dengan apa yang telah disyariatkan Allah bagi mereka, maka di sini ada dua kemungkinan. Pertama: mereka memahaminya secara keliru karena sebatas apa yang tampak secara lahir, sebagaimana dalam QS an-Najm ayat 23-25. Kedua: mereka termasuk kaum kafir. Sebab, siapapun yang mengklaim bahwa kepentingan manusia tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah, maka sedikit pun ia tidak berada dalam agama ini dan tidak pula termasuk pemeluknya. WalLahu a’lam bish-shawab. [Ahsan Hakim; Korwil Jatim SENADA (Sekolah Pena Dakwah)]