HTI

Iqtishadiyah

Ekonomi Makin Liberal

Akhir tahun 2011 kita disuguhi dengan informasi tentang meningkatnya jumlah kekayaan orang kaya Indonesia di satu sisi, tetapi di sisi lain makin bertambahnya jumlah orang yang miskin. Kondisi ini dan data lainnya selama tahun 2011 akan semakin memperburuk kesejahteraan rakyat Indonesia kalau tidak ada perubahan yang mendasar atas kebijakan ekonomi kapitalis atau neoliberal yang selama ini diterapkan.


APBN Meningkat, Utang Luar Negeri Bertambah

APBN P 2011 sebesar Rp 1.321 Triliun meningkat Rp 279 Triliun. Namun, peningkatan tersebut juga diikuti dengan utang Pemerintah. Berdasarkan Statistik Utang Departemen Keuangan, per Oktober 2011 utang Pemerintah pusat telah mencapai Rp 1.768 triliun. Anggaran APBN 2011 untuk pembayaran utang dan bunganya mencapai Rp 266,3 triliun atau 20% dari APBN. Lalu akibat birokrasi yang rumit dan pemborosan dalam pengelolaan APBN, daya serap APBN rendah dan pengeluaran yang tidak jelas. Kementerian Keuangan mencatat per 11 Agustus 2011 terdapat dana menganggur akibat kelebihan pembiayaan sekitar Rp 200 triliun. Dana yang sudah terserap pun tidak efektif. Hashim Djojohadikusumo menyebutkan sejumlah pos pengeluaran yang tidak efektif, antara lain: anggaran vakansi, termasuk untuk studi banding ke luar negeri sebesar Rp 21 triliun untuk perjalanan pejabat negara setiap tahun; anggaran bantuan sosial sebesar Rp 61 triliun yang tidak ada rinciannya secara jelas digunakan untuk program dan proyek apa saja; belum lagi soal anggaran bantuan sosial melalui kementerian dan lembaga sebesar Rp 63 triliun (Tempointeraktif.com).


Kemiskinan Meningkat, Jumlah Kekayaan Orang Kaya Bertambah

Pada tahun 2011 sejumlah survei mengemukakan adanya peningkatan nilai kekayaan orang-orang kaya di Indonesia. Majalah Forbes pada November lalu merilis 40 daftar orang terkaya di Indonesia dengan akumulasi kekayaan US$ 85,1 miliar. Angka ini naik 16% dari tahun 2010. Nilai kekayaan mereka setara dengan 11 persen total PDB Indonesia yang tahun ini diperkirakan mencapai US$752 miliar. Hebatnya, tiga orang terkaya dari daftar tersebut tersebut memiliki total kekayaan US$ 32,5 miliar.

Namun tragisnya, angka kemiskinan di negeri ini masih sangat tinggi. Menurut BPS, penduduk miskin Indonesia Tahun 2011—dengan pengeluaran kurang dari 230 ribu—mencapai 30 juta jiwa. Jika ditambahkan dengan penduduk ‘hampir miskin’ yang pengeluarannya antara Rp 233-280 ribu, jumlahnya meningkat menjadi 57 juta orang atau 24% dari total penduduk Indonesia. Jumlah itu membengkak jika menggunakan standar kemiskinan internasional yakni kurang dari US$2 perhari. Artinya, jumlah orang miskin di atas 100 juta orang (World Bank, WDI 2011).

Potret rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia juga terlihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh UNDP. Pada tahun 2011, posisi Indonesia berada pada urutan ke-124 dari 187 negara. Posisi tersebut lebih rendah dari beberapa negara Afrika seperti Gabon, Bostwana dan Afrika Selatan.


Angka Pengangguran Tinggi

Pemerintah mengklaim terjadi angka penurunan angka pengangguran selama tahun 2011 dari 8,7 juta menjadi 8,12 juta orang. Namun, standar bekerja yang digunakan oleh BPS adalah bekerja dengan minimal 1 jam/hari/minggu. Penurunan angka pengangguran ini paradok dengan tingkat pertumbuhan Tahun 2011 yang diperkirakan 6.5 persen. Ini berarti, persatu persen pertumbuhan hanya mampu menyerap sekitar 225 ribu tenaga kerja baru. Rendahnya penyerapan tenaga kerja ini adalah konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang disumbang terbesar oleh sektor non-riil, yaitu lembaga keuangan dan perbankan.

Senada dengan rendahnya daya serap tersebut, produktivitas tenaga kerja Indonesia dalam menciptakan nilai tambah juga masih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia yang menjadi peer Indonesia. Mengutip Asia Productivity Organization (2011), rata-rata sumbangan tenaga kerja Indonesia terhadap PDB hanya sebesar US$ 8 ribu. Angka tersebut masih jauh di bawah Singapura (US$ 72 ribu), Malaysia (US$31 ribu) dan Thailand (US$ 13 ribu).


Penguasaan SDA oleh Swasta dan Asing

Indonesia adalah negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Cadangan gasnya mencapai 160 TSCF (triliun standard cubic feet) atau terbesar ke-11 dunia. Indonesia juga kaya batubara atau terbesar ke-15 dunia dengan jumlah cadangan sebanyak 126 miliar ton. Negeri ini juga kaya dengan barang tambang seperti: emas, perak, nikel, timah, tembaga dan biji besi. Belum lagi hutan dan lautnya yang memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.

Sayang, kekayaan alam tersebut lebih banyak dinikmati oleh negara lain dan segelintir investor swasta domestik. Sampai saat ini sumur migas di Indonesia, menurut Dirjen Migas Evita Legowo, dikuasai oleh perusahaan minyak dan gas (migas) asing sebesar 70%, hanya 30% yang digarap oleh perusahaan lokal dan Pertamina. Menurut Kwik, penguasaan asing di tambang yang menghasilkan emas, perak dan tembaga tahun 2011 telah mencapai 90%. Karena produksi dikuasai asing maka hasilnya juga lebih banyak diekspor ke luar negeri daripada untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebagai contoh, karena hampir 60% hasil gas diekspor maka sejumlah industri menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama dialami PLN. Akibat kekurangan gas, pembangkit listrik tenaga gas PLN terpaksa menggunakan BBM yang biayanya jauh lebih mahal. Padahal menurut catatan PLN, jika Januari-September 2011, PLTG yang ada menggunakan gas maka anggaran yang dapat dihemat setidaknya Rp 5 triliun. Sumber energi lainnya seperti batubara juga sama, dimonopoli swasta. Dengan produksi sekitar 250 juta ton, 77 persen justru diekspor ke luar negeri. Kalaupun dijual ke dalam negeri termasuk kepada PLN maka ia dijual dengan harga internasional.


Perdagangan Bebas dan Deindustrialisasi

Setelah meratifiikasi sejumlah perjanjian yang berbau free trade seperti WTO, ASEAN FTA, ASEAN – Australia – New Zealand Free Trade Area (2010) ASEAN–China Free Trade Area (ACFTA) dan ASEAN–Japan Comprehen-sive Economic Partnership (AJCEP), Indonesia kini mulai merasakan dampaknya. Dengan ada-nya penurunan tarif impor barang dari negara-negara yang terikat perjanjian dengan Indonesia, serbuan barang impor menjadi tak terkendali.

Oleh karena itu, tidak aneh jika sebelumnya produk-produk lokal seperti tekstil, alas kaki, elektronik, mainan anak dan buah masih mendominasi pasar domestik, belakangan justru dikuasai oleh produk-produk impor. Salah satu konsekuensinya adalah makin keroposnya sektor industri Indonesia. Padahal sektor tersebut merupakan penyumbang utama penyerapan tenaga kerja. Bukan itu saja, sektor industri merupakan basis utama kemajuan perekonomian sebuah negara. Namun, dengan liberalisasi sektor perdagangan, orang lebih memilih untuk mengimpor dibandingkan dengan memproduksi sendiri. Bukan hanya pada barang konsumsi, namun juga bahan baku dan barang modal. Akibatnya, negara ini terus menjadi negara konsumtif. Di sisi lain, Indonesia puas sebagai pengekspor utama komoditas mentah dan setengah jadi seperti barang tambang dan hasil perkebunan yang nilai tambahnya sangat rendah. Dengan demikian maka negara ini tidak akan bisa menjadi negara industri yang kuat.

Di sisi lain, liberalisasi perdagangan dan modal juga memberikan implikasi terhadap sektor pertanian. Sejumlah produk pangan yang semestinya dapat diproduksi secara berlimpah di negeri ini seperti buah, ikan dan garam justru semakin banyak yang diimpor. Sebagai contoh, sepanjang Januari-Oktober 2011, jumlah impor garam yang telah dilakukan oleh Indonesia mencapai 2,49 juta ton atau US$ 129,6 juta. Padahal Indonesia merupakan negara agraris terbesar dan memiliki luas pantai terpanjang di dunia.

Dampak lain dari liberalisasi adalah menjamurnya pasar modern dan mematikan pasar tradisional. Menurut penelitian lembaga riset Nielsen, pertumbuhan pasar modern tahun 2010 rata-rata 38% sehingga jumlah Minimarket tahun 2011 diperkirakan lebih dari 20.000, sedangkan hypermat lebih dari 200. Sebaliknya, pasar tradisonal mengalami penurunan sebesar 8,1% Tahun 2010 sehingga sampai tahun 2011 jumlah pasar tradisional tersisa 13.500 buah; itu pun 90% tidak terkelola dengan baik. Padahal saat ini ada 13 juta pedagang kios dan 9 juta peda­gang yang berstatus peda­gang kaki lima yang menggan­tungkan hidupnya pada pasar tradisional.


Penutup

Itulah potret ekonomi Indonesia Tahun 2011. Kondisi ini akan semakin memburuk jika tidak ada perubahan yang mendasar. Kerusakan ini sebenarnya disebabkan oleh dua hal: sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan dan sumber daya manusianya, terutama para penguasa dan pengambil kebijakan yang korup dan tidak amanah. [Dr. Arim Nasim]

Penulis adalah ketua Lajnah Mashlahiyah DPP HTI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*