Tahun 2011 boleh dikatakan sebagai “tahun hukum”; bukan karena prestasi yang diraih, tetapi jusru karena banyaknya kasus hukum, termasuk di antaranya yang melibatkan aparat penegak hukum. Survey JSI (Jaringan Survey Indonesia) pada Oktober 2011 lalu menjadi potret bagaimana tingkat kepuasan publik terhadap kinerja penegakkan hukum. Menurut survey JSI, sebanyak 51,5 persen masyarakat Indonesia merasa tidak puas dengan kinerja Presiden SBY dalam penegakan hukum. Masih menurut survey JSI, sejak juli 2009 hingga Oktober 2011, kepuasan publik terhadap penegakan hukum semakin menurun. Hanya 31,1% yang menyatakan penegakan hukum di Indonesia sudah sangat baik/baik. Mayoritas publik merasakan penegakan hukum tidak mengalami kemajuan dan buruk/sangat buruk. Publik juga menyoroti peran lima lembaga hukum lainnya, yakni MK, MA, KPK, Polri dan Kejaksaan Agung. Dari kelima lembaga tersebut semuanya memiliki tingkat ketidakpercayaan di atas 30%, artinya hampir sepertiga penduduk Indonesia memiliki ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga hukum yang ada.
Survey JSI di atas seolah menguatkan survey LSI (Lingkaran Survey Indonesia) sebelumnya awal tahun 2011. Menurut hasil survey LSI, mayoritas publik (55%) menilai ada banyak praktik mafia hukum di lembaga hukum. Hanya 17,4% saja yang menilai jumlah mafia hukum kecil dan 1,2% saja yang menilai tidak ada sama sekali mafia hukum di lembaga hukum. Ketidakpercayaan publik pada lembaga dan aparat hukum cukup tinggi. Mayoritas publik menilai aparat hukum bisa disuap dengan sejumlah uang untuk memenangkan sebuah perkara hukum. Mayoritas publik (48,3%) menilai aparat hukum yang bisa disuap jumlahnya banyak. Sebanyak 26,2% menyatakan jumlahnya sedikit dan hanya 1,7% saja yang mengatakan aparat hukum bersih dan tidak bisa disuap.
Kebobrokan Hukum
Gambaran di atas merupakan potret buram hukum di Indonesia. Setidaknya ada tiga problem turunan yang akan terus menjadi permasalahan dalam sistem demokrasi sekular yang menyerahkan pembuatan hukum kepada manusia. Pertama: akan terus terjadi jual-beli pasal. Adanya kewenangan manusia membuat undang-undang akan membuka peluang negosiasi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap suatu undang-undang. Dengan nada bercanda, seorang teman mengatakan, di DPR itu “setiap pasal pasti ada pasar-nya”. Ungkapan tersebut bukan isapan jempol. Bahkan secara terbuka Ketua MK Mahfud MD menyebutkan beberapa contoh, yakni kasus korupsi aliran dana YPP BI yang diduga mengalir ke DPR sebesar Rp 31,5 miliar dan ke pengacara sekitar Rp 68 miliar. Berikutnya kasus di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yakni dugaan suap untuk membayar Undang-Undang APBN Perubahan. Yang lebih memprihatinkan adalah penggunaan dana abadi umat sebesar Rp 1,5 miliar yang digunakan untuk membayar anggota dewan untuk mengegolkan Undang-Undang Wakaf.
Kedua: materi UU yang dilahirkan pasti tidak sempurna dan banyak kekurangan. Suatu keniscayaan, jika manusia sebagai makhluk yang lemah dan banyak memiliki kekurangan membuat UU maka pasti UU yang dihasilkan jauh dari sempurna dan akan banyak terjadi kekurangan. Di Indonesia, sejak 2003 hingga 9 November 2011 ada 406 kali pengajuan uji materil UU ke MK. Ini adalah bukti konkret, bahwa banyak ketidakpuasan publik terhadap UU yang dibuat.
Ketiga: tak bisa dihindari, pembuat UU pasti akan menjamin bahwa UU yang dibuat akan menguntungkan diri dan kelompoknya. Sebagai contoh, pembahasan RUU perubahan UU Pemilu melahirkan tarik-menarik kepentingan. Partai-partai besar seperti Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDI-P mengusulkan batas minimal perolehan suara partai (Parlementary Threshold) di DPR minimal 5%, sedangkan partai-partai kecil tetap berjuang dan berharap angka 3% sebagai batas minimal. Masing-masing pihak mengajukan alasan. Namun, apapun alasan yang dikemukakan, alasan utamanya tetap satu: kepentingan. Karena itu, dalam sistem demokrasi, hukum sulit diharapkan menghadirkan keadilan, karena manusia sarat dengan kepentingan.
Aparat dan Birokrat Korup
Selain kebobrokan dan cacatnya hukum, banyaknya aparat hukum dan birokrasi yang korup semakin melengkapi keterpurukan bangsa ini. Di lembaga peradilan, Komisi Yudisial (KY) mengungkapkan percatur wulan kedua (Januari – Agustus 2011) pihaknya telah menerima laporan dari masyarakat dan data lainnya sebanyak 1.169 laporan. Kebobrokan aparat penegak hukum lainnya, yakni Jaksa, tak kalah memprihatinkan. Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy menyatakan, sepanjang tahun 2011 Komisi Kejaksaan Agung telah menerima sebanyak 1.500 laporan dari masyarakat terkait jaksa yang melakukan penyimpangan. Aparat penegak hukum lainnya di kepolisian pun tak lepas dari masalah. Bahkan hanya dalam waktu sebulan, Polda Metro Jaya menerima 26 kasus yang diduga melibatkan anggota kepolisian. Dari jumlah pengaduan tersebut, ada 38 anggota kepolisian yang diduga bermasalah. Yang lebih mengejutkan, tahun 2011 ini institusi kepolisian “diuji” dengan masalah besar, yakni terungkapnya aliran dana dari PT Freeport sebesar $14 Juta yang berpotensi melanggar hukum karena bisa terkategori gratifikasi.
UU Represif dan Liberal
Sistem demokrasi sekular memang menjamin kebebasan dalam semua hal, tetapi kebebasan itu tidak berlaku jika ide atau gerakan yang berkembang justru mengancam demokrasi itu sendiri. Maka dari itu, sistem demokrasi akan membuat mekanisme pertahanan diri untuk menjamin agar sistem tersebut tetap berjalan dan akan mematikan ideologi lain yang berpotensi mengancam eksistensi demokrasi, termasuk di antaranya, menyiapkan perangkat hukum yang berpotensi represif dan membungkam serta mengancam hak-hak publik.
Saat ini UU yang “berhasil” digolkan adalah UU Terorisme dan UU Intelijen. Berikutnya, sejumlah RUU sedang disiapkan, yakni RUU Kemananan Nasional (Kamnas) dan RUU Ormas. Sejak UU Terorisme efektif diberlakukan, sudah banyak sekali korban berjatuhan. Tercatat, sekitar 600 orang dijebloskan ke penjara dengan tuduhan melakukan tindak terorisme dan sekitar 50 orang ‘dieksekusi’ karena baru diduga teroris atau terkait jaringan teroris. Tahun 2011 ini UU Intelijen pun disahkan. UU ini juga berpotensi mengancam kebebasan serta hak-hak publik. Multitafsirnya definisi “ancaman nasional” akan sangat memungkinkan penyalahgunaan kepentingan politik kekuasaan. Kewenangan intelijen tentang penggalian informasi juga berpotensi melahirkan rezim intel. Sikap represif akan terulang. Penculikan akan menjadi tradisi yang dilakukan oleh pihak intelijen hanya karena alasan demi “keamanan nasional”.
UU Intelijen tentu tidak lengkap dan kurang powerfull tanpa adanya UU Keamanan Nasional (Kamnas). Walau masih RUU (per 3 Desember 2011), jika disahkan UU ini berpotensi melegalkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh Presiden. Pasalnya, dalam RUU tersebut Presiden berwenang menentukan hal-hal apa saja yang menjadi ancaman nasional aktual maupun ancaman potensial. Paket UU/RUU represif semakin sempurna dengan rencana pengesahan RUU Ormas yang akan memantau, mengontrol dan mengendalikan keberadaan Ormas.
Selain itu, penerapan sistem hukum sekular secara pasti membuka lebar lahirnya UU liberal yang sarat kepentingan asing. Sebut saja UU PMA, UU MIGAS, UU SDA, UU Perbankan, dan UU Kelistrikan. Tahun 2011 ini, DPR telah mengesahkan UU yang semakin meyakinkan kita bahwa negara ini adalah negara yang menganut paham neoliberal. Sebut saja UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang lahir karena “amanat” UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Walaupun oleh sebagian pihak pengesahan UU ini merupakan kemenangan rakyat, sejatinya kedua UU tersebut justru akan membebani rakyat. Pasalnya, isinya bukanlah jaminan sosial yang akan diterima rakyat, melainkan kewajiban rakyat memiliki asuransi sosial. UU SJSN dan BPJS adalah bukti Pemerintah berlepas tangan terhadap kewajibannya mengurus rakyat.
Selain UU BPJS, RUU yang saat ini sedang dibahas yakni RUU Pendidikan Tinggi (PT) yang juga bermuatan liberal, karena diduga hanya sekadar “mengganti baju” UU BHP yang sebelumnya dibatalkan MK.
Rekomendasi
Kebobrokan hukum di Indonesia berawal karena penerapan sistem demokrasi yang menyerahkan kewenangan membuat hukum kepada manusia. Hal ini terlihat jelas pada “sektor hulu”, yakni pada saat undang-undang dibuat. Di Indonesia, penyusunan dan pengesahan undang-undang ada di tangan 550 orang anggota dewan yang dipilih oleh rakyat. Hal inilah yang sejatinya menjadi akar permasalahan hukum di negara manapun, termasuk tentunya di Indonesia. Maka dari itu, kasus jual-beli pasal, konten UU yang memiliki banyak celah, kekurangan dan kepentingan kelompok termasuk asing akan tetap terus terjadi.
Kebobrokan aparat dan birokrat pun tidak bisa dilepaskan dari penerapan hukum sekular. Penerapan sistem hukum sekular yang menghilangkan peran agama untuk mengatur negara menjadikan aparat dan birokrat tidak merasa diawasi oleh Allah SWT. Padahal pengawasan melekat sangatlah penting untuk meminimalisasi terjadinya praktik korup aparat. Sebagai contoh, seorang hakim yang memutuskan perkara bukan dengan hukum Allah SWT, pasti akan melupakan Allah SWT. Berbeda halnya dengan seorang hakim (qadhi) yang memutuskan perkara dengan hukum Allah SWT, secara otomatis kesadarannya terpantik, merasa diawasi terus oleh Allah SWT.
Maka dari itu, penerapan hukum Allah SWT (syariah Islam) secara totalitas (kaffah) akan menghentikan problem hukum yang selama ini terjadi dalam sistem hukum sekular dan secara otomatis akan menjadikan aparat penegak hukum dan birokrat menaati dan merasa diawasi oleh Allah SWT. [Luthfi Affandi, SH]
Penulis Adalah Humas DPD I HTI Jabar