Kondisi Indonesia tahun 2011 mengisyaratkan belum adanya perubahan yang berarti dalam pembangunan. Situasinya stagnan dibandingkan tahun sebelumnya. Malah dalam beberapa hal, situasinya lebih buruk.
Secara politik, politik masih saja tetap menjadi ajang dagang sapi eksekutif dan legislatif. Kedua belah pihak saling menyandera sehingga persoalan politik sangat elitis dan tidak mengakar di masyarakat. Rakyat tidak mempunyai peran yang signifikan kecuali tetap menjadi obyek politik para elit partai politik.
Partai-partai politik belum bisa melepaskan dirinya dari kebiasaan buruk masa lalunya. Banyak anggota DPR yang terjerat kasus hukum karena menjadi ‘calo-calo’ kebijakan. Mereka memanfaatkan posisinya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kongkalikong antara legislatif dan eksekutif serta pengusaha masih berjalan.
Korupsi tidak hanya dilakukan oleh jajaran birokrasi, tetapi juga telah menular ke legislatif—lembaga yang notabene menyusun UU Antikorupsi dan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus Nazarudin bisa menjadi contoh yang sangat gamblang betapa partai politik dan legislatif ikut andil dalam merampok uang rakyat. Kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pun menunjuk ke arah Senayan sebagai pihak yang terlibat.
Kuatnya saling menyandera antarpartai politik terlihat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berani mengganti menteri-menteri yang dituding terlibat kasus korupsi. Resuffle yang dilakukan Presiden pada tahun kedua pemerintahannya tidak mengubah komposisi partai politik dalam pemerintahan. SBY hanya menambahkan wakil menteri. Semula hanya ada enam wakil menteri, kini menjadi ada 19 wakil menteri. Terlihat Pemerintah lebih mengedepankan kepentingan partai politik dibandingkan dengan tuntutan masyarakat.
Di tengah situasi tarik-menarik kepentingan—yang sebenarnya tak ada pengaruhnya untuk rakyat—benih-benih disintegrasi muncul kembali. Papua sempat bergolak beberapa saat. Awalnya, itu terjadi berkait dengan situasi pemilihan kepala daerah dan terus berkembang menjadi isu kemerdekaan Papua. Beberapa orang tewas akibat ulah para penembak gelap.
Pemerintah terlihat tidak berani secara total memberantas para pemberontak ini. Mereka seolah khawatir tindakan tegas terhadap separatis ini dianggap melanggar HAM oleh dunia internasional. Ironisnya, di sisi lain, aparat kepolisian seolah menunjukkan kehebatannya ketika di depan kamera televisi mempertontonkan aksinya menangkap para teroris—yang sebenarnya belum melakukan tindakan apapun yang merugikan masyarakat. Banyak orang bertanya, mengapa Densus 88 tidak turun ke Papua, bukankah di sana sudah jelas ada teroris yang membunuh orang? Eh, kepolisian bilang mereka bukan teroris.
Di lain pihak, Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) giat melancarkan program deradikalisasi. Didukung dana ratusan miliar, program ini menyasar gerakan-gerakan yang dianggap menebar benih terorisme. Padahal di balik itu, Pemerintah sedang menghadang gerakan Islam ideologis yang ingin menegakkan syariah Islam di Indonesia. Program ini bukan murni program nasional, tetapi merupakan program global yang dicanangkan oleh Amerika dan Barat dalam Global War on Terrorism (GWOT).
Ini menjadi aneh di negara yang katanya negara demokrasi. Saat umat Islam sebagai mayoritas menginginkan tegaknya aturan agamanya, mereka malah dihalang-halangi. Padahal umat Islam hanya menginginkan kebaikan pada negeri ini, bukan sebaliknya. Terlihat jelas, adanya pesanan dari pihak asing yang terancam ideologinya.
Selain dihadang dengan deradikalisasi, umat Islam pun terus menghadapi berbagai stigma negatif dalam beberapa kasus. Di antaranya, dalam pembangunan gereja yang ilegal. Umat Islam selalu dituduh sebagai biang di balik itu. Umat Islam dituduh tidak toleran. Padahal sebenarnya orang-orang non-Muslim sendirilah yang tidak mengikuti aturan main yang telah ditetapkan oleh negara.
Secara umum, hukum memang amburadul. Hukum begitu tegas menghukum yang lemah, sebaliknya mandul ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang kuat. Tebang pilih pun tak terhindarkan. Pengaruh politik dalam hukum masih sangat kuat. Banyak pihak berlindung di bawah tameng partai politik ketika bersalah dan berhadapan dengan hukum. Di sisi lain, beberapa aparat penegak hukum malah terlibat kasus hukum yang terkait dengan jabatannya, khususnya suap-menyuap dan gratifikasi.
Karut-marut hukum ini menyebabkan masyarakat tidak mendapat perlindungan secara layak. Tindak kriminalitas terus meningkat. Rasa aman semakin mahal. Konflik horisontal terus terjadi. Tawuran pelajar dan mahasiswa hampir setiap hari menghiasi layar televisi.
Situasi ini kian runyam ketika kondisi ekonomi rakyat sulit. Memang tahun ini Pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi berada di level 6 persen. Namun, dampaknya tidak menetes ke bawah. Buktinya, pengangguran belum bisa teratasi. Yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin. Jurang menganga di antara keduanya. Pertumbuhan ekonomi tidak disertai distribusi kekayaan secara merata.
Para pemilik modal dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaanlah yang mampu memanfaatkan kondisi yang ada. Pemerintahan yang korporatokrasi menjadikan kelompok kecil dari masyarakat yang bisa menikmati kue pembangunan. Mayoritas hanya menjadi obyek penderita.
Sistem ekonomi liberal yang diterapkan di negeri ini menjadikan kekayaan alam mengalir ke luar negeri, selain ke sebagian kecil rakyat—orang kaya dan antek asing. Ini tidak lain karena sumber kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh asing melalui perusahaan multinasionalnya. PT Freeport yang beroperasi sejak 1967 sampai bisa bertahan lebih dari 40 tahun di Indonesia.
Selain itu, bukannya menjadi negara yang bisa bangga dengan kekayaannya, kini Indonesia malah bangga dengan utangnya. Utang Indonesia sudah mencapai lebih dari 1.700 triliun rupiah. Kecenderungannya, utang akan terus bertambah karena asing telah menjebak Indonesia agar terus mengambil utang baru kepada mereka.
Produk-produk dalam negeri tak bisa lagi diandalkan. Para pejabat negeri ini lebih suka mengimpor barang dari luar negeri daripada bersusah-susah memproduksi sendiri. Bahkan beras dan produk-produk pertanian pun harus impor. Padahal katanya Indonesia negara agraris. Ada politik pertanian yang salah sehingga ketahanan pangan Indonesia sangat lemah. Di bidang industri, terjadi proses deindustrialisasi yang menyebabkan tingkat penyerapan tenaga kerja menurun, kontribusi sektor industri ke ekonomi nasional rendah, dan banyak perusahaan yang tak lagi masuk ke sektor industri.
Mengharapkan masyarakat mengisi ceruk yang ditinggalkan industri juga sulit. Tidak ada insentif yang memadai dari negara bagi masyarakat untuk bisa menjadi orang-orang kreatif dan penuh inovasi. Dukungan negara terhadap sektor pendidikan dan riset rendah. Ini gara-gara negara menerapkan liberalisasi pendidikan.
Tak mengherankan bila sumberdaya manusia Indonesia tak bermutu. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tak bisa menembus angka 100. Selain faktor pendidikan, layanan kesehatan yang memadai seperti jauh panggang dari api. Masyarakat harus membayar mahal biaya kesehatan di tengah kesulitan ekonomi. Wajar bila kemudian banyak wanita Indonesia yang memilih menjadi tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri meski dengan segala risiko yang harus dihadapi.
Di bidang sosial, peradaban Barat telah menjadi kiblat. Seks bebas, homoseksualitas dan lesbianisme telah menjadi budaya baru. Banyak perceraian muncul karena prinsip baru dalam rumah tangga, yakni kesetaraan gender. Pelacuran di mana-mana. Kondisi sosial ini mendorong lahirnya depresi, aborsi, narkoba, HIV/Aids, dan segala penyakit sosial lainnya.
Di kancah regional, posisi Indonesia pun belum beranjak. Meski menjadi ketua ASEAN, Indonesia tidak berani membuat terobosan penting. Indonesia membawa ASEAN menjadi satelit kepentingan Amerika di kawasan ini. Dalam pertemuan tingkat tinggi Asia Timur yang melibatkan negara-negara ASEAN plus Cina, Jepang, dan Korea, Indonesia malah menjadi corong Amerika.
Politik luar negeri yang tidak lagi memegang prinsip politik bebas aktif menjadikan Indonesia pro Amerika dalam penyelesaian Palestina, yakni solusi dua negara merdeka, dengan mengakui Israel sebagai sebuah negara. Indonesia pun dengan senang hati dijadikan sebagai model negara Muslim moderat ala Amerika.
Tidak aneh jika Indonesia tak memiliki sikap layaknya negara Muslim terbesar yang punya kepedulian terhadap nasib saudaranya seperti di Afganistan, Cina, Thailand Selatan, Irak, dan lainnya. Indonesia pun seolah menutup mata terhadap berbagai penindasan kaum Muslim di Eropa dan belahan dunia lainnya.
Fakta-fakta tersebut di atas terjadi karena Indonesia menganut ideologi Kapitalisme-liberalisme dengan sekularisme sebagai asasnya. Ini menandakan bahwa Indonesia masih dalam pengaruh penjajahan asing. Asinglah yang mengendalikan negeri ini melalui berbagai kebijakan yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan. Asing pula yang menjaga agar Indonesia tidak meninggalkan ideologi ini agar eksistensi penjajah tetap aman dalam mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan mudah dan tangan terbuka. [Humaidi]