HTI

Afkar (Al Waie)

Pendidikan Kita: Mahal dan Gagal

Indonesia telah merdeka lebih dari 66 tahun. Bukan waktu yang pendek bagi sebuah bangsa untuk mempersiapkan diri menjadi bangsa yang prestatif. Ironisnya Indonesia terpuruk hampir di seluruh bidang, termasuk pendidikan. Di bidang pendidikan rendahnya kualitas hampir merata dari seluruh aspek: guru, fasilitas pendidikan, kurikulum, sampai pada prestasi siswa.

Indonesia bisa dinilai sebagai Negara yang gagal, karena semakin tua usianya bukan semakin berprestasi, tapi sebaliknya. Di bidang pendidikan prestasi Indonesia semakin menurun. Penurunan peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua (Education for All) tahun 2011, salah satunya disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Badan PBB, UNESCO merilis indeks pembangunan pendidikan (Education Development Index) dalam EFA Global Monitoring Report 2011. Peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara. Tahun lalu posisi Indonesia ke-65. Dari empat indikator penilaian, penurunan drastis terjadi pada nilai angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Pada laporan terbaru nilainya 0,862 (Kompas.com, 4/3/2011).

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga ditunjukkan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia berada pada level 0,617 pada tahun 2011 menduduki peringkat 124 dari 187 negara di dunia. IPM Indonesia hanya unggul jika dibandingkan Vietnam yang memiliki nilai IPM 0,593, atau Laos dengan nilai 0,524, Kamboja 0,523, dan Myanmar dengan nilai IPM 0,483 (Republika.co.id, 27/11/2011).

Kualitas guru yang menjadi ujung tombak pendidikan juga rendah. Masih banyak guru yang tidak layak, tidak disiplin, dan jarang mengajar. Pada pertengahan Oktober 2011, puluhan wali murid SD Negeri 1 Puulemo Kecamatan Baula, Kabupaten Kolaka, Sultra merasa kesal dengan kepala sekolah dan guru karena jarang masuk mengajar. Mereka menyegel kantor kepala sekolah dan ruangan guru di SD tersebut. (lihat, Republika, 14/10/2011).

Rendahnya kualitas guru ini berbanding lurus dengan kesejahteraan guru yang belum merata. Sebagian ada yang sejahtera, sebagian masih mengenaskan. Contohnya seperti yang dialami guru SDN 023 di daerah masyarakat adat Talang Mamak, suku asli Provinsi Riau. Guru di Desa Talang Durian Cacar Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, pada Januari silam belum menerima gaji selama tiga bulan. Mereka juga harus memikul beban kerja berlipat ganda, karena hanya ada tiga guru di sekolah itu yang mengajar siswa dari kelas satu hingga kelas lima (lihat, Republika, co.id, 20/1/2011).

Semua fakta itu masih diperparah dengan sarana fisik yang belum memadai. Masih banyak gedung sekolah yang tidak layak digunakan untuk belajar. Data yang diterima Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, selama tahun 2011 terdapat sekitar 21 ribu sekolah rusak berat. Bahkan seperti yang dilaporkan Republika, gedung sekolah yang rusak berat itu ada yang sampai merengut nyawa siswa. Adalah Sukniah (10 tahun), siswa kelas 4 Madrasah Diniyah Al-Ikhlas, Kampung Tambleg, Desa Cidikit, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, tewas tertimpa atap sekolahnya yang tiba-tiba ambruk, Senin (3/10) sore. Sementara sepuluh siswa lainnya mengalami luka-luka di bagian punggung, kaki, pundak dan kepala (lihat, Republika, 4/10/2011).

Lain halnya di Sampit, bukan masalah gedung sekolah yang rusak berat, tapi Sampit kekurangan gedung sekolah. Akibatnya ribuan siswa lulusan SMP di daerah tersebut terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena tidak tertampung di Sekolah Menengah Umum dan sederajat. Dari 5.090 siswa SMP yang lulus diperkirakan hanya sekitar 3.000 lebih yang berhasil tertampung di bangku SMU, sedangkan 2.000 siswa diantaranya terancam akan putus sekolah (lihat, Kompas.com, 21/7/2011).


Kapitalisasi Pendidikan

Mahalnya pendidikan bukan menjadi rahasia lagi, dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Misalnya biaya pendidikan SD swasta di Jakarta, uang pangkalnya beragam mulai Rp. 9 juta hingga Rp. 75 juta. Biaya SPP bulanannya mulai Rp. 300 ribu hingga juta-an/bulan. Begitu pula dengan jenjang SMP dan SMU di Jakarta, uang pangkalnya juga mencapai jutaan. Anehnya hal ini tidak hanya pada sekolah swasta, SMU Negeripun demikian.

Makin mahalnya biaya pendidikan itu akibat terjadinya kapitalisasi pendidikan melalui penerapan kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Di perguruan tinggi, biaya kuliah juga semakin mahal. baik di perguruan tinggi swasta, maupun di perguruan tinggi negeri. Uang pangkal perguruan tinggi swasta dari 7 jutaan, hingga puluhan juta. Di perguruan tinggi negeri uang pangkal mulai puluhan juta, hingga ratusan juta (www.seputarindonesia. com, 22/11/2011).

Mahalnya biaya kuliah itu diantaranya akibat disahkannya PP no 66 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaran Pendidikan, yang isinya ternyata tidak jauh berbeda dengan UU BHP dan seakan hanya berganti nama. Pakar pendidikan, Prof Dr Tilaar mngomentari PP no 66 tersebut: “PP tersebut membuat lembaga pendidikan seperti lembaga bisnis”.

Rencana industrialisasi dan kapitalisasi di dunia pendidikan di negeri ini terasa sangat kuat. Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) telah meratifikasi Agreement Establising the World Trade Organization melalui penetapan UU No.7 Tahun 1994. Dampaknya Indonesia harus menjalankan liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Implementasinya diantaranya adalah dengan ditetapkannya PP no 66 tahun 2010 itu. Ke depan, kapitalisasi pendidikan tinggi akan makin menjadi dengan diusulkannya RUU Perguruan Tinggi, yang rencananya disahkan tahun 2012.

Mahalnya biaya pendidikan ini menyebabkan tingginya angka anak putus sekolah, karena besarnya jumlah siswa miskin di Indonesia yang hampir mencapai 50 juta siswa. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah (Kompas.com, 25/7/2011).


Akar Masalah

Akar penyebab karut-marut pendidikan di atas tidak lain karena landasan yang dipakai adalah sekulerisme, kapitalisme, liberalisme. Sekulerisme menyebabkan lembaga pendidikan kehilangan orientasi untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter. Outputnya, adalah orang-orang yang tak lagi mengindahkan ajaran agama dan tipis akhlaknya. Ditambah dengan ditanamkannya ide liberalisme, lahirlah siswa-siswa yang bertingkah laku dan bergaya hidup bebas, dan cenderung sulit diatur. Muncul berbagai problem seperti gaya hidup bebas, seks bebas, narkoba, tingkah laku brutal, tawuran, dan sebagainya.

Ideologi Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, mengharuskan minimnya peran negara dalam melayani masyarakat termasuk pendidikan. Sektor pendidikan akhirnya diprivatisasi. Akibatnya, biaya pendidikan dari hari ke hari makin melangit. Penerapan kapitalisme itu juga menjadikan seluruh aspek kehidupan dikapitalisasi. Pendidikan berubah menjadi komoditas bisnis. Akibatnya hanya golongan masyarakat yang mampu membayar saja yang bisa merasakan pendidikan bermutu. Sementara golongan masyarakat tak berpunya harus puas dengan pendidikan rendah dan tak bermutu, bahkan tak sedikit yang terpaksa berhenti sekolah karena ketiadaan biaya. Akibatnya terjadilah lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan, kesenjangan makin menganga dan segudang problem sosial yang menjadi ikutannya.


Syariah Islam Dalam Bingkai Khilafah Solusinya

Syariah Islam menetapkan pemenuhan pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyat sebagai tanggungjawab dan kewajiban negara. Negara Khilafah wajib menyediakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia didalam mengarungi kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan : Jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan di semua jenjang itu secara gratis.

Negara Khilafah menyediakan perpustakaan, Laboratorium dan sarana ilmu pengetahuan lainnya yang representatif, selain gedung-gedung sekolah, kampus-kampus untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti fikih, ushul fikih, dan tafsir termasuk bidang pemikiran, kedokteran, teknik, kimia serta penemuan, inovasi dan lain-lain. Sehingga ditengah-tengah umat akan lahir sekelompok mujtahid, saintis, tehnokrat yang sampai pada derajat penemu dan inovator.

Negara Khilafah wajib menyediakan pendidikan bebas biaya dan menyediakan berbagai fasilitas pendidikan. Hal ini berdasarkan apa yang dilakukan Rasulullah dan ijma’ ulama’ yang memberi gaji kepada para pengajar dari Baitul Mal. Rasulullah telah menentukan tebusan tawanan perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh kaum muslim.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Wadhi’ah bin Atha bahwa ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji lima belas dinar (kurang lebih 63.75 gram emas) setiap bulan, jika harga emas satu gram Rp 400 ribu, maka gaji guru pada saat itu Rp 25, 5 juta.


Out Put
Pendidikan Daulah Khilafah

Menurut Abu Yasin, dalam bukunya Strategi Pendidikan Daulah Khilafah, Negara Khilafah menetapkan Strategi pendidikan untuk menghasilkan out put pendidikan yang kapabel, sesuai dengan visi, misi negara Khilafah, yaitu menjadi Negara Adidaya yang siap memimpin dunia dengan Islam. Adapun out put yang dihasilkan sebagai berikut: Pertama, Dalam pandangan Islam, Negara wajib mempunyai kekuatan militer yang canggih dan yang mampu menggetarkan musuh. Karena itu Departemen Pendidikan harus menyelenggarakan pendidikan yang out put nya mampu menjadi personel militer yang handal. Disamping juga menghasilkan para teknokrat dan saintis yang mampu membuat senjata, pesawat tempur dan peralatan-peralatan militer canggih lainnya sampai pada tingkat bisa menggetarkan para musuh seperti yang dinyatakan di dalam QS al-Anfal [8]: 60.

Kedua, Negara Wajib menjaga kemaslahatan umum. Karenanya negara wajib mendirikan: (1) Industri yang berhubungan dengan harta milik umum seperti industri untuk ekploitasi barang tambang, industri migas. (2) Industri berat dan industri persenjataan. Maka Departemen Pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan untuk penguasaan sains dan teknologi yang mendukung realisasi semua itu, seperti berbagai perguruan tinggi sains dan teknologi.

Ketiga, Negara membutuhkan ulama, negarawan dan para pemimpin yang berkepribadian Islam dan memahami Sistem Islam dengan baik. Karena itu, Departemen pendidikan menyelenggarakan pendidikan di Perguruan Tinggi yang mampu mencetak ulama’ dan mujtahid, pemikir, para pakar, para pemimpin, para qadhi (hakim), para ahli fikih, dsb. Mencetak ulama’ dan umara’ yang berkepribadian Islam sangat penting karena Negara Khilafah wajib menerapkan seluruh hukum Islam dan dipimpin orang Islam (surat an Nisa’ [4]; 141). Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Dra. Rahma Qomariyah, M.Pd.I]

Penulis adalah Kandidat Doktor Pendidikan Islam, Anggota Lajnah Maslahiyah MHTI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*