Memasuki awal tahun 2012 ini, kita bisa menyaksikan bahwa nasib perempuan di Indonesia belum banyak bergeser dari kondisi tahun-tahun sebelumnya. Penderitaan demi penderitaan kaum perempuan akibat sistem yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat (laki-laki maupun perempuan) masih menjadi fenomena umum sepanjang tahun.
Derita Perempuan
Salah satu penderitaan perempuan Indonesia terjadi pada pekerja rumah tangga (PRT). Penderitaan ini terjadi akibat kinerja perlindungan negara yang setengah hati. Terhitung sejak 2007 hingga 2011, ada 726 kasus kekerasan berat terhadap PRT di Indonesia. Kasus tersebut terdiri dari: 536 kasus upah tak dibayar, 348 di antaranya terjadi pada PRTA; 617 kasus penyekapan, penganiayaan hingga luka berat, dan bahkan meninggal (JALA PRT).
Kinerja perlindungan negara terhadap PRT migran pun sangat menyedihkan. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat sepanjang 2011 hingga Oktober jumlah TKI yang ditempatkan di luar negeri mencapai 458.103 orang. Dari jumlah itu sebanyak 265.485 orang atau 57,95 persen di antaranya ditempatkan sebagai TKI sektor informal atau penata laksana rumah tangga (Metrotvnews.com, 14/11/2011). Namun sayang, sebagian besar perempuan—yang terpaksa harus mengais rezeki di negeri orang dengan menjadi buruh migran sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan digelari pahlawan devisa—nasibnya sering tragis.
Tentu masih lekat dalam ingatan kita, di awal tahun, 2011, Darsem TKW Arab Saudi asal Subang Jawa Barat menjadi ikon kelambanan Pemerintah untuk mengurus nasib TKW. Melalui gerakan “koin untuk Darsem”, publik berhasil membuka aib betapa Pemerintah belum melayani dan melindungi rakyatnya. Pidato Presiden SBY di depan Konvensi ILO ke 100 di Jenewa 14 Juni 2011 tentang komitmen Pemerintah atas perlindungan buruh migran, meski mendapat apresiasi dari peserta di dalamnya, ternyata sekadar silat lidah belaka. Buktinya, beberapa saat setelah itu, 18 Juni 2011, Ruyati TKW Arab Saudi asal Bekasi Jawa Barat dieksekusi hukuman mati tanpa sepengetahun satu pun pejabat Pemerintah.
Saat ini, kita pun dilanda kecemasan atas keselamatan Tuti Tursilawati, PRT migran asal Majalengka, Jawa Barat, yang juga divonis bersalah atas pembunuhan terhadap majikannya. Selain Tuti, saat ini masih ada 4 orang PRT migran juga telah divonis hukuman mati. Migrant Institute bahkan mengeluarkan data mengenai nasib TKI di luar negeri (mayoritas perempuan) yang siap menjalani hukuman mati. Jumlahnya mencapai 218 TKI yang tersebar di Arab Saudi, Cina dan Singapura (Migranistitute.com, 22/11/2011).
Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai pihak yang rajin mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, mencatat lebih 100.000 kasus kekerasan pada 2011. Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, dari berbagai bentuk tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan, pelecehan seksual, khususnya kasus perkosaan, menempati urutan tertinggi sepanjang tahun 2010-2011 (Kampungtki, 24/11/2011). Ternyata anak TKI mendominasi korban kasus pelecahan seksual ini (Migranistitute.com, 30/11/2011).
Selanjutnya, dengan dalih “perempuan adalah kunci pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia”, seperti dikatakan Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton di depan peserta KTT Perempuan dan Ekonomi APEC di San Fransisco 16 September 2011, maka tidak boleh ada pembatasan hukum dan sosial yang mengekang potensi perempuan (Voanews, 16/9/2011). Dalih seperti inilah yang menyebabkan kaum perempuan semakin didorong untuk bersemangat terjun ke dunia kerja meski harus meninggalkan kewajibannya dalam keluarga. Peran perempuan Indonesia dalam peningkatan ekonomi keluarga, yang dianggap sebagai sokoguru ekonomi nasional, terus digenjot. Survei yang dilakukan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukan sebagian besar pelaku usaha mikro di Indonesia adalah perempuan. Dengan begitu, menurut Linda Agum Gumelar, perempuan bisa menjadi potensi luar biasa dalam menopang ekonomi nasional untuk pembangunan bangsa (Suara Pembaharuan, 13/10/2011).
Jargon-jargon penyelamat ekonomi bangsa dan yang semisal inilah akhirnya yang menjerumuskan kaum perempuan untuk bersaing dengan kaum laki-laki di lapangan pekerjaan. Pada praktiknya, perempuan betul-betul disamakan perannya dengan laki-laki ketika ia juga harus bekerja di pabrik sampai malam hari, meninggalkan tabiat aslinya yang harus melindungi dan merawat anak-anak dalam dekapannya di rumah, apalagi pada malam hari. Semua itu sering membuat kaum perempuan mengalami dilema bahkan depresi yang mendalam. Namun, sekali lagi, dengan dalih kesetaraan gender, agar perempuan punya andil pada kesejahteraan negara, juga karena tuntutan kerasnya kehidupan, perasaan keibuan seorang perempuan kadang harus dieliminasi.
Saat perempuan bekerja dan punya pendapatan, asumsinya selain bisa menopang ekonomi bangsa, konon juga bisa menurunkan kekerasan dalam rumah tanga (KDRT). Hal ini karena perempuan berpendapatan dianggap akan meningkat bargainingnya di hadapan suami. Walhasil perempuan berpendapatan tak perlu khawatir menuntut cerai karena telah mandiri berpenghasilan. Akibatnya, angka perceraian di Indonesia pun meningkat tajam setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Peradilan Mahkamah Agung (MA), hingga Agustus 2011, telah terjadi 285.184 perkara perceraian (Tribunnews.com, 3/8/2011). Di antara kasus tersebut, kasus gugat cerai (dari pihak istri)-lah yang mendominasi. Terdata pula, dari melonjaknya angka gugat cerai di tahun 2011 ini, mayoritas terjadi pada para PNS, khususnya guru. Banyaknya kasus gugat cerai di kalangan guru dipengaruhi oleh pendapatan guru yang besar dengan adanya tunjangan sertifikasi (Inilah.com, 1/12/2011).
Dalam ranah kesehatan, nasib perempuan Indonesia pun masih mengenaskan. Nila Moeloek, utusan khusus MDGs, mengungkapkan, Angka Kematian Ibu (AKI) masih berkisar 228 per 100.000 kelahiran hidup (Bisnisindonesia.com, 12/12/2011). Ini artinya, ada 228 ibu bersalin yang meregang nyawa dari setiap 100.000 kelahiran hidup. Ini terjadi antara lain disebabkan buruknya layanan kesehatan pada masa kehamilan, melahirkan dan nifas. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang diluncurkan Kemenkes sejak awal 2011 yang ditujukan untuk bisa menekan AKI ini, sangat minim solusi. Sebab, syarat pokok bagi penerima program ini adalah bersedia diberi layanan standar kelas 3. Alokasi anggaran untuk ibu bersalin pun sangat minim, membuat para bidan enggan memberikan layanan persalinan melalui program layanan gratis ini. Apalagi banyak fakta, para ibu bersalin dengan program ini “dipaksa” ber-KB jangka panjang.
Lebih tragis lagi, angka kasus HIV-AIDS pada perempuan terutama pada ibu rumah tangga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Jabar, 934 dari 3.925 kasus AIDS dan 614 dari 2.354 kasus HIV adalah perempuan. Dari jumlah tersebut ibu rumah tangga tercatat sebanyak 350 untuk kasus AIDS dan 191 kasus HIV (Detik.com, 30/11/2011).
Apa yang salah?
Melihat sekelumit penderitaan perempuan Indonesia yang tidak kunjung berhenti, timbul pertanyaan: Mengapa derita demi derita terus menghimpit perempuan? Apa yang salah dengan makhluk yang lemah lembut ini? Letak kesalahannya bukanlah semata pada diri perempuan, tetapi lebih pada penerapan sistem kapitalisme liberal yang membelenggu manusia, termasuk perempuan di dalamnya. Sistem kapitalismelah yang telah terbukti rusak dan merusak manusia dan telah mengancam perempuan ke jurang penderitaan yang lebih dalam.
Penderitaan ini dikokohkan dengan gaya hidup sesat, yang menipu perempuan dengan jargon-jargon sesat dan dikemas secara manis dengan istilah kesetaraan gender, penyelamat ekonomi bangsa, pahlawan devisa dan berbagai istilah lain yang bertujuan untuk menjauhkan perempuan dari tabiat alaminya.
Sifat dasar Kapitalisme memang akan membangkitkan kebuasan-kebuasan di tengah manusia. Yang kuat memangsa yang lemah. Yang kaya tak akan pernah puas dan semakin tega menghisap yang lemah. Wajar bila kemudian dikatakan bahwa Kapitalisme adalah ideologi setan (the satanic ideology) karena memicu kejahatan-kejahatan di tengah manusia.
Sistem semacam inilah yang telah merusak naluri dasar yang ada pada kaum perempuan. Seharusnya kaum perempuan adalah makhluk yang penyayang, penuh kelemahlembutan, ramah dan memiliki kemampuan berkorban tinggi bagi anak-anaknya. Namun, cara berpikir individualistik yang melekat kuat dalam sistem kapitalistik telah membuat seorang perempuan kehilangan rasa kasih sayang dan jiwa berkorban. Pertarungan untuk mempertahankan diri dalam kerasnya kehidupan telah membentuk karakter keras, kasar dan egois.
Perempuan dipaksa harus bisa bertahan dalam kehidupan keras Kapitalisme. Tidak ada pihak yang mengayomi. Bahkan negara sekali pun telah membiarkan para perempuan melakukan pertarungan untuk mempertahan-kan kehidupannya sendiri. Barangkali para Tenaga Kerja Wanita (TKW) menjadi contoh nyata pertarungan para perempuan mempertahankan kehidupannya. Tidak ada perlindungan dari kaum lelaki, karena Kapitalisme memiliki karakter egaliter yang tak membedakan jenis kelamin. Kesetaraan gender adalah wujud perjuangan perempuan untuk meningkatkan eksistensi dirinya di tengah kehidupan kapitalistik. Perempuan menjadi korban kebiadaban sistem ini.
Menghilangkan Penderitaan Perempuan
Menghilangkan penderitaan perempuan hanya bisa ditempuh dengan menghilangkan penyebab pederitaan tersebut. Artinya, Kapitalisme yang menjadi biang keladi dari semua penderitaan perempuan (bahkan seluruh manusia) harus segera dibuang jauh-jauh dari kancah kehidupan. Satu-satunya sistem yang layak menggantikan sistem yang rusak ini adalah sistem Islam.
Negara dalam sistem Islam akan melindungi kaum perempuan dengan penerapan hukum-hukum syariah Islam. Laki-laki akan menjadi pemimpin dan pelindung kaum perempuan (QS an-Nisa’ [4]: 34). Suami adalah pemimpin istrinya. Laki-laki akan memperlakukan perempuan secara baik, karena syariah Islam telah mewajibkan demikian (QS an-Nisa’ [4]: 19). Suami wajib menafkahi istrinya, ayah wajib menafkahi putrinya (QS al-Baqarah [2]: 233). Negara akan melindungi kaum perempuan dengan penerapan hukum-hukum syariah Islam. Bagi perempuan yang tidak memiliki wali, negara akan menanggung biaya kehidupannya. Negara juga tidak akan membiarkan seorang perempuan pun mati karena tidak terjamin keselamatan dan kesehatannya, apalagi karena terinfeksi penyakit yang disebabkan perbuatan kotor manusia.
Maka dari itu, berjuang untuk menegakkan kemuliaan Islam dan kaum Muslim menjadi suatu keniscayaan. Tidak boleh ada istilah putus asa atau jeda sesaat bagi kita semua yang selama ini telah merintis jalan perjuangan untuk menyongsong kebangkitan Islam dengan penerapan Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sebab, hanya Islam dengan syariah dan Khilafahnya yang akan menyelamatkan perempuan dan bangsa ini dari keterpurukannya. Hanya keyakinan akan kebenaran hukum-hukum Allah, mengikuti jalan perjuangan yang telah diteladankan oleh Rasulullah saw., dan keyakinan akan kepastian janji Allah SWT, yang akan menuntun umat ini untuk melangkah pasti menyongsong masa depannya yang cemerlang; termasuk masa depan kaum perempuan yang dimuliakan dalam Islam. WalLahu a’lam. [Yusriana]
Penulis adalah anggota Lajnah Siyasiyah DPP MHTI