Tahun 2011 baru saja berlalu. Banyak peristiwa telah terjadi. Di dalam negeri, perhatian publik di sepanjang tahun 2011 paling banyak tersita oleh berbagai kasus korupsi yang makin menjadi-jadi, juga gejolak Papua yang terus membara. Gempita SEA Games di awal November lalu tak ubahnya penambal luka sementara. Kini publik kembali ke dunia nyata saat kemiskinan dan berbagai problem sosial masih terus terjadi dimana-mana.
Dari Gedung Parlemen makin banyak lahir peraturan perundangan yang layak dipertanyakan keberpihakannya kepada rakyat seperti UU BPJS dan UU Penyediaan Lahan, dan yang potensial melahirkan kembali rezim represif seperti UU Intelijen.
Di sisi lain, di tengah karut-marut kondisi negeri ini, alhamdulillah banyak perkembangan dakwah yang telah dicapai di sepanjang tahun itu. Meski belum mencapai tingkat yang mengesankan, dakwah terus tumbuh. Ini karena HTI memang memiliki ‘sumber tumbuh’ dan ‘daya tumbuh’. Sumber tumbuh dakwah tidak lain adalah adanya proses-proses pengkaderan dan pembinaan yang dilakukan melalui halqah secara konsisten. Inilah bagian terpenting dari dakwah HTI. Dalam halqah-lah terjadi transfer ide dan tsaqafah dari musyrif kepada peserta sehingga pemikiran dan pemahaman mereka tentang ‘aqidah, syariah, syakhsiyyah, dakwah dan siyasah terus meningkat. Dalam halqah pula terjadi transfer ghirah atau semangat dakwah yang bersumber dari ‘aqidah. Inilah daya tumbuh dakwah yang telah membuat HTI—yang di pertengahan tahun 80-an memulai geraknya di kampus, terbatas di kalangan mahasiswa atau sarjana yang baru lulus—kini terus melaju. Bila awalnya hanya di satu tempat, kini dakwah HT sudah menyebar kemana-mana di lebih dari 300 kota/kabupaten di 33 propinsi.
Dari halqah-lah tercipta kader dakwah. Dari kader-kader dakwah yang lahir dari halqah–halqah itu, kemampuan HTI dalam membina umat terus meningkat baik dari sisi jumlah, ragam obyek maupun skala cakupan dakwah. Salah satu sukes luar biasa yang penting dicatat di tahun 2011 adalah Konferensi Rajab 1432 H yang diselenggarakan di sepanjang bulan Juni-Juli tahun lalu. Gelegar konferensi dirasakan oleh paling sedikit 130 ribu umat Islam baik dari kalangan ulama, ustadz dan ustadzah, tokoh masyarakat, intelektual, pengusaha dan kalangan profesional, mahasiswa ataupun rakyat biasa yang mengikuti konferensi itu di 30 kota di seluruh Indonesia. Mereka tidak hanya tercerahkan oleh materi-materi orasi yang memang sangat argumentatif mengenai bagaimana Khilafah dengan syariahnya bakal menyejahterakan seluruh rakyat tanpa kecuali, tetapi juga tergugah untuk turut berjuang bersama HTI karena perjuangan untuk menegakkan syariah dan Khilafah memang merupakan kewajiban seluruh umat Islam. Dalam konferensi itu juga tertanam keyakinan yang sangat kokoh tentang kepastian tegaknya Khilafah, karena Khilafah adalah wa’dulLah (janji Allah). Maka dari itu, siapapun yang hadir dalam konferensi itu dengan hati yang ikhlas dan pikiran yang terbuka pasti akan larut dalam gelegak suasana perjuangan yang membuncah.
Penetrasi dakwah HTI kepada obyek dakwah secara segmented juga terus meningkat. Hal ini dibuktikan, misalnya, di sepanjang bulan Syawal lalu diselenggarakan Liqa’ Syawal Ulama di beberapa kota yang diikuti oleh ribuan para ulama dengan penuh antusias. Di Jember hadir hampir 13 ribu ulama, di Pasuruan 3 ribu, di Madura hampir 1000, sementara di Jakarta sekitar 3 ribu. Di tahun mendatang, penetrasi dakwah di kalangan ulama, juga para intelektual, pengusaha, mahasiswa maupun segmen lainnya, insya Allah akan terus meningkat.
Adapun di luar negeri, peristiwa yang paling menarik tentu saja adalah gejolak di Timur Tengah. Diawali oleh aksi Mohamed Bouazizi yang membakar diri sebagai protes atas tindakan zalim aparat kepada dirinya; tindakan anak muda yang sejatinya adalah seorang sarjana tetapi terpaksa berdagang seadanya karena langkanya pekerjaan itu memicu lahirnya revolusi di Tunisia. Ben Ali, yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun, akhirnya jatuh. Tidak hanya berhenti di Tunis, api revolusi yang kemudian disebut Arab Spring, al-rabi‘e al-arabi itu terus menjalar ke seluruh dunia Arab; membakar Mesir, lalu Libya. Sama seperti Ben Ali, Husni Mubarak dan Qaddafi pun jatuh. Revolusi Timur Tengah yang telah mengakibatkan puluhan ribu tewas itu kini masih terus bergejolak di Yaman dan Suriah.
Sangat jelas, aksi itu menunjukkan telah lenyapnya rasa takut dalam diri masyarakat terhadap penguasanya. Tindakan represif yang mereka alami berpuluh tahun lamanya akhirnya mencapai titik klimaks. Inilah kekuatan perlawanan. Tumbangnya Zine el-Abidine Ben Ali, Mubarak dan Qaddafi, dan tak lama lagi mungkin Bashar Assad dan Ali Abdullah Saleh, menunjukkan hasil utama dari revolusi itu, yakni pembebasan dari rezim tiran.
Namun, penting untuk mencermati kemana arah perubahan dari Arab Spring ini mengingat Barat selalu berupaya mengambil keuntungan dari proses perubahan politik dimanapun, termasuk di Timur Tengah. Di Mesir, misalnya, ketika Mubarak ‘terpaksa’ harus ditendang, para pemimpin Dewan Militer, yang juga antek AS, mulai melakukan pembodohan terhadap rakyat dengan berbagai cara. Hal serupa juga tampak di Tunis, karena kekuatan Eropa (Inggris dan Prancis) di sana cukup dominan sehingga mereka bisa mengendalikan pergolakan itu melalui tangan antek-anteknya yang terlatih, yang menyusup di antara orang-orang yang melakukan perlawanan. Dengan cara itu, negara Barat bisa terus menjaga kepentingan politik mereka di negeri itu.
Meski Barat berusaha menjaga terus cengkeramannya di kawasan itu, banyak pihak memprediksi Arab Spring akan berubah menjadi “gelombang Islamis, anti-Barat, anti-liberal, anti-Israel dan anti-demokrasi”. Hal ini terlihat dari menguatnya kekuatan politik Islam di negeri-negeri itu. Partai Islam moderat, Ennahda, memenangkan Pemilu di Tunisia. Partai Islam juga memenangkan Pemilu di Maroko. Hal yang sama terjadi di Mesir saat Partai Keadilan dan Kebebasan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, memenangi Pemilu. Namun, apakah itu semua akan membuka jalan bagi tegaknya al-Islam di sana, tampaknya masih harus ditunggu mengingat partai-partai itu tidak secara tegas menunjukkan visi-misi perjuangannya ke arah Islam yang sebenarnya. Bahkan terakhir mereka berusaha tampil “moderat”.
++++
Dari apa yang sudah terjadi di sepanjang tahun 2011, agaknya kondisi negeri ini di tahun 2012 mendatang tidak akan jauh berbeda. Korupsi mungkin malah makin menjadi mengingat Pemilu makin mendekat. Gejolak Papua juga tampaknya akan terus membara karena memang begitulah maunya sang empunya cerita. Tensi pertarungan politik, juga politik jual-beli pasal, juga diduga akan makin meningkat karena dari situlah didapat amunisi untuk bertarung dalam pemilu mendatang. Walhasil, nasib rakyat akan tetap terabaikan.
Meski begitu, kita tentu tak boleh putus berharap, bahwa di tahun mendatang kita bisa menjalani kehidupan ini dengan lebih baik. Berkeluarga dengan lebih baik. Bekerja dengan lebih tertib. Berdakwah dan berjuang dengan lebih bersemangat, lebih sabar dan lebih istiqamah sedemikian sehingga kita bisa mewujudkan kehidupan umat yang lebih baik, yakni kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariah di bawah naungan daulah Khilafah.
Kita juga berharap, bara semangat revolusi rakyat yang saat ini tengah bergolak di Timur Tengah akan sampai pula di Indonesia. Ini adalah kesempatan emas untuk melakukan perubahan fundamental. Semestinya tokoh rakyat yang menuntut perubahan di sana maupun di sini, berjuang terus hingga kendali semua urusan berada di tangan figur yang amanah yang menjadikan kekuasaan ini tidak lain untuk lahirnya perubahan yang hakiki, perubahan yang diridhai oleh Allah SWT, yaitu ke arah Islam. Bukan yang lain. []