(QS al-Lail [92]: 17-21)
وَسَيُجَنَّبُهَا الأتْقَى، الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى، وَمَا لأحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى، إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى، وَلَسَوْفَ يَرْضَى
Kelak akan dijauhkan dari neraka itu orang yang paling takwa, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dia balas, tetapi (dia memberi semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Mahatinggi. Kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan (QS al-Lail [92]: 17-21).
Ayat-ayat ini merupakan bagian akhir dari surat al-Lail. Berkebalikan dengan ayat-ayat sebelumnya, dalam ayat-ayat ini diberitakan bahwa orang-orang bertakwa dijauhkan dari siksa yang mengerikan. Ayat-ayat ini pun menggambarkan sifat orang yang diselamatkan tersebut.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa sayujannabuhâ al-atqâ (Kelak akan dijauhkan dari neraka itu orang yang paling takwa). Kata yujannabuhâ berarti yub’adu ‘anhâ (dijauhkan darinya),1 atau seperti kata al-Qurthubi, bermakna yakûnu ba’îd[an] minhâ (menjadi jauh darinya).2 Dhamîr al-ghâib pada kata minhâ menunjuk pada kata nâr[an] talazhzhâ yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Huruf sîn di depannya memberikan makna istiqbâl yang berguna li al-ta’kîd (untuk menegaskan).3
Orang yang dijauhkan dari neraka yang menyala-nyala itu adalah al-atqâ. Imam al-Qurthubi menafsirkan kata tersebut sebagai al-muttaqî al-khâif (orang yang bertakwa lagi takut).4
Menurut al-Baghawi, sebagaimana al-asyqâ yang bermakna as-saqiyy, kata al-atqâ juga bermakna at-taqiyy.5 Namun al-Kawari mengatakan, kata al-atqâ merupakan ism at-tafdhîl dari kata at-taqwâ, yakni orang yang bertakwa kepada Allah SWT dengan ketakwaan yang benar.6
Menurut asy-Syaukani, ayat ini menunjukkan bahwa tidak dijauhkan dari neraka kecuali al-kâmil fî taqwâ (orang yang sempurna ketakwaannya). Karena itu, siapa saja yang tidak sempurna ketakwaannya, seperti para pelaku maksiat dari kalangan kaum Muslim, maka tidak termasuk orang yang dijauhkan dari neraka.7
Gambaran tentang sifat orang yang bertakwa tersebut disebutkan dalam ayat selanjutnya: al-ladzî yu’tî mâlahu yatazakkâ (yang menafkahkan hartanya [di jalan Allah] untuk membersihkannya). Kata yu’tî mâlahu di sini berarti yu’thîhi wa yushrifuhu (memberikan dan menginfakkannya),8atau sebagaimana dijelaskan ath-Thabari, bermakna: memberikan hartanya ketika di dunia pada perkara-perkara yang menjadi hak Allah yang diwajibkan kepada dirinya.9
Ayat ini menegaskan bahwa motif orang tersebut menginfakkan hartanya adalah: yatazakkâ. Kata tersebut berasal dari az-zakâ‘ (kesucian, keaslian dan kemurnian). Dengan demikian yatazakkâ berarti menginginkan dirinya menjadi orang yang suci atau bersih di sisi Allah, bukan karena ingin riya dan sum’ah.10 Akan tetapi, dia bersedekah semata-mata mencari ridha Allah.11 Imam ath-Thabari menafsirkan kalimat tersebut sebagai: dengan pemberiannya tersebut, dia mensucikannya dirinya dari dosa.12
Kemudian dipertegas dalam ayat berikutnya: Wa mâ li ahad[in] ‘indahu min ni’mat[in] tujzâ (Padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepada dia yang harus dia balas). Huruf mâ merupakan harf an-nafiy, yang memberikan makna peniadaan.
Asy-Syaukani menjelaskan, ayat ini merupakan al-jumlah al-musta’nafah li taqrîr mâ qablahâ (kalimat lanjutan untuk menetapkan kalimat sebelumnya) bahwa pemberian harta tersebut dilakukan untuk menyucikan diri, dengan ikhlas tanpa dikotori oleh noda yang bisa menghilangkan keikhlasannya. Artinya, dia tidak termasuk orang yang mensedekahkan hartanya—yang dengan sedekahnya itu—untuk membalas dan membayar kebaikan orang lain kepada dia. Namun, dia sungguh-sungguh bersedekah semata-mata untuk Allah SWT. Makna ayat ini adalah bahwa tidak ada seorang pun yang telah memberikan suatu kebaikan kepada dia yang harus dia balas sehingga tujuan memberikan harta tersebut adalah untuk membalas kebaikan tersebut.13Tak jauh berbeda, Ibnu ‘Athiyah menafsirkan: Pemberiannya itu bukanlah untuk membalas kebaikan atau kenikmatan yang diberikan kepada dia. Namun, dia memulai pemberian itu (tanpa menunggu diberi terlebih dulu) untuk mengharapkan ridha Allah Ta’ala.14
Lalu disebutkan: illâ [i]btighâ’a wajhi Rabbihi al-a’lâ (tetapi karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi). Kata [i]btighâ’ berarti thalab wa qashd (mencari dan menghendaki).15 Kalimat illâ [i]btighâ’a merupakan istitsnâ’ munqathi’ (pengecualian yang terputus). Ini seperti halnya ungkapan: Mâ fî ad-dâr ahad[an] illâ himâr[an] (tidak ada seorang pun di dalam rumah kecuali seekor keledai).16 Dalam kalimat tersebut, himâr (keledai) menjadi mustatsnâ bagi kata ahad (seseorang). Kedua kata tersebut jelas berbeda jenisnya sehingga kata himâr terkategori sebagai mustatsnâ munqathi’ (pengecualian yang terputus). Dalam konteks demikian, kata illâ bermakna lâkin (tetapi). Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan al-Baghawi, makna ayat ini adalah: Dia tidak melakukan hal itu (yakni memberikan hartanya) untuk membalas seseorang yang telah melakukan kebaikan kepadanya. Akan tetapi, dia mengerjakan semata untuk mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi.17
Menurut Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud ayat ini adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Bahkan ar-Razi, al-Wahidi, al-Baghawi, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu al-Jauzi, dan lain-lain menegaskan bahwa itu merupakan pendapat semua.18 Kesimpulan tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dengan sabab nuzul ayat ini.
Atha’ dan adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “Orang-orang musyrik menyiksa Bilal. Bilal pun mengucapkan, ‘Ahad…Ahad’. Lalu Rasulullah saw. melewatinya seraya bersabda “Ahad—yakni Allah Ta’ala—akan menyelamatkanmu.” Beliau pun berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya Bilal disiksa karena Allah.” Abu Bakar mengetahui maksud sabda beliau itu, lalu pulang dan mengambil satu ritl emas. Abu Bakar menemui Umayyah bin Khalaf dan berkata, ‘Apakah kamu mau menjual Bilal kepadaku?’ Dijawab, ‘Ya’. Abu Bakar pun membeli Bilal dan membebaskannya. Kemudian orang-orang musyrik berkata, ‘Tidaklah Abu Bakar membebaskan Bilal kecuali untuk membalas kebaikan terhadapnya.’ Lalu turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa Abu Bakar melakukan tersebut bukan karena ada kebaikan orang lain yang harus dibalas, tetapi semata-mata mencari ridha Allah Yang Mahatinggi.19
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Urwah bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq telah membebaskan tujuh orang budak, yang semuanya dibebaskan saat disiksa karena Allah. Mereka adalah Bilal, Amir bin Fuhairah, Nahdiyyah dan putrinya, Zubairah, Ummu ‘Isa, dan Amah Bani Muammal.20
Meskipun turun berkenaan dengan Abu Bakar ra., sebagaimana dinyatakan Ibnu ‘Athiyah, ayat ini berlaku umum.21 Penjelasan tersebut sejalan dengan kaidah al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzh, lâ bi khushûsh as-sabab (kesimpulan atas dalil didasarkan pada keumuman lafal, bukan kekhususan sebab).
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Wala sawfa yardhâ (Kelak dia benar-benar mendapat kepuasan). Ada perbedaan pendapat mengenai dhamîr al-ghâib (kata ganti orang ketiga) pada ayat ini. Menurut sebagian mufassir, dhamîr tersebut kembali kepada orang yang bertakwa. Al-Baghawi mengatakan: Dia akan ridha dengan pemberian Allah di akhirat berupa surga dan kemuliaan sebagai balasan atas amal perbuatan mereka.22 Penjelasan senada juga dikemukakan oleh al-Qurthubi, ath-Thabari dan an-Nasafi.23 (Lihat juga: QS adh-Dhuha [93]: 5).
Menurut sebagian lainnya, dhamîr al-ghâib tersebut adalah Allah SWT. Ayat ini memberikan makna bahwa: Dia tidak berinfak kecuali untuk mencari ridha Allah, dan Allah pun akan meridhai dia. Menurut Fakhruddin ar-Razi, makna ini lebih agung daripada makna pertama. Alasannya, keridhaan Allah SWT kepada hamba-Nya lebih sempurna daripada keridhaan hamba kepada Tuhannya. Secara keseluruhan, hal ini mengandung dua makna sekaligus sebagaimana firman Allah SWT:
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi Dia ridhai (QS al-Fajr [89]: 28).24
Takwa, Harta dan Ridha Allah
Allah SWT dengan keadilan-Nya telah menciptakan nâr[an] talazhzhâ. Itulah tempat di akhirat yang berisi berbagai azab dan siksaan amat dahsyat bagi penghuninya. Tempat mengerikan tersebut ditetapkan Allah sebagai tempat kembali al-asyqâ (orang yang paling celaka), yakni orang yang kadzdzaba wa tawallâ (mendustakan dan berpaling). Hukuman tersebut tentu setimpal dengan kedurhakaan yang dilakukan.
Bagi orang yang berlaku sebaliknya, tidak perlu khawatir. Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-atqâ akan dijauhkan dari siksa amat pedih tersebut. Sebagaimana telah dipaparkan, maksud dari al-atqâ adalah orang yang bertakwa kepada Allah, yakni orang-orang yang takut mendapatkan azab dan murka-Nya. Ketakutan tersebut melahirkan sikap taat, tunduk serta patuh terhadap semua perintah dan larangan-Nya. Inilah sikap dasar orang-orang yang bertakwa.
Di antara kemuliaan sifat mereka yang digambarkan ayat ini adalah kegemarannya dalam menginfakkan harta yang dianugerahkan Allah SWT kepada dirinya. Selain dalam ayat ini, gambaran senada juga disebutkan dalam beberapa nash lainnya, seperti QS al-Baqarah [2]: 2-3. Sikap tersebut tetap melekat pada mereka baik pada saat lapang, mudah, dan banyak harta maupun pada saat sempit, susah dan sedikit harta (lihat QS Ali Imran [3]: 133-134).
Mereka telah mampu membuktikan kecintaan mereka kepada Allah jauh lebih besar dibandingkan dengan kecintaan mereka terhadap harta. Oleh karena itu, mereka pun menginfakkan harta mereka untuk mendapatkan pahala dan ridha-Nya. Inilah satu-satunya niat dan maksud yang melandasi amal mereka. Mereka steril dari motif-motif selain itu. Misalnya, untuk membalas kebaikan yang pernah diterima atau mengharapkan imbalan dan ucapan terima kasih dari yang diberi (Lihat: QS al-Insan [76]: 8-9).
Pilihan mereka benar. Sebab, harta yang mereka infakkan akan mendapatkan balasan yang amat besar (lihat QS al-Baqarah [2]: 261). Keikhlasan niat mereka untuk memperoleh ridha-Nya akan berujung pada kebahagiaan. Mereka akan dijauhkan dari siksa neraka. Allah SWT juga meridhai sikap dan tindakan mereka tersebut. Sebagai balasan terhadap mereka, Allah SWT pun memberikan anugerah besar yang membuat mereka ridha, yakni surga yang dipenuhi dengan berbagai kenikmatan tiada tara. Selain ayat ini, hal itu diberitakan dalam QS al-Hijr [15]: 45, ad-Dukhan [44]: 51-52, Maryam [19]: 63, ar-Ra’d [13]: 35, dan lain-lain.
Pelajaran dari Abu Bakar ra.
Sebagaimana dipaparkan di muka, ayat-ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar ra. Abu Bakar ra. adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan dewasa. Banyak Sahabat yang masuk Islam melalui beliau. Di antaranya adalah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf.
Beliau selalu setia menemani Rasulullah saw. sejak beliau masuk Islam. Beliau juga yang bersama Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, termasuk ketika sedang bersembunyi di Gua Tsur. Pada saat Perang Hunain, saat banyak pasukan melarikan diri, beliau tetap kukuh berada di samping Rasulullah saw.
Abu Bakar ra. juga ini dikenal sebagai sosok dermawan dan gemar menginfakkan sebagian besar hartanya di jalan Allah SWT. Saat Rasulullah saw. meminta kepada seluruh kaum Muslim agar menginfakkan hartanya dalam Perang Tabuk, Abu Bakar ra. pun membawa seluruh harta bendanya. Ketika ditanya Rasulullah saw., apa yang masih disisakan untuk keluarganya, dengan tegas beliau menjawab, “Saya menyisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Dalam riwayat lainnya, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ … فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ
Siapa saja yang berinfak dengan sepasang hartanya (sepasang unta atau kuda) di jalan Allah maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, ‘Hai hamba Allah, inilah kebaikan.’ … Abu Bakar pun bertanya, “Ayah dan ibuku sebagai penebus Anda, wahai Rasulullah, kesulitan apa lagi yang perlu dikhawatirkan oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu itu. Mungkinkah ada orang yang dipanggil dari semua pintu tersebut?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, ada, dan aku berharap kamu termasuk golongan mereka.” (HR al-Bukhari, dari Abu Hurairah ra.).
Semoga kita termasuk orang yang diberi kekuatan untuk mengikuti jejak mereka. Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Al-Wahidi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz (Damaskus: Dar al-Qalam, 1995), 1209; Ibnu al-Jauzi, Zâd al-Masîr, vol. 4 (Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2001), 455.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 88.
3 Muhyiddin, I’râb al-Qur’ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Hams: Har al-Irsyad, 1995), 503.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 88.
5 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 263.
6 Kamilah al-Kawari, Tafsîr Gharîb al-Qur’ân (tt: Dar Ibn Hazm, tt).
7 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 552.
8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 370
9 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 478.
10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), 764. Lihat juga: al-Wahidi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, 1209.
11 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 88; Ibnu al-Jauzi, Zâd al-Masîr, vol. 4, 455
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 479.
13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 553.
14 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, 5, 492. Penjelasan senada juga dikemukakan al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, vol. 20, 88.
15 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 95.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 88; Lihat juga: ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 188; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 318.
17 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 264.
18 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 31, 187; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 264; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 490; Ibnu al-Jauzi, Zâd al-Masîr, vol. 4, 455
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 88.
20 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 554.
21 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, 5, 492
22 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 264
23 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 90; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 480; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl,vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, 1998), 652.
24 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 31, 188.