Aneh! Itulah ungkapan yang pas untuk pemerintah dan wakil rakyat Indonesia saat ini.
Sebagaimana diketahui, saat ini harga sembako terus merangkak, jeritan rakyat kecil kian melengking. “Beras saja sekarang sekilo sampai Rp10.000, Kang. Hidup ini berat,” ujar seorang bapak mengungkapkan beban hidupnya kepada saya. Penggusuran pedagang kaki lima yang terjadi di berbagai daerah terus berjalan. Mereka berteriak, “Kami mencari uang makan secara halal dikejar-kejar, dagangan kami dihancurkan, apakah mereka menginginkan kami ini jadi perampok.” Namun, teriakan mereka seakan-akan tak terdengar oleh para penguasa negeri Muslim terbesar ini. Semua dianggap sepi.
Pemandangan semacam itu hanya akan ditemui di tengah-tengah masyarakat.
Sebaliknya, apa yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang katanya wakil rakyat, sangat kontras dengan kehidupan masyarakat. Pihak Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI, Nining Indra Saleh, beberapa waktu lalu secara resmi memperlihatkan renovasi ruang rapat baru Badan Anggaran DPR yang memakan biaya Rp 20,7 miliar. Padahal siapapun tahu bahwa gedung tersebut masih sangat layak. Kalaupun direnovasi tidak lebih dari Rp 300 juta. Uang rakyat sebesar itu bila digunakan untuk memberi makan fakir miskin seharga Rp 10 ribu perorang akan cukup untuk memberi makan 69.000 orang fakir miskin selama sebulan penuh. Ini bukan yang pertama kali. Beberapa bulan lalu, DPR mengajukan dana pembangunan gedung barunya senilai Rp 1,138 triliun. Wakil rakyat tampaknya lebih mementingkan kenyamanan dirinya daripada kelaparan rakyat jelata. Padahal Allah SWT menegaskan: Tahukah kamu orang yang mendustakan agama. Itu adalah orang yang menyia-nyiakan anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan kaum miskin (TQS al-Ma’un [107]: 1-3).
Apa yang terjadi di badan legislatif ini merupakan salah satu cermin jiwa yang sakit.
Lain lagi di yudikatif. Bulan lalu di Palu, seorang anak berumur 15 tahun mencuri sandal jepit. Ia dengan sigap diproses pengadilan. Di Cilacap dua orang yang tidak tamat SD mencuri 15 tandan pisang. Tanpa menunggu proses yang berbelit-belit dan rumit mereka langsung diproses dengan cepat. Bahkan sebelumnya kasus Nenek Minah yang dituduh mengambil dua biji coklat seharga Rp 1500 segera disidangkan. Namun, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 1,3 triliun hilang ditelan angin. Begitu juga kasus Century yang ditengarai melibatkan pejabat dan partai besar tak kunjung diusut dengan serius. Kasus Wisma Atlet dan kasus Nunun yang melibatkan beberapa pejabat berjalan tertatih-tatih. Ini pun cermin masyarakat sakit. Yang kecil dibiarkan menjerit, yang kuat dibiarkan tertawa. Padahal ini merupakan tanda perjalanan menuju kehancuran. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya perkara yang membinasakan kaum sebelum kalian adalah apabila ada pejabat/bangsawan mencuri maka mereka dibiarkan, sedangkan apabila apabila orang lemah mencuri maka segera diterapkan kepada mereka hukuman. Demi jiwa Muhammad yang ada digenggaman tangan-Nya, apabila Fatimah putri Muhammad mencuri pasti akan aku potong tangannya.” (HR al-Bukhari).
Hal yang sama terjadi pada tingkatan pemerintah (eksekutif). Di tengah memanasnya kasus Century yang ditengarai melibatkan partai pemerintah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta 9 peraturan daerah (perda) yang melarang minuman keras dicabut. Di antara perda tersebut adalah Perda Kota Tangerang no. 7/2005 tentang Pelarangan, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol; Perda Kabupaten Indramayu no. 15/2006 tentang Larangan Minuman Beralkohol; dan Perda Kota Bandung no. 11/2010 tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Terlepas dari kemungkinan untuk pengalihan isu, pada satu sisi sikap pemerintah ini merupakan salah satu buah lobi kalangan sekular dan islamfobia yang sejak awal menentang kehadiran perda-perda tersebut. Mereka menyebutnya dengan ‘Perda Syariah’ serta kala itu menyudutkan bahwa perda tersebut membahayakan NKRI karena merupakan embrio penerapan syariah di Indonesia yang akan melahirkan disintegrasi. Sebaliknya, ketika gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan RMS terang-terangan melakukan gerakan separatisme mereka diam saja. Pada sisi lain, sikap mencabut perda minuman keras sama artinya dengan membiarkan dan membela perusahaan, distributor, dan pelaku mabuk-mabukan. Ini merupakan sikap menentang Allah SWT secara nyata. Bukankah Allah Yang Mahaperkasa berfirman: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan (TQS al-Maidah [5]: 90).
Membiarkan minuman keras (khamr) berarti mengundang segala macam keburukan. Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah khamr (minuman keras), karena sesungguhnya ia adalah kunci semua keburukan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Aneh, penguasa negeri ini lebih menginginkan datangnya berbagai keburukan dengan cara melarang ‘perda yang melarang khamr’ daripada mendatangkan kebaikan bagi rakyatnya. Jangan-jangan ini termasuk ke dalam sikap menyuruh perbuatan mungkar dan melarang berbuat makruf (amar munkar nahyu ma’ruf bukan amar ma’ruf nahyu munkar). Padahal sikap demikian merupakan salah satu karakter kaum munafik. Allah SWT berfirman, “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf, dan mereka menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah lupa kepada Allah dan Allah melupakan mereka pula. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik (TQS. at-Taubah [9]: 67).
Tindakan dan sikap di atas hanyalah secuil gambaran saja. Semua itu mengokohkan pandangan bahwa Indonesia telah dan sedang sakit baik di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Bahkan sakitnya tambah parah dari waktu ke waktu. Celakanya, bukan sekadar sakit melainkan sakit yang melahirkan berbagai kemungkaran. Dalam kondisi seperti ini, siapa pun yang sadar dan punya rasa tanggung jawab sejatinya bergerak untuk mengobatinya.
Memang, Indonesia sedang sakit, obatnya adalah Islam, dan dokternya adalah para pejuang Islam. Akankah negeri Muslim terbesar ini dibiarkan masuk jurang lebih dalam lagi? []