Surah Asy-Syams [91]: 1-10
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَالْقَمَرِ إِذَا تَلاهَا، وَالنَّهَارِ إِذَا جَلاهَا، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا، وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا، وَالأرْضِ وَمَا طَحَاهَا، وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا، فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا، قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
Demi matahari dan cahayanya pada pagi hari. Demi bulan apabila mengiringinya. Demi siang apabila menampakkannya. Demi malam apabila menutupinya. Demi langit dan pembinaannya. Demi bumi dan penghamparannya. Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaan)-nya. Lalu Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS asy-Syams [91]: 1-10).
Surat ini dinamakan asy-Syams, diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama. Surat yang terdiri dari 15 ayat ini tergolong Makkiyyah. Tidak ada perbedaan pendapat tentang perkara tersebut.1 Jika surat sebelumnya, surat al-Balad, diakhiri dengan adanya kelompok manusia dengan sifat dan nasib yang kontradiktif, yakni ash-hâb al-maymanah dan ash-hâb al-masy’amah, maka dalam surat ini kembali disebutkan dua kelompok serupa dengan firman-Nya: qad aflaha man zakkâhâ dan waqad khâba man dassâhâ.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa asy-Syams wa al-dhuhâhâ (Demi matahari dan cahayanya pada pagi hari). Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diawali dengan huruf wâwu. Menurut az-Zuhaili, huruf al-wâwu yang pertama merupakan wâwu al-qasam, sedangkan semua huruf al-wâwu sesudahnya merupakan ‘athf atasnya. Allah SWT bersumpah dengan beberapa benda yang disebutkan. Dia berhak untuk bersumpah dengan makhluk-Nya yang mana pun.
Kata asy-syams menunjuk pada benda yang sudah dikenal, yakni benda langit yang bersinar di siang hari, sedangkan kata dhuhâhâ memiliki beberapa penafsiran. Menurut Mujahid, kata tersebut bermakna dha’uhâ wa isyrâquhâ (sinar dan terangnya). Disandarkan ad-dhuhâ pada asy-syams karena adhl-dhuhâ terjadi ketika naiknya matahari. Pendapat yang sama juga dikemukakan al-Kalbi. Qatadah menafsirkan kata tersebut: nahâruhâ kulluhâ (seluruh siangnya). Al-Farra’ juga memaknainya sebagai an-nahâr (siang). Al-Mubarrid mengatakan, asal adh-dhuhâ adalah ash-shubh, yakni nûr asy-syams (cahaya matahari).2
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa al-Qamar idzâ talâhâ (Demi bulan apabila mengiringinya). Kata al-qamar menunjuk pada benda yang juga sudah dikenal, yakni benda langit selain bintang yang bersinar di malam hari. Adapun kata talâhâ berarti tabi’ahâ (mengikutinya).3 Dhamîr al-ghâib (kata ganti pihak ketiga) pada ayat ini merujuk pada asy-syams. Dengan demikian frasa tersebut memberikan pengertian bahwa bulan mengikuti matahari, terbit setelah matahari terbenam.4
Selanjutnya disebutkan: Wa an-Nahâri idzâ jallâhâ (Demi siang apabila menampakkannya). Secara bahasa, kata an-nahâr menunjuk pada waktu antara terbit matahari dan terbenamnya, namun secara syar’i berarti waktu antara terbit fajar hingga terbenam matahari.5 Adapun kata jallâhâ berarti adhâ’ahâ (meneranginya).6 Demikian penafsiran Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Jarir ath-Thabari.7
Kata ganti (dhamîr) hâ‘ dan alif pada kata jallâhâ kembali pada matahari, artinya: ketika siang menampakkan matahari. Menurut al-Qinuji dan an-Nasafi, hal itu terjadi karena matahari ketika membentangkan siang, benar-benar terlihat jelas, seolah-olah sianglah yang telah menampakkannya. Padahal sesungguhnya justru mataharilah yang membentangkan siang.8 Tatkala matahari tampak, maka bumi yang disinari akan terang-benderang.
Kemudian: Wa al-Layl idzâ yaghsyâhâ (Demi malam apabila menutupinya). Kata al-layl merupakan lawan dari an-nahâr, yakni waktu mulai terbenam matahari hingga terbitnya.9 Seperti ayat sebelumnya, dhamîr al-ghâib ayat ini masih kembali pada matahari. Dengan demikian yaghsâhâ berarti yaghsâ asy-syams (menutupi matahari). Penafsiran ini dikemukakan banyak mufassir seperti Mujahid, Abu Hayyan al-Andalusi, al-Alusi, dan yang lainnya.10 Ibnu Jarir juga memaknai ayat ini: Ketika malam menutupi matahari. Matahari pun tak terlihat, kemudian membuat gelap cakrawala.11
Lalu disebutkan: Wa as-Samâ’i wa mâ banâhâ (Demi langit dan pembinaannya). Kata as-samâ‘ menunjuk pada sesuatu yang berhadapan dengan bumi, terlihat di atasnya, seperti kubah berwarna biru.12 Kata mâ di sini merupakan mashdariyyah sehingga maknanya binâ’uhâ atau bun-yâtuhâ (bangunannya). Menurut Imam al-Qurthubi, makna tersebut sama dengan makna mâ pada QS Yasin [36]: 27.13
Ayat berikutnya: Wa al-Ardh wa mâ thahâhâ (Demi bumi dan penghamparannya). Tidak berbeda dengan ayat sebelumnya, kata mâ dalam ayat ini juga bermakna mashdar. Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan al-Qurthubi, kata thahâhâ bermakna thahwihâ (hamparannya, bentangannya). Makna ath-thahw adalah al-basth (hamparan, bentangan). Al-Alusi juga menafsirkan kata itu dengan basathahâ min kulli jânib (menghamparkan segala sisinya).14
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wa Nafsi wa mâ sawwâhâ (Demi jiwa dan penyempurnaan [ciptaan]-nya). Kata nafs[i] di sini merupakan ism al-jins (kata benda yang mencakup seluruh jenisnya). Ini ditunjukkan oleh ayat berikutnya: Fa alhamahâ dan sesudahnya.15 Menurut as-Syinqithi, kata an-nafs di sini menunjuk pada tabiat manusia secara sempurna dengan badan, ruh serta kekuatan manusiawinya seperti berpikir, berperilaku, dan lain-lain.16
Masih sama dengan ayat sebelumnya, kata mâ di sini bermakna mashdar. Dengan demikian frasa mâ sawwâhâ berarti taswiyatihâ (penyempurnaannya).17 Dijelaskan Abu Hayyan dan Ibnu ‘Athiyah, pengertian taswiyatihâ di sini adalah penyempurnaan akal dan pendangannya. Oleh karena itu, ia dikaitkan dengan fa alhamahâ. Sebab, huruf al-fâ’ mengharuskan at-tartîb (urutan) dengan kalimat sebelumnya berupa penyempurnaan, yang itu tidak terjadi kecuali dengan akal.18
Kemudian Allah SWT berfirman: Fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ (Lalu Allah mengilhamkan pada jiwa itu [jalan] kefasikan dan ketakwaannya). Menurut al-Qurthubi dan as-Samarqandi, kata alhamahâ di sini bermakna ‘arrafahâ (memberitahukannya). Dengan demikian makna ayat ini adalah: ‘arrafahâ tharîq al-fujûr wa at-taqwâ (memberitahukan pada jiwa tersebut jalan kefasikan dan ketakwaan).19 Ibnu ‘Abbas juga menyatakan bahwa ayat ini bermakna: Dia telah menjelaskan kebaikan dan keburukan. Bisa juga berarti: Dia telah mengajarkan ketaatan dan kemaksiatan.20
Berikutnya firman-Nya: Qad aflaha man zakkâhâ (Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu). Dijelaskan az-Zujjaj, al-Qurthubi, an-Nasafi, dan as-Syinqithi ayat ini merupakan jawâb al-qasm. Huruf al-lâm dihilangkan karena panjangnya kalimat. Kalimat aslinya: laqad aflaha.21
Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, kata at-tazkiyah berarti at-tathhîr (menyucikan) atau al-inmâ‘ (menumbuhkan). Ada dua penafsiran mengenai makna ayat ini. Pertama: orang yang menyucikan dirinya telah mendapatkan apa yang diinginkan lantaran telah membersihkan jiwanya dari dosa dengan mengerjakan ketaatan dan menjauhi maksiat. Kedua: telah beruntung orang yang jiwanya telah disucikan Allah.22
Allah SWT berfirman: Wa qad khâba man dassâhâ (dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori jiwanya). Kata khâba berarti fawt ath-thalab (kehilangan perkara yang diiinginkan).23 Menurut al-Jazairi, khâba di sini berarti khasira fî âkhiratihi (mengalami kerugian di akhiratnya).24
Adapun dassahâ pada asalnya berasal dari at-tadsîs. Artinya, ikhfâ‘ asy-syay‘ fî asy-syay‘ (menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu). Ini kebalikan dari ayat sebelumnya. Orang yang ditelantarkan Allah dan tidak diberikan pertolongan, dalam kemusyrikan dan kerusakan. Dia tidak menyucikan dirinya dengan keimanan dan amal shalih serta mengotorinya.
Yang Beruntung dan yang Merugi
Sebagaimana telah dipaparkan, surat ini diawali dengan sumpah Allah SWT yang menyebut tujuh benda beserta berbagai kejadian yang menyertainya sebagai al-muqsam bih. Benda pertama yang dijadikan obyek sumpah adalah matahari; kemudian bulan, siang, malam, langit dan bumi. Semua benda yang disebut merupakan benda-benda yang besar; yang mencerminkan keagungan dan kebesaran Penciptanya (lihat QS al-Mukmin [40]: 57).
Penyebutan semua benda tersebut seharusnya menciptakan sikap ta’zhim kepada Penciptanya sehingga akan melahirkan sikap tunduk dan taat kepada-Nya. Sebab, dia mengetahui dengan siapa dia berhadapan. Jangankan menghadapi Allah SWT, melawan semua ciptaan-Nya tersebut manusia tak berdaya.
Semua benda tersebut juga amat vital bagi kehidupan manusia. Tak bisa dibayangkan manusia bisa hidup tanpa semua benda dan berbagai kejadian yang menyertainya tersebut. Padahal tanpa manusia memintanya, semuanya sudah tersedia. Tatkala kesadaran ini dimiliki manusia, amat mudah bagi manusia mensyukuri berbagai nikmat-Nya yang tak terhingga itu.
Tak hanya benda-benda di luar dirinya. Keberadaan diri manusia sendiri, yang sebelumnya tidak ada, lalu Allah SWT ciptakan, seharusnya juga menyadarkan manusia tentang kebesaran dan keagungan Allah SWT. Kekuatan, kesempurnaan dan keindahan fisiknya dan dilengkapi dengan kecerdasan akalnya dan kepekaan perasaannya, manusia menjadi makhluk yang sempurna. Semua itu merupakan kenikmatan tak ternilai bagi manusia.
Kenikmatan tersebut masih dilengkapi dengan tuntunan dan petunjuk dari Allah yang diberikan kepada manusia untuk mengenali haqq dan batil, baik dan buruk, terpuji dan tercela, serta halal dan haram. Petunjuk itu memudahkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sempurna dan hakiki. Sebagaimana dijelaskan para mufassir, inilah yang ditegaskan dalam firman-Nya: Fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ. Juga dinyatakan dalam firman-Nya:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Kami telah menunjukkan kepada dirinya dua jalan (QS al-Balad [90]: 10).
Meskipun demikian, semuanya dikembalikan kepada manusia. Selama hidup di dunia, manusia diberi kesempatan untuk memilih antara dua jalan tersebut, yakni jalan ketakwaan dan jalan kefasikan.
Manusia bisa memilih untuk menempuh jalan at-taqwâ, yakni mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yang dalam ayat ini disebut sebagai: man zakkâhâ (orang yang menyucikan dirinya). Dia menyucikan diri dari najis kemusyrikan dan segala akidah kufur lainnya (lihat QS at-Taubah [9]: 28). Dia menyucikan dirinya dari akidah kufur dengan keimanan dan menyucikan diri dari kemaksiatan dengan mengerjakan ketakwaan (lihat QS an-Najm [53]: 32, al-A’la [87]: 14-15).
Sebaliknya, manusia bisa memilih jalan kefasikan; berpaling dari kebenaran, enggan mengerjakan ketaatan dan tak mau meninggalkan kemaksiatan, yang dalam ayat ini disebut: man dassâhâ (orang yang mengotori jiwanya).
Namun harus dicatat, pilihan tersebut bukan tanpa konsekuensi. Nasib manusia, terutama di akhirat kelak, ditentukan oleh pilihannya terhadap jalan yang telah diajarkan kepada dirinya itu.
Orang yang menyucikan dirinya akan memperoleh keberuntungan. Dalam ayat ini disebut: Qad aflaha man zakkâhâ (Sungguh telah beruntung orang yang menycikan dirinya). Maknanya, dia beruntung karena telah diselamatkan dari perkara yang membuatnya sengsara dan menderita, yakni siksa neraka yang dahsyat. Ia juga memperoleh berbagai perkara yang diinginkan dan membahagiakan, yakni surga. Dia memperoleh ganjaran atas amal kebajikan yang dilakukan. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ تَزَكَّى فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Siapa saja yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri dan kepada Allahlah kembali (QS Fathir [35]: 18).
Demikian pula sebaliknya. Orang yang mengotori dirinya dengan kekufuran dan kemaksiatan. Mereka menderita kerugian yang amat besar. Dalam ayat ini dinyatakan: Wa qad khâba (Sesungguhnya telah merugi). Sebab, dahsyatnya siksa neraka tak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun yang pernah dirasakan di dunia. Mereka menuai hasil atas perbuatan jahat yang dilakukan (lihat QS al-Baqarah [2]: 286).
Meskipun peristiwa yang dikabarkan itu belum terjadi, tidak sukar bagi manusia untuk membenarkannya. Jika Allah SWT berkuasa menciptkan matahari dengan sinarnya terang, bulan dengan cahaya yang lembut di malam hari, siang hari yang menerangi dunia, malam hari yang menutupi alam semesta, langit dengan bangunannya yang kokoh beserta taburan bintang gemintang, dan bumi yang terhampar luas beserta semua tumbuhan dan pepohonan, hewan dengan aneka ragamnya, sungai dan laut di atasnya, tak sulit bagi Allah SWT untuk menciptakan surga dan neraka. Apabila Allah SWT bisa menciptakan manusia, dari tiada menjadi ada, kemudian menyempurnakan kejadiannya, tentu lebih mudah lagi bagi Allah SWT untuk menghidupkan manusia kembali (lihat QS al-Qiyamah [75]: 38) dalam rangka memberi mereka balasan sesuai dengan amal mereka masing-masing. Tidak ada seorang pun yang dizalimi (lihat QS Yasin [36]: 54).
Bertolak dari sini, amat mudah bagi orang yang menggunakan akalnya untuk memilih di antara dua jalan tersebut, yakni memilih jalan yang mengantarkan pada keberuntungan. Maka dari itu, selama masih ada kesempatan, pilihlah jalan takwa, terikat dengan hukum-Nya dan menerapkan syariah-Nya secara kaffah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiryyah, 1964), 72; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 545; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 357.
2 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 545.
3 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 73; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1998), 647; al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, vol. 15 (Beirut: Maktbah al-‘Ashriyyah, 1992), 252.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 73. Lihat juga asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 545; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 486.
5 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412 H), 826. Lihat juga: Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 487.
6 Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 253.
7 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 452.
8 Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 253. Lihat juga: an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 3, 647. Lihat juga: al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 358.
9 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3 (tt: Alam al-Kitab, 2008), 2055.
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 74; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 486; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 358.
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 453.
12 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3, 115.
13 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 74. Lihat juga: an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Tanzîl, vol. 3, 648.
14 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 359.
15 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 488. Lihat juga: Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 488.
16 Asy-Syinqitihi, Adhwâ‘ al-Bayân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 539.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 74.
18 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 488; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 488.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 75.
20 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 454. Lihat juga an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Tanzîl, vol. 3, 648.
21 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 489; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 488; asy-Syinqitihi, Adhwâ` al-Bayân, vol. 8, 541.
22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar ihya‘ al-Turats al-Arabiy, 1420 H), 177.
23 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 300.
24 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 577.