Pengantar
Khalifah adalah kepala Negara Islam. Ia disebut juga dengan Amîrul Mu’minîn (Pemimpin Kaum Mukmin) dan al-Imâm al-A’zham (Pemimpin Tertinggi). Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas dalam kekuasaan dan pemerintahan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.:
فَاْلإِمَامُ الأَعْظَمُ الذِّي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Pemimpin tertinggi (al-Imâmul A’zham) masyarakat adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).
Artinya, semua urusan yang terkait dengan pemeliharaan urusan rakyat dan negara merupakan kewenangan al-Imâm al-A’zham, yakni Khalifah. Oleh karena itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullâh berkata, “Asas Daulah Islam adalah Khalifah. Adapun yang lainnya adalah wakil Khalifah atau tim penasihat (mustasyâr) bagi dirinya. Dengan demikian, Negara Islam adalah Khalifah yang menerapkan sistem Islam.” (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 231).
Lalu Khalifah mewakili siapa ketika menjalankan kewenangan dan otoritasnya yang begitu besar dalam kekuasaan dan pemerintahan serta dalam penerapan sistem Islam?
Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 24, yang berbunyi: “Khalifah mewakili umat dalam pemerintahan dan penerapan syariah.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 124).
Khalifah: Wakil Siapa?
Terkait dengan Khalifah ini mewakili siapa ketika menjalankan kewenangan dan otoritasnya dalam kekuasaan dan pemerintahan serta dalam penerapan sistem Islam, maka dalam khazanah pemikiran Islam kita temukan pendapat-pendapat ulama sebagai berikut:
1. Khalifah: Wakil Allah SWT.
Ini adalah pendapat sebagian ulama, di antanya az-Zujad, seperti yang dikatakan Ibnu Mandzur dalam Lisân al-‘Arab, bahwa boleh para imam (Khalifah) disebut dengan para wakil (pengganti) Allah di muka bumi. Dalilnya adalah firman Allah SWT (yang artinya): Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu Khalifah di muka bumi (TQS Shad [38]: 26).
Bahkan berdasarkan firman Allah SWT (yang arinya): Dialah Yang menjadikan kalian para penguasa di bumi (TQS al-An’am [6]: 165), ada sebagian ulama yang membolehkan Khalifah dipanggil dengan, “Yâ khalîfatullâh (Wahai wakil Allah.” (Majalah Al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm. 25).
Al-Baghawi membolehkan sebutan khalîfatullâh (wakil atau pengganti Allah) itu hanya kepada Nabi Adam dan Dawud—‘alaihimâ as-salâm—saja, tidak untuk selain keduanya. Beliau berkata: “Tidak seorang pun dinamakan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah sesudah keduanya.” (Al-Qalqasyandi, Mâtsir al-al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, 1/8).
Adapun Imam az-Zamakhsyari membolehkan sebutan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah itu kepada semua nabi selain keduanya. Ketika menjelaskan firman Allah SWT (yang artinya), “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”(TQS al-Baqarah [2]: 30), beliau berkata, “Firman Allah ini boleh diartikan dengan wakil atau pengganti-Ku (khalîfah minni). Sebab, Adam itu khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah di muka bumi, begitu juga setiap nabi.” (Az-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, 1/271).
Pendapat bahwa “Khalifah wakil Allah” ini lemah. Penggunaan ayat-ayat tersebut sebagai dalil bukan pada tempatnya. Sebab, pembahasan di sini tentang sandaran jabatan Khilafah, yakni “Kepemimpinan umum bagi semua kaum Muslim di dunia guna menerapkan syariah Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia”, bukan tentang khalifah secara mutlak. Jadi, masalahnya berbeda.
Oleh karena itu, mayoritas ulama melarang sebutan tersebut. Bahkan orang yang mengatakan demikian disebut fâjir (pelaku maksiat). Mereka berkata, “Khalifah itu menggantikan orang yang tiada atau meninggal, sedangkan Allah tidak gaib dan tidak meninggal.”
Khalifah Abu Bakar ra. menolak ketika dikatakan kepada beliau, “Yâ Khalîfatullâh (Wahai wakil Allah.” Abu Bakar dengan tegas berkata, “Aku bukan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah, namun aku pengganti Rasulullah.” (Al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 15).
Begitu juga Umar bin Khaththab ra., Beliau bersikap tegas menolak sebutan demikian sebagaimana Abu Bakar ra. Sikap tegas Abu Bakar dan Umar ra. ini menunjukkan bahwa telah ada Ijmak Sahabat yang melarang penamaan pemimpin Negara Islam dengan sebutan khalîfatullâh (wakil/pengganti Allah).
Dengan begitu, gugurlah hujjah mereka yang berpendapat bahwa Khalifah adalah wakil Allah (khalîfatullâh). Khalifah bukan wakil Allah, apapun alasannya. Karena itu, penggunaan sebuta khalîfatullâh secara mutlak tidak boleh menurut syariah (Al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 232).
2. Khalifah: Wakil Nabi saw.
Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Ibnu Khaldun, Abu Ya’la, al-Mawardi, al-Baidhawi, Aduddin al-Iji, an-Nawawi dan Ibnu Taimiyah (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 231). Mereka menggunakan sebutan khalifah kepada setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim, sebab ia menggantikan Rasulullah saw. dalam mengurusi umatnya. Karena itu, setiap khalifah disebut dengan “Khalifah Rasulullah (pengganti Rasulullah)”. Mereka sepakat bahwa “Imamah itu dibuat untuk khilafah nubuwwah (kepemimpinan Nabi saw.) dalam menjaga agama dan mengatur dunia.” (Al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 5).
Dalil mereka yang berpendapat bahwa Khalifah wakil Nabi saw. adalah perkataan Abu Bakar ra. Ketika dikatan kepada Abu Bakar, “Yâ Khalîfatullâh (Wahai wakil/pengganti Allah).” Abu Bakar ra. dengan tegas berkata:
لَسْتُ بِخَلِيْفَةِ اللهِ، وَلَكِنيِّ خَلِيْفَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku bukan khalîfatullâh (wakil/pengganti Allah), namun pengganti Rasulullah saw.” (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, 14/355).
Pendapat ini juga lemah karena tidak didukung oleh dalil yang kuat. Sebab, jelas sekali dengan mengkaji fakta sejarah bahwa Abu Bakar ra. bukan wakil Nabi saw. Bahkan tidak ada satu pun nash yang menunjukkan bahwa Rasulullah mengangkat Abu Bakar ra. untuk menggantikan beliau dalam mengurusi semua urusan kaum Muslim. Akan tetapi, Abu Bakar ra. diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan yang dilakukan kaum Muslim di Saqifah Bani Saidah, lalu beliau benar-benar menjadi khalifah dengan baiat kaum Muslim. Sebab, syariah telah menjadikan kekuasaan di tangan umat sehingga umat dapat membaiat siapa saja yang dikehendaki untuk mewakili mereka dalam kekuasaan (Majalah Al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 27).
Perkataan Abu Bakar “Khalîfah Rasulullah” adalah majazi, bukan hakiki (sesungguhnya). Dalam arti bahwa beliau datang setelah Rasulullah saw. dalam mengurusi urusan kaum Muslim. Abu Bakar ra. tidak menjadi khalifah karena diangkat Nabi saw. untuk menggantikan beliau. Jika tidak demikian, tentu Umar, Utsman dan Ali disebut dengan “Khalîfah Rasulullah”. Namun, hal ini tidak pernah terjadi sama sekali, dan tidak seorang pun mengatakan demikian (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 233).
3. Khalifah: Wakil Khalifah Sebelumnya.
Al-Qalqasyandi berkata, “Sesungguhnya jabatan Khilafah itu kadang didapat oleh seorang khalifah dari Khalifah sebelumnya.” Lalu dikatakan, “Fulan menggantikan fulan secara berurutan hingga berakhir pada Abu Bakar ra. Kemudian beliau disebut dengan “Khalîfah Rasulullah saw”. Karena itu, pada awal berkuasa, Umar ra. dipanggil dengan “Khalîfah Khalifah Rasulullah saw”. (Al-Qalqasyandi, Mâtsir al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, 1/6).
Ketika menjelaskan firman Allah SWT (yang artinya), “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”(TQS Al-Baqarah [2]: 30), ath-Thabari berkata, “Khalifah yang sesungguhnya berasal dari perkataanmu: Fulan menggantikan Fulan dalam perkara ini ketika ia menjalankan perkara itu sesudahnya. Dari sini, maka Penguasa Tertinggi (as-Sulthân al-A’zham) disebut dengan khalifah, sebab ia menggantikan penguasa sebelumnya. Kemudian ia menduduki kekuasaan untuk menggantikan dirinya. Dengan demikian, ia adalah khalifah (wakil atau pengganti) sebelumnya.” (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, 1/153 ).
Mereka yang berpendapat demikian sama sekali tidak memiliki hujjah, baik al-Quran maupun al-Hadis. Mereka memahami hal itu hanya berdasarkan pengertian kata “khalîfah” menurut bahasa. Padahal arti bahasa saja tidak cukup dalam hal ini. Sebab, masalahnya terkait dengan kepemimpinan negara, tidak dengan pengangkatan pengganti (al-istikhlâf), dan tidak pula dengan sistem putra mahkota (wilâyah al-‘ahd), sehingga dikatakan bahwa khalifah adalah wakil Khalifah sebelumnya. Apalagi sistem putra mahkota (wilâyah al-‘ahd) dan pengangkatan pengganti (al-istikhlâf) tidak diakui dalam sistem pemerintahan Islam, bahkan sangat bertentangan. Sebab, dalam sistem pemerintahan Islam kekuasaan berada di tangan umat, bukan di tangan Khalifah. Dengan demikian pendapat ini pun tertolak sebagaimana pendapat-pendapat sebelumnya (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 233; Majalah Al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm. 26).
Khalifah: Wakil Umat
Pendapat ini adalah pendapat yang râjih (kuat). Sebab, Khalifah itu memang bukan wakil Allah SWT, bukan wakil Nabi saw., dan tidak pula terbayangkan secara syar’i dan menurut akal bahwa khalifah adalah wakil dari Khalifah sebelumnya. Khalifah tidak lain adalah wakil umat, bukan yang lainnya. Umatlah yang membaiat Khalifah untuk memimpin pemerintahan dan kekuasaan menggantikan atau mewakili mereka. Pasalnya, umat memang dituntut untuk menerapkan hukum Islam, menegakkan hudûd (sanksi hukum pidana), menyiapkan tentara, berjihad, menaklukkan negeri dan lain-lainnya. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil (QS an-Nisâ’ [4]: 58).
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (QS al-Ma’idah [5]: 38).
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
Perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya (QS at-Taubah [9]: 36).
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi (QS al-Anfal [8]: 60).
Khithâb atau seruan dalam ayat-ayat tersebut ditujukan kepada umat. Sebab, kekuasaan berada di tangan umat. Akan tetapi, syariah mengharuskan Khalifah saja yang memiliki otoritas menerapkan hukum Islam mewakili umat. Dengan demikian, realitasnya Khalifah adalah wakil umat dalam kekuasaan dan penerapan syariah Islam. Pasalnya, seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali dengan dibaiat oleh umat, maka baiat ini saja sudah cukup menjadi dalil bahwa Khalifah adalah wakil dari umat (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 234; Majalah Al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 28; dan An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125).
Dengan ketentuan UUD Negara Islam pasal 24 ini, maka terjawab sudah kekhawatiran sebagian orang bahwa Khalifah—yang insya Allah tidak lama lagi akan terwujud kembali—akan memimpin dengan sewenang-wenang dan diktator. Sebab, Khalifah itu tidak memiliki kekuasaan. Pemilik kekuasaan adalah umat. Keberadaan Khalifah tidak lain hanyalah menjadi wakil umat. Khalifah boleh dikoreksi kalau tidak lagi menjalankan amanahnya. Bukan hanya hak, meluruskan penguasa yang kelirumerupakan kewajiban yang mulia dalam Islam. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Daftar Bacaan
Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu al-Fadhal Jamaluddin, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi), tanpa tahun.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
Majalah Al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H /Pebruari 1995 M.
Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habin al-Bashri al-Baghdadi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Fikr), Cetakan I, 1960.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.
Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid, Tafsîr ath-Thabari, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), Cetakan I, 2000.
Al-Qalqasyandi, Ahmad bin Abdullah, Mâtsir al- Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, (Kuwait: Mathba’ah Hukumah al-Kuwait), Cetakan II, 1985.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah al-Anshari Abu Abdillah, Tafsîr al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), tanpa tahun.
Az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut: Dar al-Fikr), tanpa tahun.