Kita barangkali masih ingat, bagaimana Obama, seorang keturunan Afro Amerika pada tahun 2008 berhasil merangkak menjadi orang nomor satu di negara adidaya. Ia berhasil menaklukkan lawan politiknya dalam kampanye presiden dengan efektif memanfaatkan social media online. Aktif di Twitter dengan puluhan ribu follower, menyebaran gagasan secara konsisten via website pribadi, dan meng-upload video orasi di Youtube dinilai banyak kalangan sebagai langkah jitu Obama dalam strategi untuk memenangkan Pemilu. Teknologi web 2.0 ternyata menjadi senjata utamanya.
Pada contoh kasus di atas, kita bisa mencermati bagaimana tim marketing Obama begitu jeli melihat peluang media komunikasi (internet) yang semakin horisontal, membuat semua orang (terutama kelas akar rumput) bisa mengakses dan menyampaikan opininya.
Jika demikian, seharusnya kita sebagai pelaku dakwah yang menawarkan gagasan dan pemikiran Islam mampu memanfaatkan media online secara efektif. Dengan begitu kemungkinan besar gelombang opini syariah akan semakin tak terbendung.
Sebagai sebuah sarana dakwah, media online layak dioptimalkan untuk mengekspor opini syariah dan khilafah ke seluruh pelosok dunia. Jika kita mengasumsikan di Indonesia ada 100.000 pengemban dakwah syariah dan masing-masing memiliki web atau blog pribadi, yang rata-rata diakses 10 orang saja tiap harinya berarti dalam waktu sehari ada 1.000.000 manusia yang menerima gagasan dakwah. Tentu ini baru sebatas asumsi. Namun, apabila sebagian besar kita memanfaatkan pula social media semacam Youtube, Facebook atau Twitter, tentu saja opini syariah dan khilafah akan mampu menandingi pemikiran mainstream di alam demokrasi ini. Dengan catatan, tidak ada pengemban dakwah yang hanya memenuhi lapak status facebook-nya dengan status curhat, mengumbar aib, dan perkataan sia-sia lainnya. Perbuatan demikian hanya akan memperkeruh suasana dakwah.
Setidaknya ada dua keuntungan media online bagi kita. Pertama: sebagai media ekspor gagasan tanpa batas (melintasi ruang dan waktu). Kedua: sebagai sarana yang low budget– high impact. Dua keuntungan inilah yang seharusnya kita manfaatkan untuk menggencarkan dakwah dunia maya. Keuntungan pertama meniscayakan dakwah ini menembus kehidupan manusia di berbagai tempat dalam satu waktu. Keuntungan yang kedua telah menegasikan hambatan finansial dalam aktivitas dakwah.
Media telah dimanfaatkan oleh para kapitalis selama beberapa dekade guna melanggengkan sistem yang rakus ini. Itulah mengapa beberapa tahun terakhir, para kapitalis telah mengambil sejumlah langkah merger atau akuisisi beberapa perusahaan media termasuk media online. Kepemilikan media yang mengerucut pada segelintir orang saja semakin memudahkan mereka mengendalikan dunia. Oleh karena itu, kampanye Islam melalui media online harus kita ramaikan agar kapitalisme segera pensiun dari mengurusi dunia, atau dunia akan semakin terintegrasi ke dalam sistem yang berdiri di atas kerakusan dan ketidakadilan ini.
Benar bahwa media online bukanlah satu-satunya wasilah (sarana) dakwah. Namun, bukankah setiap sarana yang bisa menghantarkan pada tercapainya tujuan dakwah tak boleh diremehkan? Jika ada 1000 sarana bisa dioptimalkan untuk aktivitas dakwah, mengapa harus terpaku pada satu-dua sarana saja? Maka dari itu, lewat media online inilah kita membentuk kesatuan pemikiran umat sekaligus sebagai kendaraan untuk mengantarkan kapitalisme global ke tempat peristirahatan terakhir. WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Kusnady Ar-Razi; Korda Malang SENADA – Sekolah Pena Dakwah]