Setiap umat atau bangsa yang menganut ideologi tertentu, dapat dipastikan menaruh perhatian besar kepada generasi muda mereka. Sebab, generasi muda itulah yang akan melestarikan ideologi yang mendasari seluruh cara hidup (the way of life) generasi masa sekarang (Taufiq Al-Hakim, Tsaurah As Syabab, hlm. 17; Usus At-Ta’lim Al-Manhaji, hlm. 7-8).
Demikian pula umat Islam yang menganut ideologi Islam. Sudah pasti mereka mempunyai perhatian besar pada lahirnya generasi muda Islami, yakni generasi yang mempunyai kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah), baik dalam pola pikirnya (‘aqliyah) maupun dalam pola sikap dan perilakunya (nafsiyah). (Usus At-Ta’lim al-Manhaji, hlm. 8).
Terdapat 3 (tiga) pihak yang bertanggung jawab untuk melahirkan generasi islami tersebut. Pertama: keluarga, yang menjadi wadah pertama pembentukan generasi islami melalui ayah dan ibu. Kedua: masyarakat, yang menjadi lingkungan (al-bi‘ah) tempat generasi Islami itu tumbuh dan hidup bersama anggota masyarakat lainnya. Ketiga: Negara Khilafah, yang bertanggung jawab melahirkan generasi islami sebagai bagian dari tugas negara untuk menjalankan sistem pendidikan serta sistem-sistem sosial lainnya yang terkait (Najah As Sabatin, Asasiyat Tarbiyah al-Athfal, hlm. 1; Fathi Salim, Bina‘ an-Nafsiyah Al-Islamiyah wa Tanmiyatuha, hlm. 22; Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad, I/33; Usus at-Ta’lim al-Manhaji, hlm. 9).
Tanggung Jawab Khilafah
Negara Khilafah bertanggung jawab untuk melahirkan generasi Islami itu melalui penerapan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
1. Menerapkan Sistem Pendidikan Formal.
Sistem pendidikan merupakan metode utama dan langsung untuk melahirkan generasi islami. Tujuan sistem pendidikan adalah untuk menghasilkan generasi yang berkepribadian islami (syakhshiyah Islam), yang berbekal ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan, baik ilmu keislaman (tsaqafah islam) maupun ilmu dalam cakupan sains dan teknologi. Negara menerapkan sistem pendidikan ini melalui sekumpulan UU syariah (qanun syar’i) maupun UU administrasi (qanun idari) yang terkait dengan pendidikan (Usus at-Ta’lim al-Manhaji, hlm. 9).
Sistem pendidikan dalam Negara Khilafah ada 2 (dua) macam. Pertama: sistem pendidikan formal (at-ta’lim al-manhaji), yaitu sistem pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan negara, baik diselenggarakan oleh negara maupun oleh swasta. Sistem pendidikan ini dilaksanakan secara berjenjang mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi (at-ta’lim al-’aaliy). Kedua: sistem pendidikan non-formal (at-ta’lim ghayr al-manhaji), yaitu sistem pendidikan yang tidak tunduk pada peraturan negara dalam hal pengaturan pendidikan, misalnya pendidikan yang dilaksanakan di rumah, mesjid dan pesantren; juga berbagai forum seperti seminar, konferensi, pelatihan/training, dan sebagainya.
Meskipun sistem pendidikan non-formal tak tunduk pada peraturan negara, Khilafah tetap bertanggung jawab dan mengawasi materi yang diberikan, tidak berbeda dengan sistem pendidikan formal. Negara berkewajiban mengawasi agar materi yang diberikan tetap berupa ide yang lahir dari akidah Islam, seperti materi tauhid, fikih, tafsir, dan sebagainya; atau berupa ide yang dibangun di atas akidah Islam, yaitu meski tidak lahir dari wahyu tetapi tetap tidak boleh bertentangan dengan akidah, misalnya sains dan teknologi. Jika ada bagian sains dan teknologi yang bertentangan dengan Aqidah, seperti teori Evolusi Darwin, negara akan melarang pengajaran teori tersebut dalam berbagai lembaga pendidikan (Usus at-Ta’lim al-Manhaji, hlm. 9; Muqaddimah Ad Dustur, II/120).
Dengan demikian, negara akan menindak tegas sekolah atau lembaga pendidikan yang mengajarkan ide-ide yang bertentangan dengan Islam, misalnya ilmu-ilmu sosial dari Barat, seperti ekonomi, sosiologi, psikologi; juga berbagai ide dan filsafat Barat seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, marxisme, eksistensialisme, utilitarianisme, pragmatisme, darwinisme, dan sebagainya; kecuali jika materi-materi seperti itu diajarkan dalam level pendidikan tinggi dan diajarkan bukan untuk diyakini, melainkan sekadar untuk diketahui serta dijelaskan kekeliruandan pertentangannya dengan Islam (Muqaddimah Ad Dustur, II/168).
2. Menerapkan Syariah Islam Secara Umum.
Negara bertanggung jawab menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan (nizham ijtima’i), sistem pidana (nizham uqubat), dan sebagainya.
Penerapan syariah ini secara tidak langsung juga menjadi cara untuk membentuk generasi yang islami. Misalkan, sistem pendidikan formal yang cuma-cuma kepada seluruh rakyat. Kebijakan negara ini akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh rakyat, termasuk anak-anak dan remaja, untuk menikmati pendidikan gratis dan berkualitas dari negara (Muqaddimah Ad Dustur, II/173).
Contoh lain, sistem ekonomi yang diterapkan negara akan memberikan bantuan harta kepada kaum fakir dan miskin, baik melalui pembagian harta zakat maupun harta selain zakat. Maka dari itu, para pemuda yang miskin yang tidak mampu menikah karena tak punya harta untuk membayar mahar akan mempunyai kesempatan untuk menikah. Jadi penerapan hukum zakat ini akan berkontribusi besar menjaga moralitas generasi muda karena mereka akan terhindar dari perbuatan tercela seperti zina akibat ketidakmampuan ekonomi. (Muqaddimah Ad Dustur, II/7-8).
Contoh lain, dalam sistem pemerintahan, akan ada departemen khusus yang menangani media massa, yaitu Departemen Penerangan (jihaz al-i’lam). Tugasnya antara lain mengawasi segala bentuk media massa dalam negara Khilafah. Lembaga negara inilah nanti yang akan menjalankan fungsi pengawasan tersebut yang menjamin generasi Islami tetap aman dari segala pengaruh media massa yang negatif dan destruktif, seperti situs-situs porno, dan sebagainya. (Muqaddimah ad-Dustur, II/291).
Contoh lain, dalam sistem pergaulan (nizham ijtima’i), negara akan menerapkan wajibnya infishal, yaitu pemisahan komunitas laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan khusus seperti di rumah, maupun dalam kehidupan umum seperti di sekolah dan jalan raya. Hanya kondisi-kondisi tertentu saja yang dibolehkan untuk ikhtilath, seperti saat bersilaturahmi antarkerabat, berjual-beli di pasar, beribadah haji (seperti tawaf), dan sebagainya. Peraturan ini tentu akan sangat kondusif untuk melahirkan generasi islami yang salih dan salihah, karena akan menghindarkan mereka dari pergaulan bebas dan liar ala Barat seperti sekarang ini (Muqaddimah ad-Dustur, I/321).
3. Mewujudkan Lingkungan Islami.
Negara Khilafah bertanggung jawab untuk mewujudkan lingkungan yang baik (al-bi‘ah as-shalihah) bagi generasi muda umat Islam. Hal ini karena lingkungan berpengaruh besar terhadap individu yang hidup di dalamnya. Lingkungan yang buruk dapat merusak individu-individu yang baik, sebaliknya lingkungan yang baik dapat memperbaiki individu-individu yang buruk. (Fathi Salim, Bina‘ an-Nafsiyah Al-Islamiyah wa Tanmiyatuha, hlm.13).
Negara melakukan tanggung jawabnya untuk membentuk lingkungan Islami ini dengan mengawasi 2 (dua) hal. Pertama: kebiasan atau adat-istiadat yang berlaku di masyarakat (‘urf ‘am). Kedua: pendapat umum yang berkembang di masyarakat (ra`yu ‘am) (Fathi Salim, Bina` an-Nafsiyah al-Islamiyah wa Tanmiyatuha, hlm. 22-23).
Maka dari itu, negara akan melarang berbagai kebiasaan yang bertentangan dengan Islam yang merusak proses pembentukan generasi islami. Misalnya adanya geng-geng di lingkungan kampung atau sekolah, termasuk geng motor yang marak belakangan ini. Negara juga akan mengawasi dan menindak komunitas hobi, seperti perkumpulan musik, perkumpulan olah raga, jika aktivitasnya bertentangan dengan syariah islam.
Negara juga akan melarang berbagai kafe, bar, klub, atau lokasi-lokasi wisata, seperti hotel dan pantai; juga berbagai play station, warung internet (warnet) dan sebagainya yang umumnya menjadi tempat kumpulnya anak muda jika di tempat-tempat tersebut terjadi penyimpangan syariah, seperti membolos dari sekolah, beredarnya minuman keras, adanya transaksi narkoba, aktivitas pacaran, dan semisalnya.
Negara pun akan melakukan pengaturan dan pengawasan media massa seperti koran, majalah, buku, tabloid, televisi, situs internet, termasuk juga sarana-sarana hiburan seperti film dan pertunjukan, berbagai media jaringan sosial seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya. Tujuan pengawasan ini agar semua sarana itu tidak menjadi wahana penyebarluasan dan pembentukan opini umum yang dapat merusak pola pikir dan pola sikap generasi muda Islam (Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Wasa’il al-I’lam fi ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 6-7).
4. Menerapkan Sanksi Hukum.
Negara Khilafah akan memberlakukan sanksi-sanksi syariah (al-‘uqubat) yang tegas sebagai upaya kuratif terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran syariah, baik sanksi itu berupa hudud, jinayat, mukhalafat maupun ta’zir. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 17-21).
Penerapan sanksi-sanksi hukum oleh negara ini juga merupakan upaya kuratif untuk melahirkan generasi islami. Sebab, upaya preventif bisa jadi masih dilanggar juga. Maka dari itu, maka hukum-hukum syariah yang bersifat kuratif ini akan memainkan perannya secara efektif. Sebagai contoh, Islam telah mengharamkan zina; juga mengharamkan perbuatan-perbuatan yang dapat menghantarkan zina, seperti khalwat (berduaan dengan lain jenis). Ini hukum preventif. Namun, kalau hukum ini masih dilanggar juga, sanksi syariah sebagai hukum kuratif mau tak mau akan diterapkan. Mereka yang berzina akan dijatuhi hukuman cambuk 100 kali cambukan jika yang berzina bukan muhshan (QS an-Nur [24]: 2). Khalifah boleh menambah hukuman ini dengan hukuman pengasingan (taghrib) selama satu tahun. Adapun jika yang berzina sudah muhshan, hukumnya dirajam sampai mati, berdasar hadis-hadis Nabi saw. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 27-29). Contoh lain, Islam telah mengharamkan homoseksual. Islam juga mengharamkan dua orang laki-laki tidur di bawah satu selimut. Ini hukum preventif. Namun, kalau ada laki-laki yang tetap nekat melakukan perbuatan homoseksual, maka syariah memberikan hukuman tegas sebagai hukum kuratif, yaitu menjatuhkan hukuman mati (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 40).
Demikianlah, negara Khilafah akan menerapkan sanksi-sanksi syariah (al-‘uqubat) ini bagi siapa saja yang melanggar syariah Islam. Maka penerapan sanksi ini diyakini akan dapat turut melahirkan generasi islami yang bermoral. Sebab, di balik sanksi-sanksi yang tegas itu sebenarnya tersembunyi suatu hikmah yang baik, yaitu menimbulkan efek jera (zawajir) di kalangan masyarakat luas, sehingga individu masyarakat (termasuk kaum mudanya) tidak berani melakukan pelanggaran syariah, seperti berzina atau melakukan liwath (homoseksual).
Penutup
Demikianlah gambaran ringkas bagaimana tanggung jawab negara Khilafah dalam upayanya untuk melahirkan generasi Islami. Hanya dalam negara Khilafah sajalah, berbagai tanggung jawab tersebut akan dapat dilaksanakan. Tanpa Khilafah, tak akan ada pihak yang bertanggung jawab untuk melahirkan generasi Islami yang kita harapkan, kecuali institusi keluarga.
Memang dalam negara demokrasi yang sekuler dan liberal ini masih bisa lahir generasi Islami, tetapi itu hanyalah anomali. Kebanyakan generasi muda umat Islam saat ini akan mudah sekali terjerumus menjadi generasi yang bejat dan amoral, akibat tiadanya Khilafah dan pengaruh destruktif negara demokrasi-sekular saat ini.
Walhasil, sistem demokrasi-sekular ini wajib kita hancurkan dan kita ganti dengan Khilafah. Kalau tidak, generasi muda Islamlah yang justru akan hancur. WalLahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]
subhanallah…………………..segerakanlah