Tsunami ekonomi dunia kini benar-benar terjadi. Ekonomi dunia yang selama ini dikuasai Kapitalisme tengah berada di jurang kancuran. Pegunungan Alpen, Swiss, tepatnya di Davos, tempat berlangsungnya Konferensi tahunan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) menjadi saksi bisu.
Melihat awal berdirinya, forum ini memang sebatas pertemuan tahunan para kapitalis dunia. Dalam perkembangannya, akhirnya forum ini terbuka untuk siapa saja yang mau mendaftar. Bahkan dalam pertemuan menjelang akhir Januari lalu yang bertema besar “Transformasi Besar, Membentuk Model Baru”, semua pendekar global pun hadir. Sebut saja kampiun spekulan George Soros, Bill Gates dari Microsof, Direktur LSM Green Peace Kumi Naido, pebisnis top AS Donald Trump, produser film Holywood Luc Besson, penulis Karen Amstrong dan Direktur IMF (Dana Moneter Internasional) Christine Lagarde. Beberapa kepala negara juga hadir seperti Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron dan PM Kanada Stephen Harper. Sejumlah negara berkembang seperti Tunisia dan Thailand yang tengah berjuang lepas dari kekisruhan juga berkesempatan datang.
Forum ini juga dihadiri pemimpin Afrika, termasuk Presiden Nigeria Goodluck Jonathan, yang negerinya menghadapi pemberontakan seru dari kaum separatis. Sayang, pertemuan ini tidak dihadiri para pemimpin negara yang tengah berjuang mengatasi krisis seperti Yunani, Spanyol dan Italia. Pemimpin Rusia juga tak hadir karena sibuk Pemilu. Indonesia sebagai negara yang ‘malu-malu’ mengatakan mengemban ideologi Kapitalisme juga tak mau ketinggalan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama sang istri, Ani Yudhoyono, Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu juga tak melepas kesempatan menghadiri konferensi tersebut.
Kegundahan Elit Politik Dunia
Kegundahan elit politik dan ekonom dunia terhadap sistem Kapitalisme sebenarnya sudah terlihat dalam tema-tema diskusi konferensi tersebut. Misalnya, “Is 20th Century Capitalism Failing 21st Century Society?” (Apakah Kapitalisme Abad 20 Menggagalkan Masyarakat Abad 21?), ‘Fixing Capitalism’, ‘Has Globalisation Reached its Economic and Political Limits?’ (‘Memperbaiki Kapitalisme,’ ‘Apakah Globalisasi Telah Mencapai Batas Ekonomi dan Politiknya?) dan ‘How Will the Eurozone Countries Emerge from the Eurozone Crisis?’ (Bagaimanakah Negara-negara Zona Euro Bisa Keluar dari Krisis Zona Eropa?). Tema-tema tersebut menunjukkan bagaimana pelaku Kapitalisme sudah tak percaya diri lagi terhadap ideologi yang mereka emban.
Meski tidak ada rumusan konkret dari tema besar konferensi yang berlangsung selama lima hari dan berakhir Minggu (29/1), dalam forum yang mendapat label konferensi ekonomi dunia itu tak terhindarkan lagi alur diskusi yang lebih banyak membahas memburuknya krisis ekonomi di Eropa. Pengangguran yang cukup tinggi seperti di Spanyol, Hungaria, Yunani, Italia, Rumania juga menghadirkan kekhawatiran. Semua terjadi akibat penerapan sistem Kapitalisme.
Sistem yang selama ini banyak diagung-agungkan, termasuk elit politik dan ekonomi di Indonesia, bukan hanya berujung pada ketidakpastian, tetapi juga ketimpangan, keserakahan dan kemiskinan. Artinya, sistem ekonomi dan politik dunia sudah tak lagi cocok untuk menjalani abad 21. Dengan demikian, sistem neo-kapitalisme yang selama ini mengatur dunia perlu diakhiri.
Pertemuan Davos sebagai simbol persekutuan para kapitalis akhirnya malah menjadi ajang bagi kapitalis itu sendiri mengkritik habis-habisan sistem yang mereka anut. Fakta sahih bagi kritikan itu juga terlihat dari krisis sistemik yang melanda Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pendiri dan pimpinan WEF, Klaus Schwab pun mengakui, Kapitalisme tak dapat diharapkan untuk menyelesaikan masalah dunia saat ini. “Kita telah gagal mengambil pelajaran dari krisis finansial tahun 2009. Transformasi global diperlukan yang dimulai dari kepedulian atas tanggung jawab sosial bersama,” katanya.
“Kapitalisme, dalam bentuk yang sekarang, tidak memiliki tempat di sekitar kita,” tegas ekonom asal Jerman ini.
Krisis ekonomi selama empat tahun terakhir memang menyisakan masyarakat yang babak belur dan memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Pemimpin keuangan dunia mengakui bahwa Kapitalisme gaya Barat sedang terancam. “Resesi ini berlangsung lebih lama dari prediksi siapa pun dan mungkin akan berlangsung selama beberapa tahun lagi. Kita akan memiliki banyak kesenjangan ekonomi,” kata David Rubenstein, salah satu pendiri Carlyle Group, perusahaan pengelola dana investasi global yang bermarkas di Washington. Bahkan Rubenstein menganggap, Kapitalisme merupakan bentuk terburuk dari berbagai sistem.
Hasil jajak pendapat perusahaan akuntan Pricewaterhouse Coopers (PwC) bersama WEF terhadap 1.258 bos korporasi cukup memberikan gambaran menurunnya pamor Kapitalisme. Kesimpulannya, 48% bos-bos Kapitalisme memperkirakan ekonomi akan melemah. Hanya 15% yang menyebut tahun ini akan ada pertumbuhan.
Bukan hanya itu, dari jajak pendapat tersebut juga terungkap, para pemimpin bisnis Eropa menjadi pihak yang paling pesimistis. Mereka takut pemerintah negara-negara Uni Eropa tak mampu mengatasi krisis utang dan mencermati stabilitas pasar keuangan. “Keyakinan para CEO benar-benar turun karena mereka mengalami gempa susulan resesi,” kata Dennis Nally, Kepala PwC International.
“Para CEO juga kecewa pada jalur ekonomi global dan langkah pemulihan. Optimisme yang perlahan terbangun sejak 2008 pun mulai surut,” tambahnya.
Pemimpin negara-negara maju juga mulai tidak satu kata. Dalam pertemuan Davos tersebut terlihat adanya perbedaan pendapat yang keras antara beberapa pemimpin negara di Uni Eropa. Misalnya, Kanselir Jerman Angela Merkel menganggap ke depan upaya penyelamatan ekonomi Eropa tanpa adanya sebuah kebijakan hutang lanjutan dari IMF.
Untuk itu, pendekatannya adalah penguatan performa sektor bisnis sebagai penyelamat. Alasannya, karena tidak memiliki risiko ketimbang memberikan hutang baru kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis. Dengan demikian, negara yang sedang mengalami krisis seperti Yunani tidak akan mengalami beban hutang yang semakin besar dan lebih fokus menyelesaikan tunggakan hutang luar negerinya.
Pernyataan tersebut justru berseberangan dengan Presiden Prancis Nicholas Sarkozy yang menganggap bahwa kebijakan bail out berbentuk dana likuid masih cukup diperlukan. Hal ini untuk membantu sektor finansial di negara-negara yang sedang mengalami krisis.
Sebelum WEF digelar, Bloomberg juga mengadakan jajak pendapat. Ternyata mayoritas investor setuju bahwa ketimpangan pendapatan melukai ekonomi, dan pemerintah harus segera mengatasinya. Bahkan lebih dari 70% responden mengatakan sistem Kapitalisme berada dalam kubangan krisis. Sebanyak 32% responden menilai perlu perubahan radikal, sedangkan 39% lain menganggap gejolak akan memudar dengan sendirinya.
Investor juga menyuarakan kekhawatiran tentang peran industri keuangan dalam masyarakat. Mereka menilai bank memiliki kekuasaan terlalu besar atas pemerintah. Sementara itu, 70% dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa penurunan ekonomi Eropa akan menyebabkan instabilitas sosial pada tahun 2012, termasuk menjalarnya kerusuhan.
Krisis Berulang
Apa yang terungkap dalam forum Davos menjadi fakta bahwa krisis ekonomi global kini memang sudah menghantui negara-negara dunia. WEF di Davos juga menjadi bukti terakhir gerakan kaum kapitalis menggugat sistem Kapitalisme dan pesimistis masyarakat Barat terhadap ideologi yang mereka terapkan.
Krisis ekonomi yang menimpa sistem Kapitalisme telah terjadi berulang-ulang. Krisis yang dimulai dari Negara Paman Sam Amerika Serikat (AS) pada 2007 kemudian menjalar ke negara-negara lain di dunia. Eropa adalah benua yang paling terasa mengalami dampak krisis.
Seperti diketahui, ketika AS dilanda krisis, banyak kalangan yang tak menyangka. Sebagai pemilik ekonomi terbesar di dunia dengan nilai GDP sekitar 13,7 triliun dolar AS, ternyata negeri Paman Sam itu sangat rapuh. Penyebab krisis ekonomi AS adalah penumpukan hutang hingga 8.98 triliun dolar AS, pengurangan pajak korporasi serta pembengkakan biaya Perang Irak dan Afganistan. Bahkan yang paling krusial adalah Subprime Mortgage, yakni kerugian surat berharga properti. Kondisi itu kemudian membuat bangkrut Lehman Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock,UBS, Mitsubishi UF, dan yang lainnya.
Diperkirakan krisis finansial yang melanda pasar-pasar keuangan menyebabkan kerugian 34,4 triliun dolar AS atau setara dengan akumulasi poduksi nasional Amerika, Jepang dan Eropa. Kerugian itu karena anjloknya harga saham yang beredar di bursa internasional dari 63 triliun dolar AS menjadi 28,6 triliun dolar AS.
Kerugian itu diiringi menurunnya kesempatan kerja. Di Amerika saja, 8,2 juta orang kehilangan pekerjaan. Angka pengangguran mencapai prosentase tertinggi sejak depresi besar (Great Depression), mencapai 9,7%. Angka ini diperkirakan tertinggi dalam tujuh tahun terakhir sejak serangan 11 Nopember 2001. Padahal jumlah pengangguran yang melebihi 500 ribu orang saja mengindikasikan resesi tengah terjadi.
Meski pemerintah telah mengintervensi dengan menyuntikkan 20 triliun dolar AS untuk mencegah kehancuran total perekonomian, kerugian pasar keuangan tetap berlipat ganda. Bahkan resesi yang terjadi di AS pun merambah ke negara-negara lain, tidak hanya negara berkembang, tetapi juga negara maju.
Terbukti, setelah hampir tiga tahun AS dilanda gonjang-ganjing ekonomi, giliran Uni Eropa yang merasakan pahitnya krisis ekonomi. Ketakutan terhadap krisis utang dan defisit pertama kali muncul di Yunani. Utang Pemerintah Yunani diperkirakan mencapai 360 miliar Euro atau sekitar 160% dari produk domestik bruto (PDB). Apa yang terjadi di Yunani kemudian menular ke negara-negara Eropa lainnya; Irlandia, Portugal, Italia dan Spanyol ikut merasakan pahitnya krisis. Ekonomi negara-negara yang terkenal dengan dunia sepakbola tersebut terpuruk akibat utang pemerintah yang terus membengkak karena besarnya bunga utang. Cekaman ketakutan itu telah menimbulkan krisis kepercayaan di negara Uni Eropa lainnya, termasuk Jerman.
Bahkan dalam pertemuan negara-negara maju dan berkembang G20 di Prancis, Nopember 2011 lalu juga telah terjadi kekuatiran terhadap krisis ekonomi yang kian menjalar. Beberapa negara G20 menyatakan krisis mulai memburuk karena faktor fiskal yang tak tertangani.
Lebih parahnya, dalam pertemuan tersebut juga tak ditemukan jalan keluar mengatasi krisis. Yang terjadi pertemuan tersebut justru mempertajam perbedaan pandangan dari tiga kubu ekonomi global: kubu Uni Eropa; kubu negara maju non Eropa (AS dan Jepang); serta kubu negara-negara berkembang yang telah menjadi kekuatan ekonomi baru seperti China, India, Brasil, Rusia dan Afrika Selatan.
Perpecahan tersebut tidak lepas dari kondisi krisis ekonomi yang kian memburuk sehingga setiap negara tak ingin ikut terbelit dalam persoalan yang sama. Karena itu para pemimpin negara kemudian berupaya menyelamatkan negaranya masing-masing. Terlihat bagaimana negara-negara G-20 yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia seperti China, Jepang dan Brasil tidak bersedia menyuntik dana segar untuk menyelamatkan mata uang Euro dan perbankan Eropa.
Krisis yang melanda AS dan Eropa memang sempat menimbulkan berbagai prediksi bahwa kekuatan ekonomi mulai bergeser ke negara-negara Asia. Misalnya, laporan dari National Intelligence Council (NIC) berjudul “Global Trends 2015” menyebutkan, krisis ekonomi AS tersebut menjadi sinyal mulai terjadi pergeseran kekuatan. Pamor AS di bidang ekonomi dan militer kian memudar. Sebaliknya, Asia akan menjadi sentra manufaktur dan sektor jasa lain.
Namun, kekuatan negara-negara Asia tersebut masih harus dibuktikan lagi. Apalagi sistem ekonomi yang diterapkan tetap menggunakan ekonomi kapitalis. Bisa jadi, negara-negara Asia akan bernasib sama dengan negara AS dan Uni Eropa. Apalagi krisis ekonomi yang melanda dunia bukanlah pertama kali mendera sistem Kapitalisme. Sejarah kapitalisme hampir-hampir merupakan sejarah krisis. Selama 37 tahun, sejak tahun 1970 sampai tahun 2007, tercatat telah terjadi 24 krisis perbankan, 208 krisis kurs, dan 63 krisis utang.
Krisis yang menimpa negara-negara pengemban ideologi kapitalis menunjukkan sistem ekonomi kapitalis bukan lagi berada di tepi jurang, tetapi memang sudah berada dalam kehancuran. Upaya pemimpin-pemimpin negara kapitalis untuk menyelamatkan tak pernah membuahkan hasil nyata. Semua rencana penyelamatan hanya sekadar obat yang meringankan rasa sakit sementara waktu, tak akan mampu menyembuhkan penyakit kronis ekonomi hingga menuju kematian sistem Kapitalisme. [Yulianto]