HTI

Analisis

Pengkhianatan Rezim Assad

Kebrutalan rezim Assad semakin menjadi-jadi. Anak-anak pun saat ini menjadi target kejahatan tentara-tentara Assad.

Sejak sepuluh bulan lalu rezim Assad melancarkan operasi biadab dan serangan dahsyatnya terhadap rakyat Suriah, terutama di Homsh, Edlib, Dir’a serta kota-kota lain dan desa-desa sekitar Damaskus. Masyarakat digempur dengan tank-tank, bom, mortir dan tembakan dari pesawat terbang. Ribuan penduduk yang tidak berdosa, tanpa senjata, dibunuhi di rumah-rumah mereka. Kebanyakan adalah anak-anak, para wanita dan kakek-kakek dan nenek-nenek. Di jalan-jalan bergelim-pangan jasad-jasad yang sudah tidak bernyawa karena dibunuh, dan ratusan yang luka-luka. Namun, tidak ada seorang pun yang menolong dan mengobati lukanya. Organisasi-organisasi kemanusiaan mengatakan, sekarang jumlah korban yang dibunuhi lebih dari 10.000 orang. Namun, diperkirakan jumlahnya lebih besar dari itu.

Rezim ini sebentar lagi insya Allah akan tumbang. Rezim ini mengisi hari-harinya dengan pengkhianatan terhadap umat. Bukan rahasia lagi kalau rezim ini memiliki hubungan istimewa dengan Amerika untuk menjalankan kepentingan politik penjajahan negara itu, terutama di kawasan Timur Tengah.

Seorang penyanyi, almarhum Ibrahim Qashoush, beberapa bulan lalu, secara berani menggambarkan siapa sesungguhnya rezim Assad. Ia berdiri di atas mimbar di pusat kota Hama dan menyanyikan lagu dukungan kepada pemberontakan seperti yang biasanya dia lakukan. Namun, di salah satu baris akhir lagunya ada tambahan: “O, Maher [Al-Assad, saudara Bashar], Anda adalah seorang pengecut, seorang agen Amerika.”

Meskipun tampaknya hal itu tidak penting, beberapa hari kemudian Qashoush ditemukan tewas dengan leher tergorok.


Pengkhianatan Rezim Assad

1. Negosiasi Perdamaian Israel-Suriah.

Dataran Tinggi Golan yang sangat strategis dan berukuran sekitar lima kali luas Libanon telah diduduki oleh Israel selama masa jabatan Hafez dan Bashar al-Assad. Ironisnya, militer Suriah tidak pernah terlibat perang dengan pasukan Israel membebaskan wilayahnya sendiri yang diduduki sejak tahun 1973. Sebaliknya, pada tahun 1974 ditandatangani sebuah perjanjian oleh pemerintah Hafez al-Assad. Perjanjian ini justru memberikan jalan kepada Israel untuk memperpanjang aneksasi secara de facto atas Dataran Tinggi Golan tanpa ada tantangan apapun.

Hafez Al-Assad juga berjanji kepada Benyamin Netanyahu untuk memberikan sebagian wilayah Suriah kepada Israel berdasarkan kesepakatan damai prospektif. Alih-alih membebaskan Palestina dari sungai hingga ke laut, sebagaimana Al-Assad yang pernah dia klaim, ia malah menawarkan penyerahan Hermon kepada Israel agar negara Yahudi itu dapat mengawasi perbatasan timurnya. Netanyahu, dalam laporan-laporan yang dimuat oleh surat kabar terkemuka Israel Yedioth Ahronoth, mengatakan, “Dia memberi saya Hermon. Saya harus katakan bahwa saya terkejut, tapi dia memberikan Hermon dan saya senang.”

Konsesi-konsesi semacam itu, yang bertentangan dengan komitmen ‘membebaskan Palestina’, adalah suatu ‘kekuatan’ sejarah rezim Assad. Konferensi Perdamaian Madrid tahun 1991, yang diikuti oleh pemerintah Suriah dan ditindaklanjuti dengan pembicaraan langsung dengan Israel di sepanjang tahun 90-an, merupakan pendahulu hingga masa bulan madu dan pembicaraan antara kedua belah pihak selama dekade-dekade selanjutnya.

Antara bulan September 2004 dan Juli 2006, perwakilan Suriah dan Israel mencapai ‘formulasi perdamaian’ hingga pembicaraan-pembicaraan rahasia. Rezim Assad bersedia mengorbankan Hamas, yang dikatakan sebagai sekutunya, dalam upaya untuk memenuhi tuntutan Israel dalam perjanjian itu. Negosiasi-negosiasi itu terus berjalan tanpa hambatan di bawah mediasi Turki antara tahun 2008 dan 2010, meskipun terjadi Operation Cast Lead oleh Israel atas Libanon pada tahun 2009 yang menyebabkan kematian lebih dari seribu warga sipil di Gaza.

Kesediaan pihak Assad untuk berdamai dengan Israel, menormalisasikan hubungan dengan negara Yahudi itu dan mengakui keberadaannya, memberikan sebuah gambaran yang bertentangan dengan retorika populer rezim Suriah. Maka dari itu, tidak mengherankan kalau pihak keamanan dan pejabat politik Israel terkemuka menyatakan keprihatinannya atas runtuhnya rezim Assad.

Amos Gilad, Direktur Urusan Politik dan Militer pada Departemen Pertahanan Israel, menyatakan bahwa jatuhnya Assad akan menjadi ‘krisis yang menghancurkan bagi Israel.’ Demikian pula, harian terkemuka Israel, Ha’aretz, memuat sebuah editorial setelah dimulainya pemberontakan di Suriah dengan menyatakan Assad sebagai ‘diktator terfavorit Israel’ dan bahwa tampaknya Assad memiliki dukungan yang besar di sini, seolah-olah dia adalah raja Israel.

Sentimen-sentimen semacam itu juga telah diungkapkan oleh rezim Suriah sendiri. Rami Makhlouf, saudara sepupu Presiden Bashar al-Assad dan salah satu orang kepercayaannya, melambaikan kartu stabilitas kepada Israel pada wawancaranya dengan New York Times di bulan Mei ketika dia menyatakan, “Jika tidak ada stabilitas di sini, tidak ada stabilitas di Israel.”

Hanya melalui kelangsungan hidup rezim Assad-lah Israel dapat menjaga stabilitas dan keamanannya. Hal ini menciptakan hubungan yang bertentangan secara diametral dengan klaim utama rezim Suriah bersama para pendukungnya.


2. Perang Teluk dan Kerjasama Suriah dengan AS.

Selama Perang Teluk 1991, rezim Assad memilih untuk secara aktif mendukung operasi militer pimpinan Amerika yang mengakibatkan kematian ribuan warga sipil Irak. Terlepas dari kenyataan bahwa Saddam Hussein melawan koalisi pimpinan Barat dan menembakkan rudal Scud ke Israel, Hafez al-Assad masih memilih untuk berada di sisi Amerika Serikat dan mengirim pasukannya untuk mendukung operasi militer tersebut. Dengan hal itu saja seharusnya sudah cukup untuk membatalkan mandat rezim pan-Arab itu selamanya.

Selanjutnya, rezim Suriah bekerja sama dengan Amerika Serikat di Libanon. Presiden Bush Senior dan presiden-presiden Amerika selanjutnya mempercayakan rezim Suriah untuk mengendalikan dan menduduki Libanon selama lima belas tahun setelah Kesepakatan Thaif untuk mengakhiri Perang Saudara di Libanon. Badan-badan keamanan dari kedua negara juga bekerja sama secara luas selama perang yang berhasil menundukkan kelompok-kelompok perlawanan Palestina dan milisi bersenjata yang setia kepada kepentingan bersama kepentingan-kepentingan strategis mereka.

Kerja sama antara Amerika dan Suriah ini juga meluas pada bidang intelijen. Kasus terakhir yang paling menonjol adalah yang melibatkan Maher Arar, yang diserahkan dari tangan Suriah kepada Amerika di bawah tuduhan menjadi anggota Al-Qaeda. Ironisnya, proses ini terjadi selama masa jabatan George Bush, yang sengaja menunjuk Suriah sebagai bagian dari “Poros Setan (Axis of Evil) ‘, dan telah memutuskan hubungan dengan Damaskus setelah terjadinya pembunuhan atas Rafiq Al-Hariri di Libanon pada tahun 2005.

Kasus tersebut menunjukkan tingkat hubungan kepercayaan Washington dan seorang otokrat yang secara demonstratif tidak melakukan apa-apa, bahkan sekadar mengecam Amerika Serikat. Semua ini menunjukkan hubungan yang kuat antara Assad dan pemerintah Amerika selama empat dekade terakhir. Hubungan erat Bashar al-Assad dan John Kerry, ketua Senat Komite Hubungan Luar Negeri dan seorang senator yang bersemangat mendukung Israel, menunjukkan siapa sebenarnya rezim Assad ini.

Kerry—yang dikenal sebagai ujung tombak Kongres dalam memanfaatkan rezim Suriah—bertemu dengan Assad sebanyak enam kali dalam tempo dua tahun. Dia bersama Hillary Clinton menyebut Assad sebagai seorang reformis, bahkan setelah terjadinya tindak kekerasan tentara di bulan Maret 2011. Menurut Wall Street Journal, Assad bahkan mendapatkan Kerry sebagai orang kepercayaan. Wall Street Journal melukiskan bagaimana Kerry menggambarkan pemimpin Suriah sedang meratapi berkembangnya konservatisme di Suriah dan fakta bahwa istri Assad harus memakai jilbab ketika mengunjungi masjid bersejarah Umayyah di Damaskus.

Hubungan Assad yang kuat dengan senator-senator Amerika, wakil-wakil DPR dan para diplomat lebih lanjut dipertunjukkan dalam kabel-kabel yang dirilis oleh Wikileaks. Dalam sebuah pertemuan pada bulan Maret 2009, hanya lima minggu setelah akhir Perang Gaza, Assad bertemu dengan para diplomat Amerika dan mengecam Hamas sebagai ‘tamu tak diundang’ dengan menyamakannya dengan pembantaian Ikhwanul Muslimin pada tahun 1982.

Lalu bertentangan dengan sikap permusuhan seperti terhadap pasukan perlawanan, Assad menekankan bahwa ia melihat dua kepentingan umum yang utama antara Suriah dan Amerika: perdamaian di wilayah itu dan memerangi terorisme ‘dan bahwa dua pemerintahan’ berbagi kepentingan bersama pada 70 persen dari masalah yang ada.


3. Pembunuhan Terhadap Rakyat Palestina.

Pada tahun 1976, militer Suriah menyerbu Libanon untuk membantu pasukan sayap kanan Kristen, yang kebetulan menjadi sekutu Israel, melawan kekuatan Palestina yang dipimpin oleh Yasser Arafat. Beberapa minggu kemudian mereka kembali berbaris bersama milisi Kristen rasis, seperti Guardians of the Cedars, untuk melakukan tindakan kekejaman yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata di kamp pengungsi Tel az-Za’atar.

Lebih dari tiga ribu pengungsi Palestina, yang pada dasarnya adalah orang-orang yang paling tertindas dari semua masyarakat Timur Tengah, dibantai oleh Suriah dan Kristen yang merupakan perpanjangan tangan Israel di Tel az-Za’tar. Untuk menambahkan penghinaannya, kamp itu kemudian dibuldoser dan pengungsinya kemudian digusur hingga mereka tersebar ke seluruh Libanon, yang kebanyakan dari mereka akhirnya dibantai oleh agen ganda Suriah-Israel, Elie Hobeika, dan pasukan milisinya di Sabra dan Shatila.

Bashar al-Assad baru-baru ini menumpahkan darah rakyat Palestina dengan menggunakan kapal-kapal perang dan pasukan darat untuk menyerang sebuah kamp pengungsi di lepas pantai Suriah di bulan Agustus 2011. Menurut United Nations Relief and Works Agency, puluhan orang tewas dan lebih dari lima ribu orang terpaksa harus meninggalkan negara itu.


Kesimpulan

Keluarga Assad mungkin tidak secara terang-terangan bekerjasama dengan AS dan Israel, tetapi mereka pasti terlibat dengan orde politik internasional, yang didominasi oleh Barat. Tidak diragukan lagi, mereka berada dalam perjanjian dengan Amerika Serikat tentang isu-isu strategis dan aktif dan kerjasama berkesinambungan dengan Israel. Sementara itu, mereka menguatkan gerakan perlawanan rakyat dan anti-Amerikanisme.

Rezim itu mungkin itu telah mendanai kelompok-kelompok perlawanan untuk berbagai tujuan. Artileri-artirelinya sendiri hanya menemukan orang-orang yang ada di Suriah, Irak dan Libanon. Tidak sebutir peluru pun ditembakkan atas Dataran Tinggi Golan atau di Israel selama empat puluh tahun. Semua ini untuk menutupi berbagai propaganda bohong rezim Assad. [www.khilafah.com/rz/fw]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*