Stephen Covey (1989) dalam bukunya, The 7 Habits of Highly Effective People, menjelaskan pentingya orang mempunyai paradigma yang benar. Apalagi bagi seorang pemimpin, jika kita ingin mengubah hidup maka yang perlu diubah adalah paradigma kita. Paradigma penting untuk menghindarkan manusia dari kebahagiaan semu. Seakan-akan bahagia, namun jiwanya senantiasa resah dan dahaga. Dalam keberlimpahan, tetapi merasa tak berarti.1 Jadi, apa arti dari paradigma?
Menurut Dani Vardiansyah (2008), paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhi dirinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif) dan berperilaku (konatif).2
Setiap ideologi tentu mempunyai paradigma dalam upaya mensejahterakan dunia. Berikut perbandingan paradigma ideologi Kapitalisme dan Islam dalam mewujudkan kemakmuran dunia.
Paradigma Pertama:
Permasalahan Mendasar Ekonomi.
Dalam paradigma ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang mendasar adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa.3 Sebaliknya, kebutuhan manusia tidak terbatas.
Sistem kapitalisme lalu fokus pada aspek produksi dan pertumbuhan ekonomi untuk mengatasi kelangkaan. Mereka sering justru mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan yang sangat besar kepada para konglomerat. Pasalnya, pertumbuhan yang tinggi memang dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi konglomerasi, serta akan sulit dan lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.
Dalam paradigma Islam, problematika ekonomi yang utama adalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat yang menyebabkan ada orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidupnya yang meliputi pakaian, makanan, perumahan, pendidikan, kesehatan atau jaminan keamanan. Jalan pemecahannya adalah dengan mengatur pendistribusian harta yang adil dan benar, sementara negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negaranya.
Paradigma Kedua:
Alat untuk Menggerakkan Ekonomi Masyarakat.
Menurut paradigma kapitalis, ekonomi suatu negara dikatakan tumbuh jika terjadi peningkatan nilai total barang dan jasa yang diproduksi (termasuk jumlah uang yang beredar di pasar modal) dalam sebuah perekonomian.
Sistem ekonomi kapitalis sering tidak memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai betul-betul riil, yakni lebih mengandalkan sektor riil (seperti pengerjaan proyek pembangunan, jual-beli barang dan jasa yang nyata) atau pertumbuhan ekonomi tersebut hanyalah semu, yakni mengandalkan sektor non-riil (sektor moneter, seperti perbankan, pasar modal, asuransi, reksadana dll).
Faktanya, pertumbuhan ekonomi 85% ternyata ditopang oleh sektor non-riil (secara besar-besaran digenjot oleh bank sentral dan kebijakan pemerintah sendiri) dan sisanya sektor riil. Kondisi tersebut tentu telah memisahkannya dengan perekonomian sektor riil, karena uang tidak disalurkan untuk usaha nyata (produktif). Investasi di sektor keuangan (non-riil) yang menggantikan investasi di sektor yang produktif menciptakan “gelembung (bubble)”.4 Ketika meledak, sektor moneter ambruk, maka ekonomi negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis juga ambruk.
Dalam paradigma Ekonomi Islam tidak akan ada lagi transaksi ribawi, pasar modal, pasar keuangan berbasis ribawi, spekulatif dan perjudian. Yang ada adalah sistem ekonomi berbasis sektor riil. Negara mendorong pelaku bisnis (pribadi maupun perusahaan) melakukan berbagai akad mudharabah, murabahah, musyarakah, dan yang sejenisnya yang sesuai dengan ketentuan syariah, meski tidak dilakukan oleh institusi bank syariah.5
Terkait dengan aktivitas jasa lembaga keuangan dalam berbagai bentuknya, seperti transfer, pinjam-meminjam uang (qardh) dan penukaran mata uang sebagaimana saat ini dilakukan oleh bank syariah, insya Allah nanti akan diambil-alih oleh lembaga resmi Negara Khilafah. Khilafah akan menyelenggarakan berbagai pelayanan umum di antaranya: (1) jasa pos dan telekomunikasi; (2) jasa penghubung antara pemodal dan pengelola (perbankan tanpa riba); dan (3) jasa transportasi umum.6
Jasa perbankan tersebut—meliputi jasa-jasa seperti transfer, penukaran mata uang, pencetakan dinar dan dirham, dan sebagainya—akan dilaksanakan oleh bank-bank negara yang menjadi cabang dari Baitul Mal (Lembaga kas/Keuangan Negara).7
Paradigma Ketiga:
Kepemilikan.
Paradigma sistem ekonomi kapitalis memandang bahwa asal-usul adanya kepemilikan suatu barang terletak pada nilai manfaat (utility) yang melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana ia dapat memuaskan kebutuhan manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka barang itu sah untuk dimiliki walaupun haram menurut agama, misalnya babi, minuman keras, dan narkoba.
Ini berbeda dengan ekonomi Islam yang memandang bahwa asal-usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah SWT (syariah) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika Allah mengizinkan, berarti boleh dimiliki. Jika Allah tidak mengizinkan (yaitu mengharamkan), berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka dari itu, babi dan minuman keras tidak boleh diperdagangkan karena keduanya telah diharamkan Allah, yaitu telah dilarang kepemilikannya bagi manusia Muslim (An-Nabhani, 1990).
Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat batasan tatacaranya dan tidak ada pula batasan jumlahnya. Sebab, pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang pemanfaatan hak milik. Maka dari itu, seseorang boleh memiliki harta dalam jumlah berapa saja dan dengan cara apa saja. Walhasil tak heran di Barat dibolehkan seorang bekerja dalam usaha perjudian dan pelacuran.
Sebaliknya ekonomi Islam menetapkan adanya batasan tatacara, tetapi tidak membatasi jumlahnya. Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah maupun berupa pengembangan harta seperti jual-beli, ijarah, syirkah, shina’ah (industri), dan sebagainya. Seorang Muslim boleh memiliki harta berapa saja sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah.
Kapitalisme menyerahkan distribusi kekayaan ke mekanisme pasar, yaitu melalui mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk akibat interaksi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Harga berfungsi secara informatif, yaitu memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa yang mampu memperoleh atau tidak memperoleh suatu barang atau jasa. Karena itulah peran negara dalam distribusi kekayaan sangat terbatas. Akibatnya, kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar. Sedikit orang kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat sedikit.8
Sebaliknya, dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi (aktivitas ekonomi yang bersifat produktif) dan mekanisme non-ekonomi (aktivitas non-produktif, misalnya dengan jalan pemberian hibah, sedekah, zakat, dan lain-lain atau warisan).
Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata, baik yang disebabkan adanya sebab alamiah seperti bencana alam dan cacat fisik, maupun sebab non-alamiah, misalnya penyimpangan mekanisme ekonomi (seperti penimbunan).
Mekanisme non-ekonomi mencakup pula larangan syariah, misalnya: (1) larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya; (2) larangan peredaran kekayaan di satu pihak atau daerah tertentu; (3) larangan kegiatan monopoli serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar; (4) larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa; yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang kaya atau pejabat.
Paradigma Keempat:
Peran Negara.
Secara teoretis sistem kapitalisme dengan filsafat Laizess Faire-nya menghendaki adanya kebebasan individu dalam mengembangkan modal dan menghendaki minimnya peran negara dan pemerintah. Ini artinya peran swasta lebih dominan dalam pengelolaan perekonomian. Namun, secara empiris paradigma tersebut terbantahkan dalam beberapa momen krisis ekonomi yang telah terjadi secara periodik saat pemerintah campur tangan guna menyelamatkan perekonomian AS sebagai dampak krisis.
Menurut Adam Smith,9 peran negara meliputi tiga hal saja, yaitu: (1) Memelihara pertahanan dan keamanan dalam negeri; (2) Menyelenggarakan peradilan; (3) Menyediakan barang-barang yang tidak bisa disediakan oleh swasta. Konsekuensi dari kriteria tersebut maka rumah sakit (kesehatan) dan sekolah (pendidikan) juga diserahkan kepada pihak swasta. Dengan kondisi tersebut biasanya rumah sakit dan sekolah menjadi mahal.
Dalam paradigm Islam, negara berperan dalam pemenuhan kebutuhan dasar (al-hajat al-asasiyah) yang terkelompok menjadi dua. Pertama: kebutuhan dasar individu, yaitu sandang, pangan dan papan. Negara berperan secara tidak langsung (dengan memastikan penerapan hukum nafkah (ahkam an-nafaqat) agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar individunya). Jika hukum ini sudah diterapkan dan individu tetap tidak mampu, barulah negara berperan langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.10Kedua: kebutuhan dasar masyarakat, yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan11. Negara berperan langsung (dengan menyediakan semua secara gratis.12
Fakta Historis, Bukan Otopis
Paul Kennedy (1987) menulis,13“Imperium Utsmani lebih dari sekadar mesin militer; ia telah menjadi penakluk elit yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas dibandingkan dengan yang pernah dimiliki oleh Imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar. Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, Dunia Islam telah jauh melampui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi…”
Dalam praktiknya, kebutuhan dasar ini dijamin bukan saja bagi Muslim tetapi juga non-Muslim. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah bertemu dengan orang Yahudi yang sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan dan usia lanjut , sementara ia harus membayar jizyah. Khalifah Umar ra. lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitul Mal untuk menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya.14
Pada masaKhalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Saat hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.”15
Dalam hal jaminan pemenuhan hak pendidikan, Rasulullah saw. pernah menetapkan kebijakan terhadap tawanan Perang Badar: seorang tawanan yang telah mengajar 10 orang penduduk Madinah dalam hal baca dan tulis akan dibebaskan. Langkah itu diikuti oleh para khalifah dan penguasa berikutnya. Di Baghdad pernah dibangun Universitas al-Mustanshiriyah. Khalifah Hakam bin Abdurraham an-Nashir juga pernah mendirikan Universitas Cordova yang saat itu menampung mahasiswa dari kaum Muslim maupun dari Barat. Universitas-universitas itu telah mencetak para ilmuan yang pengaruhnya mendunia hingga kini melalui berbagai temuan-temuannya.
Lalu dalam bidang kesehatan, Bani bin Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman dan obat-obatan serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untu memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang yang sakit. Bani Umayah banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena penyakit lepra dan tuna netra. Bani Abasiyah juga banyak mendirikan rumah sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus, dan lain-lain. Merekalah yang mempopulerkan rumah sakit keliling.
WalLahu a’lam. []
Penulis adalah Staf Pengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Catatan kaki:
1 Http://jalansunyi.blogspot.com/ diakses 11 Februari 2012 jam : 00.15
2 Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Hal. 27.
3 Montani, Guido (1987). “Scarcity”. In Eatwell, J. Millgate, M., Newman, P.. The New Palgrave. A Dictionary of Economics. 4. Palgrave, Houndsmill. Hal:54.
4 Http://www.jurnal-ekonomi.org/pertumbuhan-ekonomi-fatamorgana-ekonomi-balon/ diakses 11 Februari 2012 jam : 08.33
5 Asy-Syarawi, Al-Masharif Al-Islamiyah, hlm. 554.
6 Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 105.
7 Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, II/157.
8 Republika, 28 Agustus 2000.
9 Http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/kebijakan_fiskal_moneter/bab1-pendahuluan.pdf diakses 11 februari 2012 jam 22:53
10 Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 167-177
11 Muqaddimah Ad-Dustur, II/18; Abdurrahman al-Maliki, as-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 165
12 Ibid.
13 Paul Kennedy, 1987, The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, ,
14 Diceritakan dalam kitab Al-Kharâj karya Abu Yusuf.
15 Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59.