(QS asy-Syams [91]: 11-15)
كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَاهَا، إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ نَاقَةَ اللَّهِ وَسُقْيَاهَا، فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا، وَلا يَخَافُ عُقْبَاهَا
(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. Lalu Rasul Allah (Shalih) berkata kepada mereka, “(Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya.” Kemudian mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu. Maka dari itu, Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah meratakan mereka (dengan tanah); Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu (QS asy-Syams [91]: 11-15).
Dalam ayat sebelumnya telah diberitakan bahwa manusia telah diberi petunjuk tentang kefasikan dan ketakwaan. Diterangkan pula konsekuensi yang bakal diterima oleh manusia atas jalan yang dia pilih. Siapa saja yang memilih jalan ketakwaan, berarti telah membersihkan dirinya; kebahagiaan dan keberuntunganlah yang akan didapat. Sebaliknya, ketika jalan kefasikan yang dia ambil, berarti ia telah mengotori dirinya sehingga kerugianlah yang akan diterima.
Kemudian dalam ayat ini diberitakan mengenai kaum yang lebih memilih jalan kefasikan. Mereka adalah kaum Tsamud. Akibat perbuatannya, kaum itu harus menerima akibatnya. Mereka ditimpa azab. Tidak hanya di akhirat, namun juga di dunia.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Kadzdzabat Tsamûdu bi thaghwâhâ (Kaum Tsamud telah mendustakan [rasulnya] karena mereka melampaui batas). Kaum Tsamud adalah kaum Nabi Shalih as. Beliau diutus untuk mengajak mereka hanya menyembah kepada Alllah SWT semata (lihat QS al-A’raf [7]: 73, an-Naml [27]: 45); juga mengajak mereka agar bertakwa kepada Allah dan menaati beliau (lihat QS asy-Syu’ara [26]: 144).
Akan tetapi, hanya sedikit yang mengimani seruannya (lihat QS al-A’raf [7]: 75). Sebagian besar mereka menolak dan berpaling. Dalam ayat ini disebutkan bahwa kaum tersebut kadzdzabat (mendustakan). Mereka mendustakan nabi dan rasul mereka.1 Mereka juga mendustakan ancaman yang disampaikan kepada mereka (lihat QS al-Qamar [54]: 23) dan Hari Kiamat (lihat al-Haqqah [69]: 4).
Kata ath-thaghwâ merupakan bentuk mashdar dari ath-thughyân, artinya, melampaui batas dalam kemaksiatan.2 Frasa bi thaghwâhâ dalam ayat ini memberi makna bahwa thugyân (sikap melampaui batas) itu menyebabkan mereka mendustakan. Demikian penjelasan Ibnu Katsir, al-Baghawi, an-Nasafi, as-Samarqandi, al-Khazin, al-Jazairi, dan mufassir lainnya.3
Kemudian disebutkan: Idzi [i]nba’atsa asyqâhâ (ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka). Pengertian [i]nba’atsa adalah inthalaqa musri’[an] (berangkat dengan cepat).4 Menurut Ibnu ‘Athiyah, kata [i]nba’atsa merupakan ungkapan untuk menggambarkan keluarnya orang yang paling celaka ituuntuk menyembelih unta dengan cepat dan ambisi yang besar.5 Dalam konteks ayat ini, kata idzi [i]nba’atsa memiliki keterkaitan (muta’alliq) dengan kadzdzabat (mendustakan) atau bi thughwâhâ (karena tindakan melampaui batas mereka).6
Ayat ini tidak menyebutkan nama orang yang membunuh unta tersebut, namun hanya menyebutnya asyqâhâ. Artinya, orang yang paling celaka dari kaum tersebut.7 Menurut banyak mufassir, orang tersebut bernama Qudar bin Salif.8 Dia adalah pembesar kaumnya.
Kemudian Allah SWT berfirman: Faqâla lahum Rasûlul-Lâh nâqatal-Lâh wa suqyâhâ (Lalu Rasul Allah berkata kepada mereka, “[Biarkanlah] unta betina Allah dan minumannya.”). Rasul Allah yang dimaksud adalah Nabi Shalih as. Beliau berkata kepada kaum Tsamud: Nâqatal-Lâh wa suqyâhâ.
Kata nâqatal-Lâh di-nashab-kan karena maknanya dzarû nâqatal-Lâh (biarkanlah unta betina Allah itu). Bisa juga bermakna tahdzîr (peringatan); artinya: Berhati-hatilah terhadap unta Allah SWT tersebut!9 Adapun kata wa suqyâhâ berkedudukan sebagai ma’thûf atas kata nâqah; artinya: dan biarkan pula unta itu meminum airnya.10
Dalam kata nâqatal-Lâh, kata nâqah di-idhâfah-kan dengan lafzh al-Jalâlah. Menurut az-Zuhaili, ungkapan tersebut sebagai banyak li al-takrîm wa al-tasyrîf (untuk penghormatan dan pemuliaan).11 Patut diketahui, keberadaan unta bagi Nabi Shalih as. merupakan mukjizat yang menjadi bukti kebenaran beliau (lihat QS al-Isra’ [17]: 59).Selain mukjizat, unta tersebut juga sebagai fitnah (cobaan) bagi kaum Tsamud (lihat QS al-Qamar [5]: 27). Mereka diperintahkan untuk bergiliran dengan unta dalam soal air (lihat QS al-Qamar [54]: 28). Mereka dilarang mengganggu unta dengan gangguan apa pun. Apabila larangan tersebut dilanggar, mereka diancam dengan siksa yang pedih (lihat QS al-A’raf [7]: 73). Akan tetapi, mereka tidak mempercayai dan mematuhi perintah tersebut. Sebaliknya, mereka justru mendustakan dan melanggar ketentuan tersebut.
Dalam ayat berikutnya: Fakadzdzabûhu (lalu mereka mendustakannya). Mereka mendustakan semua berita tentang unta tersebut;12 juga mendustakan Nabi Shalih as.13 Mereka bahkan melakukan tindakan: fa ‘aqarûhâ; yakni fadzabahûhâ (mereka menyembelihnya).14 Al-Kalbi dan Muqatil menuturkan bahwa Shalih berkata kepada mereka, “Biarkanlah unta Allah dan janganlah kalian sembelih. Biarkan pula minumannya dan janganlah kalian menghalanginya pada hari giliran meminumnya.” Namun mereka mendustakan peringatan dan justru menyembelihnya.15
Setelah melakukan tindakan durhaka itu, keangkuhan mereka kian bertambah. Mereka menantang Nabi Shalih as. untuk mendatangkan azab kepada mereka (lihat QS al-A’raf [7]: 78). Lalu mereka pun harus menanggung akibatnya. Allah SWT berfirman: Fadamdama ‘alayhim Rabbuhum bi dzanbihim fasawwâhâ (Maka dari itu, Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah meratakan mereka [dengan tanah]). Menurut as-Samarqandi, ad-damdamah merupakan bentuk mubâlaghah (melebihkan) dalam hukuman dan siksaan.16 Az-Zuhaili juga mengatakan bahwa ungkapan ad-damdamah menunjukan azab yang menakutkan.17 Al-Qurthubi menuturkan, kata fadamdama dalam ayat ini berarti Allah SWT membinasakan mereka dan menimpakan azab atas mereka. Adapun kata bidzanbihim berarti disebabkan oleh dosa mereka, yakni kekufuran, pendustaan dan pembunuhan terhadap unta.18
Azab yang dahsyat ditimpakan kepada mereka secara umum. Ini dapat dipahami dari dhamîr al-hâ (kata ganti orang ketiga) pada kata fasawwâhâ. Dhamír tersebutkembali ke ad-damdamah. Dengan demikian frasa tersebut berarti: Allah SWT meratakan azab tersebut di antara mereka, tanpa melihat, baik yang kecil maupun yang besar. Demikian penjelasan az-Zamakhsyari, as-Samarqandi, al-Alusi, az-Zuhaili, dan lain-lain.19
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Walâ yakhâfû ‘uqbâhâ (Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu). Kata ‘uqbâhâ berarti ‘âqibatuhâ wa tabi’atuhâ (kesudahan atau akibat dan konsekuensinya), yakni âqibah ad-damdamah (akibat penghancuran).20 Ayat ini memberikan pengertian bahwa Allah Swt melakukan semua itu tanpa takut akibat dan konsekuensinya terhadap siapa pun. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, Mujahid, al-Hasan, Bakr bin Abdullah al-Muzani, dan lain-lain. Dhamír al-hâ` pada kata uqbâhâ kembali ke al-fi’lah (perbuatan).21
Akibat Memilih Kesesatan
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Pertama: berlakunya balasan Allah SWT terhadap pilihan manusia dalam menyikapi petunjuk-Nya. Jika dalam beberapa ayat sebelumnya diberitakan bahwa manusia diberi petunjuk tentang ketakwaan dan kefasikan beserta akibat masing-masing yang akan diterima, maka ayat ini memberikan contoh nyata berlakunya ketentuan tersebut.
Kaum Tsamud adalah kaum yang telah diberi petunjuk Allah SWT. Kepada mereka telah diutus Nabi Shalih untuk menyampaikan petunjuk-Nya. Beliau pun dilengkapi dengan tanda dan mukjizat sebagai bukti kebenaran risalahnya. Akan tetapi, petunjuk kebenaran itu mereka dustakan. Dalam surat ini diberitakan bahwa penolakan dan pengingkaran mereka disebabkan oleh sikap ath-thughyân (melampaui batas) mereka. Atas pilihan itu, mereka pun harus menerima konsekuensinya yang juga sudah dingatkan berkali-kali, yakni azab yang dahsyat. Realitas ini dengan jelas diberitakan dalam QS Fushilat [41]: 17.
Mereka tentu tidak mengalami nasib demikian andai saja mau menerima dan mengimani petunjuk tersebut. Sebab, dalam ayat berikutnya ditegaskan bahwa orang-orang yang mau beriman dan bertakwa diselamatkan Allah SWT dari azab-Nya (lihat QS Fushilat [41]: 18).
Kedua: keharusan mengambil pelajaran dari peristiwa umat terdahulu. Patut diingat, surat ini turun di Makkah. Ketika itu dakwah Rasulullah saw. mendapatkan penentangan yang luar biasa dari sebagian besar kaumnya. Berbagai upaya mereka lakukan untuk membendung dakwah Islam. Ayat ini pun memberikan peringatan kepada mereka tentang peristiwa yang pernah dialami oleh kaum-kaum sebelum mereka. Di antaranya adalah kaum Tsamud. Kaum ini akhirnya harus dibinasakan Allah SWT akibat penolakan, pengingkaran, penentangan dan permusuhan mereka terhadap rasul yang diutus kepada mereka. Jika mereka mengulangi sikap yang sama, berarti mereka telah merelakan diri mereka mendapatkan azab serupa. Inilah peringatan Allah SWT kepada orang-orang yang menolak dan berpaling dari risalah Rasulullah saw. (lihat: QS Fushilat [41]: 13).
Dengan demikian, peristiwa yang dialami oleh kaum Tsamud dan kaum yang serupa harus dijadikan ‘ibrah (pelajaran penting) sehingga tidak mengulangi sikap dan perbuatan yang sama. Tidak sulit untuk menjadikan semua peristiwa kaum terdahulu itu sebagai pelajaran. Sebab, azab yang menimpa mereka itu terjadi di dunia sehingga diketahui oleh orang-orang yang hidup sesudah mereka.
Patut diingat, di antara penyebab kesalahan besar kaum Tsamud adalah ketika mereka tidak mau menjadikan peristiwa generasi sebelum mereka sebagai pelajaran. Padahal mereka juga telah diingatkan dengan peristiwa yang menimpa kaum ‘Ad, yakni kaum sebelum mereka yang akhirnya juga dibinasakan Allah SWT. Di sinilah letak pentingnya kisah-kisah yang ada dalam al-Quran. Semuanya agar bisa menjadi ‘ibrah bagi manusia yang hidup sesudahnya.
Ketiga: bahayanya mendiamkan dan menyetujui kemungkaran. Dalam ayat ini disebutkan mengenai al-asyqâ. Dialah pelaku penyembelihan unta. Dalam ayat lainnya diberitakan:
فَنَادَوْا صَاحِبَهُمْ فَتَعَاطَى فَعَقَرَ
Mereka lalu memanggil kawannya, kemudian kawannya menangkap (unta itu) dan membunuhnya (QS al-Qamar [54]: 29).
Dalam ayat tersebut, penyembelihan dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi, dalam ayat ini tindakan al-‘aqr (penyembelihan) itu disandarkan kepada semuanya (ditandai dengan penggunaan dhamîr al-jam’i, pen.), yakni fa ‘aqarûhâ (mereka menyembelihnya). Menurut penjelasan para mufassir, hal itu disebabkan karena mereka ridha terhadap perbuatan penyembelihan tersebut.22 Sebagaimana dikatakan Qatadah, pelakunya tidak melakukan penyembelihan unta hingga mendapatkan persetujuan mereka, baik yang kecil maupun yang besar, laki-laki maupun perempuan.23
Penjelasan mufassir tersebut menunjukkan betapa pentingnya amar makruf nahi mungkar. Ketika ada perbuatan mungkar dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang di tengah suatu komunitas, sementara tidak ada orang yang mencegahnya perbutaan tersebut, malah mendiamkan dan ridha terhadap mereka, maka mereka semua dihitung setuju dengan tindakan mungkar tersebut.
Inilah yang terjadi pada kaum Tsamud. Akibatnya, mereka semua pun harus menerima siksaan. Dalam ayat ini disebutkan: fasawwâhâ. Sebagaimana dipaparkan di muka, frasa tersebut memberikan pengertian bahwaazab yang dahsyat ini diratakan Allah SWT kepada semuanya, baik yang besar maupun yang kecil. Semuanya dihancurkan tanpa tersisa (lihat QS an-Najm [53]: 51). Dalam ayat lainnya ditegaskan bahwa fitnah, kerusakan atau azab yang terjadi akibat perbuatan maksiat itu tidak hanya menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung (lihat QS al-Anfal [8]: 25).
Itulah peristiwa yang telah dialami dan menimpa kaum Tsamud. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran bagi siapa pun yang tidak ingin mengalami nasib serupa; yakni tidak mendustakan dan melanggar syariah-Nya, serta meremehkan datangnya azab yang bagi para pelakunya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan Kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 401; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 488.
2 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H), 487. Lihat juga al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al_Mishriyyah, 1964), 78.
3 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 401; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya1 al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 260; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta‘wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, 1998), 649; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 483; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 433; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘ulum wa al-Hikam, 2003), 578.
4 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol.5, 578.
5 Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 488.
6 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 10, 363.
7 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol.5.
8 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ at-Turats al-‘Arabi, 14320 H), 179; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 78; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 260; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 3, 649.
9 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 761; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, vol. 20, 78; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 362; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 2, 649
10 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 548.
11 Az-Zauhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 262.
12 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol.5, 578.
13 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 261.
14 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 579.
15 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 548. Lihat juga al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 79.
16 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 483
17 Az-Zauhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 362.
18 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 79; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol.5, 578; az-Zauhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 265.
19 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 761; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 483; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 363; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 362.
20 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 362.
21 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 78. Lihat juga, Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 402; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 402.
22 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 79; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 548; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 490; al-Kalbi, At-Tas-hîl. Vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 487.
23 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 79.