Setelah gagal melakukan pembatasan BBM bersubsidi, Pemerintah melalui Menteri ESDM Jero Wacik di depan raker Komisi VII DPR-RI (Selasa,6/3/2012) menyodorkan opsi kenaikan BBM sebesar Rp 1.500 perliter menjadi Rp 6.000 perliter mulai April 2012. Rencana kenaikan harga BBM itu juga sudah dimasukkan dalam RAPBN-P 2012 yang diajukan kepada DPR.
Rencana itu menuai banyak penolakan dari hampir semua kalangan masyarakat. Bahkan menurut hasil survey LSI dengan responden dari seluruh propinsi di Indonesia, 86% masyarakat menolak kenaikan harga BBM. Namun rupanya, Pemerintah sudah tipis nuraninya (atau mungkin tidak punya lagi) sehingga tetap ngotot mengajukan rencana kenaikan harga BBM untuk disetujui DPR dengan alasan-alasan yang tidak rasional, tidak mau repot dan lebih memilih kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Jika tetap ngotot menaikkan harga BBM, kiranya pantas dikatakan bahwa Pemerintah telah bohong, zalim dan khianat terhadap rakyatnya sendiri.
Sebenarnya kalau Pemerintah mau dan memiliki keberpihakan terhadap rakyat masih banyak alternatif lain yang bisa dilakukan untuk menghasilkan dana sebanyak Rp 31 Triliun (Penghematan yang diperoleh jika Pemerintah menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.000,-). Beberapa opsi yang bisa dilakukan oleh Pemerintah antara lain:
1. Penghematan APBN.
Pemerintah, ketika memotong dana subsidi untuk rakyat, selalu beralasan subsidi membebani APBN. Pernyataan ini sangat kontradiksi dengan perilaku Pemerintah yang justru banyak melakukan pemborosan APBN bahkan cenderung boros dan menghambur-hamburkan uang rakyat. Indikasinya: Pertama, banyak pengeluaran yang tidak efektif. Misalnya anggaran untuk kunjungan dan studi banding tahun 2011 mencapai Rp 21 T, padahal selama ini dinilai lebih banyak bernuansa plesiran. Kedua, anggaran untuk gaji pegawai tahun 2012 mencapai Rp 215.7 triliun, naik Rp 32.9 triliun (18%) dibandingkan dengan tahun 2011, salah satu pos cukup besar di antarnya tunjangan pejabat. Padahal rata-rata gaji PNS sudah jauh lebih baik dari UMR. Namun, Pemerintah tetap menaikkan gaji PNS 10%, sementara kenaikan gaji itu tidak diikuti dengan peningkatan kinerja PNS dan sampai sekarang kualitas pelayanan publik masih saja buruk. Ketiga, ada anggaran belanja barang sebesar Rp 138,5 T dan belanja modal Rp 168 T yang kadang-kadang anggaran tersebut digunakan untuk belanja yang sifatnya pemborosan seperti renovasi gedung yang masih bagus, penggantian mobil mewah milik para pejabat padahal mobil sebelumnya masih layak pakai. Keempat, Pemerintah juga menambah jumlah pejabat tinggi, yaitu menambah banyak jabatan wakil menteri. Pasti mereka akan mendapat berbagai fasilitas yang dibiayai dari APBN seperti rumah dan mobil dinas, biaya operasional, gaji, tunjangan jabatan, sekretaris, ajudan, sopir dan beberapa staf pembantu dan sebagainya. Tentu itu makin menyedot uang APBN. Kelima , korupsi dalam penggunaan dana APBN. Dalam catatan KPK, pada 2008 kebocoran APBN mencapai 30-40 persen.
2. Moratorium pembayaran bunga utang.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh Pemerintah kalau memang dana APBN itu terbatas adalah melakukan moratorium, termasuk menghentikan penambahan utang baru. Apalagi kalau mau jujur, yang membebani APBN selama ini bukan subsidi, tetapi pembayaran utang dan bunganya. Namun, ini tidak dilakukan. Pemerintah sangat patuh untuk membayar utang baik pokok maupun bunganya. Bahkan anehnya justru Pemerintah menambah utang baru, sebagai contoh: anggaran pembayaran utang tahun 2012 sebesar 170 triliun (Bunga Rp 123 T dan Cicilan Pokok Utang LN Rp 43 T). Ironisnya, tahun 2012 Pemerintah terus menambah utang dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 134 T dan utang luar negeri sebesar Rp 54 T. Padahal ada sisa APBN 2010 Rp 57,42 triliun ditambah sisa APBN 2011 Rp 39,2 triliun. Untuk apa utang ditambah, sementara masih ada sisa dana yang tidak digunakan? Padahal bunga SUN dan utang LN itu harus dibayar tiap tahun hingga puluhan triliun. Yang menikmati itu adalah para kapitalis dan orang-orang kaya.
3. Menghentikan kontrak karya yang merugikan negara.
Banyak sekali kontrak karya yang dilakukan oleh Pemerintah sejak zaman Orde Baru sampai sekarang yang merugikan negara ratusan triliun, seperti kontrak karya pertambangan emas dengan PT New Mont, PT Free Port; pertambangan gas dengan Exxon Mobile di Blok Natuna dan tempat-tempat lainnya, termasuk juga tambang minyak yang ada di Blok Cepu. Sebagai contoh kontrak karya dengan PT Free Port. Selama ini negara mendapat bagian yang sangat kecil dibandingkan dengan yang diperoleh PT Freeport. Tercatat, dari tahun 2005 – September 2010, total penjualan PTFI sebesar US$ 28.816 juta atau Rp 259,34 triliun; laba kotornya US$ 16.607 juta atau Rp 150,033 triliun. Bandingkan dengan royalti yang dibayarkan kepada Indonesia yang hanya sebesar US$ 732 juta atau Rp 6,588 triliun (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/11/04/data-dan-fakta-kontrak-freeport).
Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah KK II) kontribusi PTFI mencapai US$ 10,4 miliar (royalti sebesar US$ 1,1 miliar dan dividen sebesar US$ 1 miliar). Artinya, total dividen dan royalti mencapai sekitar Rp 18 triliun (selama 18 tahun). Dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2009, Pemerintah sebagai pemegang 9,36 % saham PTFI mendapat deviden dari PTFI sebesar Rp 2 triliun. Itu artinya pada tahun 2009 itu Freeport McMoran sebagai pemegang 90,64% saham PTFI mendapat deviden sekitar Rp 20 Triliun.
Potensi yang masih ada di tambang Freeport sendiri sampai saat ini menurut Presiden Direktur Free Port mencapai Rp 1.329 triliun, atau hampir setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 yang mencapai Rp 1.435 triliun. Hal ini didapat dari hitungan, bahwa Freeport memperkirakan cadangan bijih yang siap ditambang saat ini mencapai 2,6 miliar ton. Setelah diolah, setiap 1 ton bijih bisa menjadi 7,9 kg tembaga dan 0,93 gram emas. Dengan demikian dari cadangan sebanyak 2,6 miliar ton itu jika dihitung secara kasar, bisa menghasilkan 2.418 ton emas. Jika harga emas dipatok sebesar Rp 550.000 per gram, maka nilai cadangannya senilai Rp 1.329 triliun (Detikfinance,12/03/2012).
Anehnya, Pemerintah tidak berdaya walaupun hanya ingin menaikkan royalti agar sesuai dengan ketentuan PP No 45/2003, yaitu royalti emas 3,75 persen, tembaga 4 persen dan perak 3,25 persen. Saat ini, royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1%, untuk tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% (jika harga US$ 1.1/pound) dan untuk perak 1,25 %.
Contoh lain adalah kerugian negara akibat kontrak impor gas ke Cina. Dalam hal ini, Pemerintah dirugikan setiap tahunnya ratus triliun rupiah. Sejak tahun 2006-2009 saja kerugian Pemerintah akibat ekspor gas ke Cina diperkirakan sebesar Rp 410 Triliun.
Pengelolaan Energi Terpadu
Idealnya, tata kelola energi di Indonesia itu dilakukan terpadu, sekalipun boleh saja secara teknis tetap dibagi dalam beberapa perusahaan. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
Pertama, konsep PSC dengan perusahaan swata dan asing ini dievaluasi secara menyeluruh, terutama menyangkut besaran bagi hasil, jangka waktu kontrak dan cost recovery. Dalam konsep Islam, karena minyak adalah termasuk kepemilikan umum, maka mestinya hanya negara yang boleh mengelola dan mengambil untung, yang untungnya ini untuk kepentingan umum juga.
Kedua, efisiensi harus dilakukan di seluruh mata rantai produksi dan distribusi. Bila minyak mentah masih harus diimpor, maka Pemerintah seharusnya melakukannya langsung, tanpa melalui broker. Selama ini Pemerintah harus mengeluarkan sebesar 2 dolar perbarel untuk broker, sementara tiap hari Pemerintah harus mengimpor sekitar 540.000 barel perhari. Pertamina juga harus mengadakan kapal-kapal tanker dengan ukuran yang tepat dan biaya operasional yang optimal. Saat ini hanya 10% kapal tanker yang dimiliki sendiri oleh Pertamina. Kilang-kilang harus dibangun sesuai dengan yang dibutuhkan. Semua ini dipadu dengan sistem akuntansi yang transparan sehingga biaya produksi dan distribusi baik yang detil maupun secara nasional mudah didapatkan.
Ketiga, politik energi dan penghitungan energi dalam APBN dijalankan secara menyeluruh. Pada saat ini, asumsi-asumsi APBN hanya diterapkan pada minyak. Untuk gas, karena sebagian besar diekspor, malah tidak ada asumsi APBN yang ketat. Disinyalir, harga gas diatur oleh suatu kartel sehingga produksi gas dengan kandungan energi 500% dari minyak bumi hanya menyumbang untuk APBN 40% dari minyak bumi. Gas ini banyak diekspor ke Jepang dan Cina oleh perusahaan yang disinyalir satu grup dengan yang investasi di ladang-ladang gas di Indonesia. Impor gas selama ini hanya merugikan negara baik secara langsung—seperti impor gas ke Cina yang harganya sangat murah sehingga merugikan negara tiap tahunnya lebih dari 100 triliun—maupun kerugian tidak langsung seperti kerugian PLN akibat penggunaan minyak yang harus bisa dialihkan ke gas tapi gas tidak ada (sehingga PLN mengalami pemborosan anggaran selama 2010-2011 sebanyak Rp 37 Triliun) .
Keempat, dari sisi konsumsi, bila transportasi publik dibangun dengan massif, maka konsumsi BBM untuk transportasi dapat ditekan, kemacetan diurai, sekaligus polusi dan pemanasan global juga dapat diturunkan. Transportasi merupakan pengguna BBM yang terbesar, karena sifat mobilitasnya yang belum dapat tergantikan oleh medium energi lain. Namun, hingga hari ini, tidak ada langkah-langkah yang serius untuk membangun kereta api listrik, bahkan jaringan kereta api yang diwariskan penjajah Belanda justru makin menyusut, dan kecelakaan kereta api menjadi berita sehari-hari. Lambannya pembangunan transportasi publik ini disinyalir karena desakan para produsen kendaraan bermotor yang tidak ingin omsetnya turun.
Penutup
Itulah beberapa alternatif yang bisa dilakukan oleh Pemerintah kalau memang alasan menaikkan harga BBM adalah masalah keterbatasan anggaran. Namun, alasan sebenarnya memang bukan itu. Buktinya, Pemerintah telah yang menyediakan dana kompensasi dalam bentuk BLS (bantuan langsung sementara masyarakat) yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah penghematan yang dihasilkan dari kenaikan BBM sekitar Rp 30 trilyun. Lalu untuk apa Pemerintah repot-repot menaikan BBM, sementara Pemerintah harus mengeluarkan dana kompensasi yang jumlahnya sama, dan kebijakan kenaikan harga BBM maupun kompensasi yang diberikan sebagian besar ditolak rakyat?
Alasan yang sebenarnya adalah ketaatan Pemerintah kepada para penjajah kapitalis yang menuntut penghapusan subsidi dan menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar sesuai dengan keinginan para kapitalis yang tercantum dalam UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang lahir dari Konsensus Washington. WalLahu a’lam. []
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FPEB Universitas Pendidikan Indonesia.