Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Tunis, Ibukota Tunisia, kami merasakan suasana yang berbeda dengan Jakarta. Suhu di Tunis saat itu 13 derajat celcius. Kami disambut oleh panitia konferensi, semuanya laki-laki. Kami dibawa ke suatu tempat manthiqah siyahiyyah (daerah pariwisata) Gammareth dan ditempatkan oleh panitia di sebuah hotel bernama Le Palace. Sesampainya di tempat acara, di sana sudah menunggu akhawat Tunisia. Mereka sangat gembira menyambut kedatangan kami dan rombongan lain dari berbagai negara yang mengikuti konferensi.
Pemandangan menarik terjadi pada saat kami check in. Petugas hotel terheran-heran karena setiap akhwat yang datang selalu disertai suami atau saudara laki-lakinya. Seorang syabab HT Tunisia segera menjawab keheranan petugas hotel itu dengan mengatakan, “Beginilah kalau HT bikin acara, pasti selalu terikat dengan hukum-hukum syariah.”
Namanya memang Konferensi Perempuan Internasional. Namun, karena para peserta dan pembicara dari berbagai negara didampingi mahram-mahram mereka, otomatis para pendamping (murafiqun) juga saling berkenalan satu sama lain. Jadilah acara ini sebagai ajang silaturahmi yang unik. Bahasa pengantarnya Bahasa Arab, Inggris dan Prancis. Masya Allah, meskipun terbata-bata, kami merasa luar biasa! Serasa inilah nanti suasana Khilafah yang kita rindukan. Berbagai warna kulit, bahasa dan bangsa menyatu dalam satu visi dan misi, satu perasaan dan pemikiran. Kami pun berusaha saling berkomunikasi menanyakan kabar akhawat di berbagai negara yang ikut konferensi. Ada yang berasal dari Tunis, Libya, Libanon, Yaman, Mesir, Palestina, Suriah, Shomalia, Sudan, Inggris, Prancis, Belgia, Denmark, Belanda dan Turki.
Satu hal yang sangat menggembirakan, betapa akhawat dari berbagai negara begitu terinspirasi dengan perkembangan da’wah di Indonesia. Mereka tak habis-habisnya keheranan, tak terbayang oleh mereka kalau HTI bisa mengadakan acara di lapangan sepak bola, di Stadion Utama pula. Sebaliknya, di negeri-negeri Arab, dakwah masih agak sulit berkembang. Seorang akhwat utusan dari Mesir, Ummu Abdurrahman, mengisahkan bahwa perkembangan dakwah Muslimah di Mesir sangat sulit. Di sana orang takut mendengar kata Hizbut Tahrir. Suami Ummu Abdurrahman baru keluar dari penjara 3 tahun lalu. Selama suaminya di penjara, dia mengurusi kelima anaknya yang masih kecil-kecil seorang diri. Saudaranya yang laki-laki juga masuk penjara bersama suaminya, tetapi bisa dilemahkan semangat dakwahnya oleh penguasa Husni Mubarak.
Kami juga berjumpa dengan satu keluarga dengan dua anak gadisnya yang ikut sebagai peserta konferensi perempuan internasional ini. Padahal keluarga ini tidak bisa berbahasa Arab, kecuali ayahnya yang sedikit mengerti Bahasa Arab. Ukhti Busra Atay, salah satu putri dari Belgia ini begitu terheran-heran ketika kami mengatakan bahwa di Indonesia ada media mingguan (Al-Islam) yang jumlahnya mencapai 250 ribu eksemplar perminggunya. Mereka pun meminta contoh buletin, yang Alhamdulillah tersimpan di tas saya beberapa eksemplar Al-Islam. Dia katakan kalau nanti dia kembali ke negaranya, ia akan sampaikan pada syabab di sana tentang jumlah buletin yang tersebar di Indonesia sehingga akan menjadi inspirasi bagi mereka. Saya juga tidak lupa memberikan Al-Waie dan Media Ummat. Meskipun mereka tidak mengerti bahasa Indonesia, mereka bersemangat membawanya untuk bisa menginspirasi para syabab Hizbut Tahrir di Belgia yang jumlahnya sudah cukup banyak. Bahkan Ibunda Busra (Hikmat Bolat) yang tidak bisa berbahasa Arab dan Inggris itu, melalui anaknya menyatakan bahwa jika Khilafah berdiri di Indonesia, dia akan hijrah ke Indonesia, katanya sambil tersenyum. Demikianlah kerinduan para syabah di seluruh dunia akan datangnya Khilafah sama besar dengan kerinduan kita semua.
Tidak hanya itu, hampir semua syabah memberikan apresiasi terhadap keberhasilan dakwah di Indonesia. Seorang syabah dari Libya, misalnya, sangat tertarik menanyakan bagaimana pengelolaan aktivitas dakwah di Indonesia yang gemanya bisa membahana ke negara-negara lain. Betapa besar harapan mereka kepada Indonesia. Mereka berharap Khilafah berdiri di Indonesia. Bahkan mereka menyatakan akan hijrah ke Indonesia jika Khilafah memang berdiri di sini. Allahu Akbar! Semoga melalui tangan-tangan kitalah Khilafah itu tegak, Amiin…Ya Allah perkenankanlah doa kami, jadikanlah kami pantas mendapatkan pahala itu. Ya Allah, ya Arhamar Rahimin.
Syari’ Habib Burquiba
Pada malam terakhir di Tunis, kami diundang oleh syabab Tunis untuk makan malam di salah satu math’am (rumah makan) di Tunis. Ternyata kami diajak berjalan kaki cukup jauh dari hotel tempat kami menginap. Kami diajak ke jalan utama, yaitu Jalan Habib Burquiba. Inilah ternyata jalan yang memiliki kisah sejarah. Syari Habib Burquiba ini adalah pusat demonstrasi Tunisia yang akhirnya menjatuhkan Presiden Ben Ali. Jalan itu diawali dengan jam besar di sudutnya. Di jalan itu terdapat kementerian dalam negeri, dan jalan dibatasi dengan kawat berduri, sama seperti di depan Kedubes AS di Indonesia. Di tengah jalan ada bagian untuk pejalan kaki selebar kira-kira lima meter. Di situlah demo besar-besaran dilakukan.
Tidak hanya delegasi Indonesia yang diundang makan pada malam itu. Keluarga dari Belgia yang satu hotel dengan kami pun ikut dalam rombongan. Meskipun baru berkenalan, kami serasa sudah dekat sekali. Kami pun bisa makan bersama dan saling mencicipi makanan, mencoba menu yang berbeda. Tidak ada penghalang, tidak ada batas. Saya membayangkan jika Khilafah tegak nanti, tidak ada batas negara di antara kita. Kita berada di bawah satu lindungan dan satu kekuasaan.
Esok harinya, hari saat kami harus pulang, sekitar jam 9 syabab Tunis datang menawarkan diri untuk memandu kami mengenal Kota Tunis. Dia mengantar kami ke pasar tradisional. Kami pun jalan bersama lagi seperti malam sebelumnya. Jarak yang menurutnya dekat namun cukup membuat kami kelelahan. Sungguh sangat menyentuh. Betapa besar rasa ingin menghormati tamu dari syabab Tunis ini. Mereka ingin ikramudh-dhuyuf (menghormati tamu) sehingga mereka menawarkan apapun yang bisa mereka lakukan untuk kami. Sungguh ukhuwah islamiyyah yang sangat menyentuh. Saat kami berada di suatu negara yang lebih dari 10000 km jaraknya dari Indonesia, di negara itu kami tidak punya saudara sedarah, yang kami punya adalah saudara seakidah. Mereka semua memiliki ikatan dengan kita melebihi ikatan darah, yaitu ikatan mabdaiyah (ideologis), ikatan yang paling kuat. Inilah buktinya. Kami menemukan kehangatan, perhatian dan penghormatan yang tanpa pretensi apa pun selain mencari keridhaan Allah SWT.
Pada saat terkhir keberadaan kami di Tunis, kami berkunjung ke KBRI Tunis setelah sebelumnya saya mengirim pesan akan kedatangan delegasi Indonesia dalam Konferensi Perempuan internasional melalui facebook KBRI Tunis. Saya share juga berita dari Republika yang memuat tentang konferensi ini.
Dalam perbincangan bersama Pak Dubes kami mendapat informasi yang ada kaitannya dengan siyasatut-taghrib (politik pembaratan) di Tunisia. Dulu Tunisia begitu kerasnya memerangi Islam dan siapa pun yang melaksanakan Islam. Tunisia melarang kerudung bagi semua wanita, bahkan kerudung dan jilbab dilarang di semua lini kehidupan. Pak Dubes mencontohkan bahwa istrinya ketika 3 tahun yang lalu di Indonesia sudah berkerudung terpaksa melepas kerudungnya agar bisa dapat visa ke Tunisia. Apa daya, kerudung harus dilepas dan baru bisa dipakai lagi setelah revolusi yang mengubah segalanya.
Gambaran senada juga kami dapatkan dari petugas hotel yang menceritakan keadaan Tunisia sebelum revolusi. Tidak ada satu orang pun perempuan yang boleh mengenakan jilbab dan kerudung. Petugas hotel yang bernama Shobri itu mengatakan bahwa dia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ada seorang wanita yang memakai kerudung sedang berjalan di jalanan kota Tunis bersama suaminya. Ketika polisi melihat dia, serta-merta polisi itu memukuli sang wanita di depan suaminya sebagai bentuk kerasnya permusuhan penguasa Ben Ali pada Islam dan kaum Muslim. Begitulah keadaan sebelum revolusi. Pasca revolusi, semuanya menjadi berbeda. Kini rakyat Tunisia bisa menjalankan kewajiban mereka pada Rabb mereka semisal berkerudung dan ibadah lainnya. Sekarang kita bisa melihat wanita-wanita yang mengenakan jilbab di jalan-jalan Tunis dan mereka bebas melakukannya tanpa ada sedikit pun ketakutan sebagaimana yang kita lihat di Indonesia dan di negara-negara Islam lainnya.
Tentu saja dakwah Islam pun bagaikan air mengalir yang menemukan jalannya. Hizbut Tahrir Tunisia pun sudah mulai menggeliat. Even Konferensi Perempuan Internasional ini menjadi buktinya. Semoga keberhasilan mereka yang jumlahnya sedikit namun mampu menghadirkan 1000 peserta konferensi menjadi cambuk bagi kita, semakin memperkuat usaha dan perjuangan kita. Semoga Allah memudahkan segala urusan mereka, juga urusan kita semua Amin. [Seperti yang dikisahkan oleh Ustadzah Mahbubah kepada penulis-Yus]