Tunisia 18 Desember 2010 menjadi penanda awal musim semi seantero Arab. The Burning Man-Mohamed Bouazizi-menjadi martir perlawanan terhadap pemerintah Tunisia yang korup dan lalim. Gelombang protes yang dilakukan rakyat mengakibatkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali melarikan diri ke Arab Saudi pada 14 Januari 2011. Berikutnya, kerusuhan pun melanda Aljazair, Yordania, Mesir dan Yaman hingga menyebar ke seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kekuatan rakyat Arab berhasil melumpuhkan kekuasaan para diktator kuat. Husni Mubarak ikut terjungkal dari kursinya setelah 18 hari protes besar-besaran melanda Mesir. Dia mengundurkan diri pada 11 Februari 2011 mengakhiri 30 tahun kekuasaannya. Perlawanan rakyat Libya mampu menggulingkan Muammar Gaddafi pada tanggal 23 Agustus 2011 setelah Dewan Transisi Nasional (NTC) mengambil-alih Bab al-Azizia. Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh menandatangani kesepakatan yang mengangkat Abdul Rab Mansur Hadi sebagai penggantinya pada tanggal 27 Februari 2012. Bahkan rakyat Yordania pun turut menggugat keabsahan monarki Dinasti Hasyim di bawah kepemimpinan Raja Abdullah Tsani.
Aroma Konspiratif Gerakan Perempuan
Tak pelak lagi, Revolusi Arab memberi imbas terhadap pergerakan perempuan. Sejumlah besar perempuan terlibat dalam mega demonstrasi yang terjadi di negara-negara tersebut. Bahkan Tawakul Karman yang dijuluki ‘Ibu Revolusi’ memainkan bagian penting dalam protes di Yaman yang menuntut berakhirnya kekuasaan keluarga Saleh selama tiga dekade. Kampanye ‘Islam tidak mengancam demokrasi’ membuat aktivis Yaman tersebut meraih hadiah Nobel Perdamaian 2011.
Kalangan internasional turut menguatkan aroma feministis ini. Kunjungan Direktur Eksekutif UNWomen Michele Bachelet Juni lalu ke Mesir dan Tunisia bermaksud untuk mendukung transisi ke arah demokrasi. Bachelet mengklaim bahwa Arab Spring telah menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan di sana bertekad untuk berjuang menuju kondisi yang lebih baik, kesetaraan dan sistem politik yang benar-benar mewakili masyarakat. Dia menegaskan, bahwa mereka ingin tetap berada di garis depan dalam melakukan proses-proses politik yang akan menentukan masa depan perempuan dan negara.
Demi kepentingan itu, UNWomen telah menyiapkan dana program. Dalam siaran pers tertanggal 16 Oktober 2011 mereka akan memberikan hibah demi mendukung partisipasi perempuan di negara Arab selama masa transisi. Dana yang disediakan untuk siklus pertama tahun 2011-2012 sebesar 16 juta USD dengan 4 juta USD. Fund for Gender Equality akan menerima proposal dari Aljazair, Bahrain, Mesir, Irak, Yordania, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, wilayah Palestina yang diduduki, Oman, Qatar, Arab Saudi, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab dan Yaman.
Desakan untuk implementasi jender semakin menguat pada proses Pemilu untuk memilih pemerintahan yang baru. Human Rights Watch (HRW)–sebuah lembaga HAM yang berbasis di New York- mendesak partai-partai Islam yang telah muncul sebagai pemenang dalam pemilihan terakhir di Tunisia, Mesir dan di Libya untuk menghormati hak-hak perempuan. Direktur Eksekutif HRW, Kenneth Roth, memperingatkan agar partai-partai Islam di dunia Arab tidak akan melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Iffah ‘Ainur Rochmah mengungkapkan bahwa betapa besar kegalauan kaum perempuan di dunia Arab pasca Arab Spring. Kaum perempuan sedang membutuhkan solusi untuk problem mereka. Mereka menghadapi situasi kompleks; keinginan berkiprah lebih besar di tengah masyarakat, berkontribusi pada penyelesaian problem kemiskinan tanpa kehilangan jatidiri, di tengah sangat derasnya gempuran pemikiran Barat melalui ide persamaan derajat dan kesetaraan gender. Harian di kawasan Teluk El-Ittihaad (9/3/2012), misalnya, menggambarkan bagaimana peran perempuan di sektor-sektor publik semakin dominan. Namun, menyeruak kekhawatiran akan bergesernya peran keibuan dan perhatian utuh terhadap tanggung jawab kaum perempuan terhadap pendidikan generasi dalam keluarga.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Majelis Umum PBB menyelenggarakan Highlighting Women at the 2011 UN General Assembly Debate pada akhir September 2011. Forum itu ditutup dengan peneguhan komitmen para petinggi negara untuk kesetaraan jender. Menteri Luar Negeri Tunisia menyampaikan bahwa mereka telah dipesan untuk melaksanakan agenda The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women(CEDAW), dan wajib mengadopsi sistem keseimbangan mandat (a mandatory parity system) bagi pemilihan Majelis Konstituante mendatang.
Potret perempuan Arab yang terekam dalam lensa publik adalah perempuan dengan kehidupan terkungkung. Mereka digambarkan sulit mendapatkan akses bagi kehidupan sosial politiknya. Setidaknya hal itu terjadi di Arab Saudi. Baru September 2011 lalu Raja Abdullah resmi mengizinkan perempuan mencalonkan diri atau menggunakan hak suara mereka dalam Pemilu di daerah. Hak suara ini akan mereka gunakan pada Pemilu tahun 2015 mendatang tanpa harus meminta izin dari wali laki-laki. Bisa jadi para perempuan Tunisia, Mesir, Yaman dan wilayah sekitarnya tidak menginginkan kondisi demikian. Lantas apakah dengan membuka kran demokratisasi akan menyelesaikan sejuta problem perempuan? Apakah kesejahteraan perempuan hanya bisa terealisasi bila dunia Arab menerapkan permufakatan ide jender?
Berkaca pada Pakistan dan Bangladesh
Acapkali slogan yang diserukan untuk mengatasi problem perempuan adalah serahkan pengurusan nasib perempuan kepada perempuan saja! Itulah salah satu prioritas garapan UNWomen melalui area fokus Leadership and Participation. Lembaga jender PBB ini berambisi untuk meningkatan keterwakilan perempuan hingga mencapai zona paritas 40-60 persen pada tahun 2026. Apalagi pada pertengahan tahun 2009, hanya 17 perempuan yang menjadi kepala negara/pemerintahan di seluruh dunia. Mereka lalu terus mendesak agar CEDAW diratifikasi oleh mayoritas pemerintah dunia sehingga mampu menjadi jaminan hukum kesetaraan jender. UNWomen bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membawa lebih banyak perempuan ke pemerintahan, melatih para pemimpin perempuan, dan meningkatkan kemampuan perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilu sebagai kandidat dan pemilih.
Angin sejuk yang berembus pada musim semi Arab membawa harapan bagi pegiat jender untuk memobilisasi perempuan di wilayah itu. Tak mustahil bila muncul maksud menggiring perempuan menjadi pemimpin tertinggi mengikuti jejak Pakistan, Bangladesh dan Indonesia. Padahal resep yang mereka tawarkan tak hendak menawarkan solusi tuntas permasalahan perempuan, bahkan tak jarang malah menimbulkan masalah baru. Realitas Pakistan dan Bangladesh setidaknya membuktikan hal itu.
Saat ini Hina Rabbani Khar adalah perempuan yang memiliki jabatan tertinggi di Pakistan. Posisinya sebagai Menteri Luar Negeri Pakistan menempatkan dirinya sebagai orang ketiga terpenting setelah Presiden Asif Ali Zardari dan Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani. Sebelumnya Pakistan memiliki Benazir Bhutto sebagai perdana menteri yang berkuasa selama dua periode. Namun, kehadiran pemimpin perempuan tak lantas menyelesaikan permasalah klasik perempuan di negara Muslim terbesar kedua ini. Sekalipun negara ini mempermudah akses perempuan (tertentu) untuk menjadi pejabat tinggi, kebodohan, kemiskinan, pembunuhan dan kekerasan kerap tetap mendera kaum perempuan. Menurut perkiraan sebuah organisasi HAM Ansar Burney Trust, sebanyak 70 persen perempuan di Pakistan mengalami kekerasan dalam rumah tangga seperti pemukulan, kekerasan atau siksaan seksual, hingga tulang patah dan luka yang sangat serius akibat serangan asam atau pembakaran korban hidup-hidup (Commongroundnews.org, 17/10/2008).
Ketika berkuasa Benazir Bhutto memang menyuarakan keprihatinan mengenai masalah-masalah sosial, kesehatan dan diskriminasi terhadap perempuan. Bhutto juga mengumumkan rencana-rencana untuk membentuk stasiun-stasiun polisi perempuan, pengadilan dan bank-bank pembangunan khusus untuk perempuan. Namun, Bhutto hanya mengumbar janji, tidak melakukan langkah kongkret apapun untuk memperbaiki kesejahteraan mereka.
Di sisi lain, Bangladesh sebagai negeri Muslim terbesar ke-4 sedunia saat ini dipimpin oleh Shaikh Hasina Wazed, setelah sebelumnya ada Khaleda Zia. Kedua perempuan itu masing-masing menjadi PM dalam dua periode. Bangladesh dianggap sebagai simbol kemiskinan di Asia. Perempuan Bangladesh pun lekat dengan berbagai masalah termasuk kejahatan perdagangan manusia. Upaya pengentasan kemiskinan perempuan melalui Grameen Bank justru berasal dari Profesor Muhammad Yunus, bukan berasal dari pemimpin perempuan mereka. Pemerintahan Hasina sendiri adalah cermin pemerintahan yang gagal. Selama tahun terakhir pemerintahannya pada periode pertama, Transparency International menyatakan Bangladesh sebagai negara paling korup. Padahal Hasina adalah anggota The Council of Women World Leaders, sebuah jaringan internasional presiden wanita dan mantan perdana menteri yang membawa misi untuk memobilisasi pemimpin perempuan secara global untuk tindakan kolektif pada isu-isu sangat penting bagi pembangunan.
Realitas menunjukkan bahwa penyelesaian problem perempuan ternyata tak cukup hanya dengan mendudukkan mereka di tampuk tertinggi pemerintahan atau memperbesar keterwakilan mereka di parlemen. Selama sistem yang diadopsi adalah demokrasi, tak mungkin sejuta masalah perempuan akan terurai dan menemukan solusinya. Demokrasi adalah anak kandung Kapitalisme yang hanya membela kepentingan penguasa dan pengusaha kuat, bukan rakyat yang sering mengalami marginalisasi, baik perempuan maupun laki-laki. Bila demikian, masih layakkah berharap pada kekuasaan jenis itu?
Meluruskan Agenda Politik
Seperti biasanya, media hanya mengungkapkan arus perubahan yang searah dengan kepentingan opini mereka. Gerakan kebangkitan perempuan Arab seakan-akan hanya mengharapkan sistem pemerintahan demokratis sebagai antitesis kediktatoran yang mereka gugat. Hampir tak terdengar seruan untuk mengganti sistem bobrok itu dengan Khilafah Islamiyah. Padahal aktifis Hizbut Tahrir ikut mengambil peran dalam mengarahkan kebangkitan menuju arah yang sahih.
Para aktifis Muslimah Hizbut Tahrir di Yaman, Tunisia dan wilayah Arab lainnya turut berada di garis terdepan dalam revolusi melawan ketidakadilan dan tirani. Mereka sabar dalam menghadapi bahaya, kesulitan dan bersemangat untuk hidup. Mereka tidak hanya duduk berpangku tangan, melainkan terlibat penuh dalam pergerakan besar di lapangan, barisan perjuangan dan tuntutan terhadap kejatuhan rezim dan kroninya, serta dihapuskannya korupsi dengan segala bentuknya. Di Yaman hal itu berlangsung selama berbulan-bulan sampai pergerakan besar memaksa kekuasaan tiran untuk mundur. Demikian seperti yang disampaikan syabah Yaman dalam orasinya di Konferensi Perempuan Internasional Tunisia.
Para syabah HT di Tanah Arab menyadari bahwa perjuangan mereka belum berhenti meskipun mereka berhasil menurunkan rezim. Bahkan saat ini mereka harus berjuang melawan arus feminisasi yang dideraskan oleh Barat dan kroni-kroninya demi mencabut perempuan dari peran fitrahnya sebagai penjaga generasi dan keutuhan keluarga serta pengemban dakwah.
Sebagai saudara mereka, tak mungkin kita hanya menjadi penonton perjuangan mereka. Semua Muslimah harus melakukan upaya terbaiknya dalam menghapuskan pilar-pilar rezim beserta fondasinya, kemudian menerapkan sistem Islam yang diwajibkan Allah SWT, karena Allah SWT Mahatahu apa yang terbaik untuk memecahkan persoalan seluruh ciptaan-Nya yang menerima kemuliaan dariNya. []